Mobil berhenti saat fajar mulai terlihat. Mereka berhenti di pinggir jalan dengan penunjuk jalan di dekatnya. Tak ada Sharpos, Nades tahu. Sopirnya sudah bilang kalau dia tak berkendara ke arah Sharpos. Nades tak keberatan, karena dia dan Trevin hanya butuh keluar dari Rapolis.
Trevin membuka mata saat suara-suara berisik masuk dalam ruang dengarnya. Dia menoleh, tak mendapati Nades. Saat dia duduk, dia menemukan Nades sedang berbincang dengan sopir truk. Lalu, papan penunjuk jalan yang dilihat Trevin berikutnya membuat Trevin mendesah berat.
"Kau sudah bangun?" tanya rekan sopir. "Mau kopi?" tanyanya.
Trevin menerima gelas yang sudah mereka isi kopi. "Thanks," ujarnya menyeruput sedikit. Sayangnya, dia salah. Kopi itu tidak panas. Trevin mengeluh dalam hatinya.
Nades berbalik dan melihat Trevin. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, merasa canggung.
"Kenapa kita tidak ke Sharpos?" tanya Trevin langsung.
"Memang tidak," jawab Nades. "Valermo bilang dia tak akan ke Sharpos. Bukannya kita hanya harus keluar dari Rapolis, it's the same then."
Trevin mengembuskan nafas. Kopinya sudah tandas dan dia mengembalikan gelas. Dia keluar dari dalam bak truk dan menghampiri Valermo.
"Kau tak ke Sharpos?" tanya Trevin.
"Tidak," jawabnya sambil membebaskan asap rokok dari sela bibirnya. "Nades sudah kuberi tahu dan dia setuju ikut."
"Nades?" Trevin tak percaya supir itu tahu nama Nades. Mereka berkenalan?
"Tapi, ya kau harus memutar jalan untuk sampai Sharpos. Ada bus yang akan lewat. Kalau kau ikut kami, kau tak akan sampai Sharpos setidaknya sampai lusa. Lebih baik kalian turun di sini dan menunggu bus datang."
"Tak ada stasiun bus di sini!"
Trevin melihat sekeliling, hanya papan nama jalan dan jalan raya. Sekelilingnya hanya tanah tandus dengan bukit di belakang sana. Tampak sangat besar karena pantulan fajar yang baru terbit.
"Kau bisa naik, dengan bayaran agak mahal karena kalian penumpang illegal yang tak membeli karcis,"
"Nice!" Trevin sarkastis.
"Itu lebih baik daripada kita tak tiba di Sharpos, kan?" suara Nades.
"Atau kalau kau beruntung, akan ada truk yang lewat. Kalian bisa menumpang lagi. Biarkan saja wanita ini yang mengurusnya, dia lumayan!" rekan sopir yang menawari kopi berkomentar.
Trevin menatapnya, mencengkram dagunya kuat. "Apa maksudmu?"
"Trevin!" seru Nades seraya menarik tangan Trevin melepaskan cengkramannya.
"Fuck you!" hujatnya.
"Usoi," sopir itu memperingatkan rekannya. "Nades, hanya sebatas ini kami bisa membawamu,"
"Ya," Nades mengangguk. "Terima kasih banyak. Ini jauh lebih baik,"
"Kau harus mengobati lukamu juga," dia menunjuk wajah Nades. "Kami harus pergi sekarang."
"Terima kasih," kata Trevin akhirnya.
"Kau jaga dia," perintah supir itu. "She is a good one,"
Nades mengibaskan tangan di depan wajah Valermo. "Apa yang kau katakan?" dia tertawa kecil. "Hati-hati di jalan, Valermo. Aku berhutang banyak padamu,"
Valermo kemudian berjalan untuk kembali masuk ke mobil. Dia melambaikan tangan sebelum melajukan mobilnya ke arah datangnya cahaya mentari pagi.
"Apa itu tadi? Kalian berteman?" Trevin penasaran. "Dalam satu malam saja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
On The Way To The Wedding
Художественная прозаSIDE STORY DARI LOVE OR DIE Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita. This work is a fiction. The names, locations and incidents are fictitious. Any similarities are entirely unintentional. Cover: credit on tumblr