SIDE STORY DARI LOVE OR DIE
Manusia boleh punya rencana. Pada akhirnya, ketentuan bukan milik kita.
This work is a fiction. The names, locations and incidents are fictitious. Any similarities are entirely unintentional.
Cover: credit on tumblr
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dia membuka mata, namun yang ditangkap korneanya hanya kemeja Trevin. Lelaki itu mendekap Nades di dadanya.
"Jangan takut!" ujar Trevin. "Nades, aku akan melepaskanmu, kau harus merangkak ke balik meja ini, kau dengar?"
"Tidak!" desis Nades. "Trevin, aku tak bisa!"
Trevin menunduk. "Kau berani, Nades!" Trevin melepaskan dekapannya saat botol kaca yang berada di balik meja bar ditembaki dari luar. Dekapan Nades makin erat pada lengan Trevin. Gadis itu tak bernyali sama sekali.
Trevin tak bisa membiarkan ini. Dia harus melawan balik. Dia melepaskan paksa tangan Nades, mendorong tubuh gadis itu yang masih meringkuk dan mengecek keadaan sekitar. Beberapa pengunjung bar melawan dengan senapan yang rupanya mereka bawa.
"GO!" teriak Trevin. Lalu, dia menarik pistol di balik kemejanya.
Menahan tangis, Nades merangkak ke belakang meja bar seperti yang diperintah Trevin. Dia bisa melihat barista sedang bersandar pada meja bar, mengokang senjatanya. Dia melihat Nades kemudian.
"Kemari, di sini!" dia menunjuk bagian lemari meja yang terbuka.
Nades segera meringsek masuk dan memeluk lututnya. Tubuhnya gemetar hebat. Apa aku akan mati? Apa ini akansegera berakhir tak seperti yang akukira?
Barista itu berdiri, menarik pelatuk dan mulai membalas tembakan. Suara teriakan untuk berlindung, balas menembak, serta posisi penyerang bisa didengar Nades dengan jelas. Dia juga mendengar perintah yang datangnya dari Trevin untuk berhenti menembaki. Serpihan botol berjatuhan di dekatnya, lalu gelas dan piring-piring kaca.
Tuhan, selamatkan kami. Trevin, tolong dia.
Hanya selang beberapa menit keheningan, pintu menjeblak terbuka. Berondongan peluru menghantam lagi. Seperti medan perang dan Nades hanya anak kecil yang terperangkap di tengahnya. Sekarang, baku hantam menambah rumitnya keadaan. Furnitur kayu menjadi media pelampiasan amarah. Nades makin erat menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana. Mulutnya tak henti marapal doa.
"Fuck!" itu suara barista yang kembali menjatuhkan tubuhnya untuk mengisi amunisi.
Barista itu menarik nafas panjang. "He is doing great!" ujarnya. "Fuck!" ocehnya saat peluru tak kunjung masuk slot, lantaran tangannya yang gemetaran. Dia lalu melihat Nades. "Siapa kalian?" dia bertanya, seakan menyadari satu hal.
"Kami harus ke Sharpos, melapor pada polisi!"
Barista itu mengeram marah, "Kau harusnya bilang dari awal!"
Nades spontan memekik saat tubuh penuh darah jatuh di depannya. Pria itu meregang nyawa, memegang pistol di tangannya. Nades sudah puas melihat film action, dimana pemainnya berdarah-darah dan mati. Namun, tak senyata ini. Tak semengerikan ini!