#3 Stop

4.2K 295 20
                                    

Trevin itu brilian. Itulah kenapa dia tidak dipecat oleh atasannya, meski dia membuat kesalahan. Oh, dia juga harus berterima kasih pada Lachlan Zoff yang memberikan keterangan yang meringankan dirinya dari sanksi paling tinggi. Dia memiliki kemampuan analisis dan perhitungan paling baik pada angkatannya. Kepala biro menyukainya. Itulah yang menyelamatkan Trevin. Meski, dia harus dibebas tugaskan selama tiga tahun sebelum dipanggil kembali.

Itu juga alasan dia sekarang mencermati berkas di depannya. Henry menunggunya dengan sabar, selagi menghabiskan sebatang rokoknya. Trevin membaca pelan-pelan apa saja poin dari kasus kali ini. Tanggal operasi, target dan tujuan yang harus dicapai.

"I am off!" katanya kemudian. "Aku ingin cuti!"

"Apa-apaan kau?" tanya Henry. "Cuti apanya?"

"Aku-" Trevin menghela nafasnya.

"Kau masih trauma? Ayolah, Trevin! Semua orang mengalami hal yang kau alami sekarang. Get over it! Tugas lapangan kali ini akan membuatmu terbiasa lagi. Kau harus memulai lagi, Vin!"

"Siapa bilang semua orang mengalami apa yang aku alami?" serunya. "Kau tak tahu rasanya melihat tubuh itu terpental seperti disambar petir, Henry! Kau tak tahu rasanya melihat itu dengan matamu sendiri. Tak semua orang merasakan itu!"

"Percayalah, aku mengalami yang lebih parah dari itu. Makanya aku ada di sini sekarang! Get over it, Vin. Hanya itu caranya! Kenapa kau mau cuti?"

Trevin menunduk sebentar. "Aku merasa waktunya belum tepat!"

"Kau ingin tiga tahun lagi? Apa kau pikir itu akan membuatmu yakin? Galeri Royal sudah menjadi awalan yang bagus, kan? Kenapa masih tak percaya diri?"

"Beda, Henry! Kasus galeri tak membuatku membunuh lagi."

"Trevin!" seru Henry. "Kalau kau begini terus, kau tak akan mendapatkan kasus lagi. Dengar, ini kasus bagus untuk membuatmu bangkit lagi. Kau tak harus membunuh di kasus ini, kan? Oke, bukan kau yang harus melakukannya!" kata Henry melemah di ujung kalimatnya. "Vin, ingatlah kenapa kau mau bergabung dengan tim ini! Jangan jadi pengecut!"

"Aku ingin jadi sepertimu, Henry. Aku serius. Aku ingin jadi seperti kalian yang bisa langsung pulih tiga hari kemudian setelah menembak mati beberapa orang sekaligus. Atau meracuni, menyetrum seseorang, aku ingin seperti kalian. Tapi, pengalaman itu sungguh masih membuatku seperti pengecut!" Trevin mendesah.

Tangannya menutup map di mejanya dan melihat tulisan tangan di depannya. Ada cap negara dan tulisan top secret di pojok kanan atas. Dia ingin turun lagi. Sungguh. Dia begitu merindukan tugas lapangan yang serius. Tapi, dia belum berani untuk itu semua. Dia masih jadi pengecut.

"Ini masalahku, Henry! Jangan terlalu memaksaku. Aku tahu kalau waktunya tiba, semuanya akan terjadi begitu saja!"

"Ya, aku tahu. Kau akan menarik pelatuk lagi dan kau akan ingat kalau kau sehebat itu, Trevin!"

Trevin mengangguk. "Ya, tak peduli betapa itu akan mengangguku lagi."

Henry menghunuskan ujung rokok pada asbak di meja Trevin dan menarik map cokelat itu. "Katakan kalau kau berubah pikiran. Aku tunggu sampai jam tujuh malam ini, jika tidak aku akan susun tim baru!"

"I am sorry. I'll let you know, Henry. Thanks!"

Henry mendesah pelan sebelum dia meninggalkan ruangan Trevin. Ruangan itu kembali sunyi. Trevin menjatuhkan kepalanya di meja, menarik nafas berulang kali untuk tenang. Ternyata, hari seperti ini datang lebih cepat daripada dugaannya. Dulu, dia begitu siap untuk dapat tugas baru. Dia ingat terus meneror Henry agar dapat kembali bertugas. Untuk membuktikan kalau dia bisa melakukan yang lebih baik dari tugas sebelumnya. Dia ingat mesti menghadap kepala biro untuk mengijinkannya kembali ke lapangan, tapi berujung penolakan.

On The Way To The WeddingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang