Bayangan pepohonan bergoyang saat angin makin kencang berembus. Tak ada tanda-tanda hutan ini aman. Lolongan, tembakan, serta hembusan nafas yang ketakutan bergabung di udara. Ada banyak suara binatang, ranting yang patah dan jatuh. Bau udara makin lembap, makin tercium aroma darah begitu dekat dengan indera penciuman. Daun yang diinjak, begitu garing hingga bunyinya akan mengundang musuh mendekat. Trevin harus berdamai dengan itu semua.Dia sudah menarik pelatuk pistolnya. Melangkah maju, Trevin mengira-ngira seberapa dekat dia dengan penembak itu. Nades dia biarkan di belakang. Dia hanya punya enam peluru, jika ini tidak berhasil maka dia tak tahu lagi. Dia tak bisa bertarung dengan tangan kosong sekarang. Tenaganya sudah habis terkuras. Dia akan mati sia-sia.
Trevin berdiam diri, menunggu. Satu tembakan lepas bebas melewatinya. Mendarat pada batang pohon, lalu terdengar dahan yang patah. Trevin menelan ludah. Kalau saja dia bisa melihat peluru itu. Dia bisa memperkirakan senjata apa yang dipakai dan berapa jarak mereka. Sayangnya, jika dia bergerak sekarang, mereka akan tahu posisi Trevin.
Menoleh ke belakang demi mengecek Nades, dia kembali berkonsentrasi. Nades bersandar pada pohon, menutup mulutnya dengan tubuh yang bergetar. Lalu, tetesan air mulai turun pelan-pelan, jatuh pada dedaunan dan wajah Trevin. Ini saatnya. Dia perlu memancing mereka maju. Tangannya dia letakkan pada pelatuk, lalu menarik nafasnya. Ada suara hiss saat timah itu terlepas dari ujung pistol Trevin, bergabung bersama tetesan air dan udara. Membelah dedaunan dan Trevin tahu benda kecil itu tertancap pada pohon.
Tak menunggu waktu lama, seperti bom yang dipicu, rentetan datang dari arah kiri depan Trevin. Sekarang, pria itu tahu kalau dia tak akan selamat malam ini. Jika dia sendirian dan peluru tinggal lima, tak ada jaminan dia melihat matahari besok. Dia dan Nades pasti mati.
Kini, dedaunan di tanah seperti jebakan karena tanahnya yang melembut. Trevin menunduk, melindungi dirinya dari berondongan peluru. Dia melihat Nades lagi, gadis itu sudah luruh di tanah, tiarap dengan tangan menutupi telinganya. Trevin berharap dia kuat. Dia tak bisa menjangkau Nades sekarang. Terlalu beresiko.
Suara pelatuk yang dikokang, lalu susulan tembakan membuat Trevin mati langkah. Tak ada cara menyelesaikan ini. Tak ditemukan cara untuk mendekati mereka dan mengajak mereka berhenti. Trevin bisa merasakan air hujan seperti tusukan di permukaan kulitnya. Darah di wajahnya luruh terbawa bersama air hujan, membuatnya pening.
"KELUAR!!!" seruan itu terdengar menggelegar di dalam hutan. "PENGECUT! TUNJUKKAN DIRIMU!"
Jangan terpancing, Trey!
Tembakan memberondong. Puluhan pohon dan dahan patah menjadi sasaran. Telinga Trevin dipenuhi suara letusan dan jaraknya makin mendekat. Peluru-peluru itu makin jelas di mata Trevin. Jarak mereka memendek dan Trevin harus bergerak.
Dia berpindah ke dekat Nades, membangunkan Nades dan menariknya.
"LARI!" dia membawa Nades untuk berlari lagi.
Hujan makin deras mengguyur. Kilat menyambar dedaunan yang bergoyang bebas. Lalu, suara letusan mengekori. Nades rasa dia sudah kehilangan nyawanya bahkan jika peluru itu tak mengenainya. Semuanya terjadi seperti kilatan di mata Nades. Saat Trevin memintanya berlindung di balik pepohonan besar, saat Trevin mengendap di balik pohon lain dan maju, suara peluru Trevin memecah keheningan sesaat, menggema sesudahnya dan kemudian suara derap. Ya, Nades dengar suara derap serta teriakan. Lalu sunyi lagi.
Nades memegang dadanya, memukulnya agar dia bisa benafas lebih bebas. Tapi, itu tak membantu. Dia masih kesulitan mengatur nafasnya sendiri. Dia kesulitan untuk menyelamatkan dirinya. Hanya menyusahkan. Kenapa adegan ini tak seperti di film yang ditontonnya? Kenapa keadaan di sini lebih mencekam dan membuatnya tak bisa berpikir. Apa yang biasanya dilakukan aktor di film? Apa yang mereka lakukan agar bisa bebas?
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Way To The Wedding
General FictionSIDE STORY DARI LOVE OR DIE Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita. This work is a fiction. The names, locations and incidents are fictitious. Any similarities are entirely unintentional. Cover: credit on tumblr