"Ashilla Claretta!"
Shilla yang sedang berjalan di koridor langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke belakang, melihat Cakka menghampirinya.
"Apa?"
Gadis itu menjawab ketus. Ia tahu, jika Cakka sudah menyebut nama lengkapnya seperti itu pasti ada maunya.
"Jutek amat sih. Pantesan nggak punya pacar."
Shilla melengos, memicing pada laki-laki yang sudah berdiri di sebelahnya. "Lo cuma mau ngomong gitu doang? Oke, bye." Ujarnya kemudian kembali lanjut berjalan.
"Eh-eh tunggu!"
Cakka mengikuti Shilla dan menyejajarkan posisinya dengan gadis itu. "Lo masih marah?"
Shilla tidak menjawab, ia tetap menatap ke depan dan semakin mempercepat langkahnya.
"Tata."
"Hm."
"Lo masih marah gak?"
Gadis itu diam lagi, membuat Cakka gemas dan menarik satu tangan Shilla sehingga mau tidak mau gadis itu berhenti melangkah dan berdiri menghadapnya.
"Apaan sih?!" Shilla melepaskan tangannya dari cekalan tangan Cakka.
"Jawab gue."
"Ya lo pikir aja sendiri."
"Sumpah, Ta. Kan gue nggak sengaja. Maafin gue dong. Nanti gue yang bilang ke Pak Arifin deh biar lo nggak dimarahin." Cakka meraih kedua tangan Shilla.
Shilla menghela napasnya, ia masih kesal dengan Cakka yang sudah menumpahkan susu coklat ke makalah biologinya tadi pagi saat mereka sarapan bersama di kantin sekolah. Entah bagaimana caranya, tapi laki-laki yang sudah ia kenal sejak kecil itu memang sangat ceroboh.
Dulu, Cakka juga pernah menjatuhkan handphone Shilla ke kolam ikan di depan rumahnya, dan berujung membuat anak laki-laki itu harus menyisihkan uang jajannya selama berminggu-minggu untuk memperbaiki handphone Shilla yang mati total. Walaupun Shilla tidak pernah memintanya dan mengatakan bahwa ia sudah merelakan handphone itu, tapi Cakka tetap memperbaikinya. Ia bahkan memijamkan Shilla handphone miliknya selama milik Shilla diperbaiki.
Cakka memang ceroboh, tapi ia selalu bertanggung jawab atas semua kecerobohan yang ia perbuat.
"Beneran lo mau bilang ke Pak Arifin?" Shilla menatap Cakka.
Laki-laki itu mengangguk cepat. "Iya beneran. Janji deh." Ucapnya meyakinkan.
"Oke, gue maafin. Tapi ada syaratnya."
Cakka menaikkan sebelah alisnya. "Apa?"
Gadis itu hanya memberikan senyum lebarnya sebagai jawaban.
"Oh gue tau nih—es krim kan?"
Shilla mengangguk semangat, membuat Cakka tertawa. Tumbuh dan berkembang selama belasan tahun bersama Shilla menjadikan Cakka selalu mengerti apa yang gadis itu mau jika sudah menunjukkan senyum seperti itu. Shilla memang mudah dibuat senang, cukup dengan mentraktirnya es krim.
"Oke, es krim sepuasnya."
"Selama seminggu."
Cakka melotot, "Ta, sumpah-"
"Ya udah kalo nggak mau." Shilla bersedekap lagi dan membuang muka.
"Oke, fine." Ucap Cakka akhirnya, walaupun dengan berat hati. "Selama seminggu gue traktir lo es krim setiap hari. Tapi lo jangan marah lagi, deal?" Ia mengulurkan satu tangannya.
Dengan senyum sumringah, Shilla menjabat tangan laki-laki itu. "Deal."
Kemudian Cakka merangkul gadis itu dan keduanya pun kembali berjalan. Cakka lebih dulu mengantar Shilla ke kelas 11 IPA 2 sebelum kembali ke kelasnya sendiri. Sepanjang menyusuri koridor keduanya saling bercanda dan tertawa. Pemandangan seperti itu sudah biasa dilihat oleh siswa-siswi SMA Violet setiap harinya. Dimana ada Shilla disitu pasti ada Cakka, keduanya tidak pernah terpisahkan. Malah banyak yang mengira kalau mereka berdua berpacaran. Tapi setiap menerima pertanyaan tentang hubungan mereka, Cakka maupun Shilla selalu kompak menjawab,
"Best friend forever."
.
.
.
.
.
.Hihuuu!
Aku bawa cerita Cak-Shill lagi. Tapi kali ini genrenya teen fiction, beda jauh dengan Reste Avec Moi. Semoga kalian suka ya! Terima kasih ♡
![](https://img.wattpad.com/cover/99104228-288-k25227.jpg)