#23 Stop

2.7K 229 25
                                    

Bodoh! Nades masih mengutuki dirinya yang kini berdiri tak tenang di kamar kosnya. Dia melihat ponselnya, menunggu benda itu memberi sinyal. Tapi, tak ada apa-apa, selain pesan dari beberapa gerai menawarkan promosi padanya. Dia hanya butuh satu kepastian. Kalau Trevin baik-baik saja.

Nades meninggalkan apartemen Trevin tiga jam lalu. Meski Trevin bilang dia sakit, Nades tak percaya. Itu hanya alasan Trevin untuk memperlakukannya bak pembantu. Lelaki itu dendam padanya. Harusnya dia tak perlu sekhawatir ini, kan? Dia sudah bilang itu pada Trevin. Lagian, Trevin itu seorang lelaki dewasa, yang Nades rasa sudah bisa mengurus dirinya sendiri. Dia tinggal sendirian selama ini. Mana mungkin ini sakit pertamanya sejak tinggal sendiri. Dia pasti punya obat. Dia pasti baik-baik saja!

"I am doomed!" wanita itu mengusap wajahnya kasar, lalu berdiri.

Dia mengambil jaket dan melihat jam. Sudah hampir jam tujuh malam. Dia menghela nafas, lalu membuka pintu. Dia hanya akan memastikan Trevin sehat, setelah itu dia akan pulang. Dia harus istirahat untuk acara meet and greet besok siang. Memesan taksi online, dia menunggu sepuluh menit sampai taksinya datang.

Sampai di depan gedung apartemen Trevin, Nades tak ragu lagi. Dia segera menuju lift dan menekan lantai unit Trevin. Tak sampai sepuluh detik, pintu besi itu terbuka. Sempat memastikan penampilannya di dinding lift sebentar, Nades tak ingin membuang waktu dan langsung menekan bel. Menunggu beberapa detik, tak ada jawaban apa-apa. Wanita itu menekan lagi, berkali-kali, dan masih sepi. Nades menarik nafas panjang, sebelum dia menggedor pintu.

"Trevin! Bangun! Ini aku!" seru Nades tak sabar. Dalam pikirannya, dia menduga Trevin sedang tertidur. Dia pasti sudah kembali dari kantornya.

"Trevin! Buka pintunya!" dia menekan bel lagi, lalu menyusul gedoran di pintu.

Dia membuka tas dan mengambil ponsel. Dia mengecek log panggilannya dan memilih deretan nomor yang meneleponnya sekitar tiga jam lalu. Nades berjalan mondar mandir di depan pintu apartemen Trevin, menunggu panggilannya dijawab. Tapi, tak juga berbuah hasil.

"Apa dia pingsan?" Nades mengusap kepalanya. "Sial!" dia mencoba menghubungi nomor Trevin lagi, dan masih tak ada jawaban.

Bel berbunyi berkali-kali dan gedoran menyusul, tak juga ada yang menyahut. Nades memeriksa unit di dekat Trevin, mengawasi kalau-kalau ada yang terganggu dengan kegaduhannya di depan apartemen Trevin. Dia menekan bel lagi, sampai akhirnya lelah sendiri.

Dia berdecak dan duduk bersandar pada pintu apartemen Trevin. Dia memutuskan untuk menunggu, setidaknya sampai jam delapan atau sembilan malam. Jika masih tak ada jawaban juga, dia akan pulang. Jika Trevin ditemukan tak bernyawa pada esok harinya, dia akan bersikap pura-pura tak tahu. Persetan dengan deretan panggilan darinya. Dia bisa membuat alibi.

Mencoba membunuh waktu, Nades memainkan ponselnya. Memeriksa novelnya yang kini berada pada deretan Must Have Book dan Recommended pada sebuah portal online. Dia tersenyum sendiri, tak menyangka bahwa dia akan membuat novel selaris ini.

On The Way to The Wedding adalah judul yang tiba-tiba hadir saat dia sedang menunggu taksi yang akan mengantarnya bertemu Marsa waktu itu. Tuntutan novel baru setelah dia mengalami masa-masa pelarian yang mengerikan membuatnya dihadiahi ide untuk novel barunya. Letupan kejadian yang dia alami bersama Trevin menjadi rangkaian cerita yang rupanya diterima dalam sekali pengajuan. Tak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan novel itu, karena semua kejadian masih begitu segar dalam ingatan.

Puas dengan pencapainnya, Nades beralih mengecek sosial media miliknya yang kini begitu sering menampilkan pengikut baru dan komen-komen positif. Ini benar-benar diluar dugaan Nades.

On The Way To The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang