Motor milik Cakka sudah terparkir rapi, dua anak yang menaikinya sudah turun dan melepas helm masing-masing. Cakka merangkul Shilla, seperti biasa ia akan mengantar perempuan itu ke kelasnya lebih dulu sebelum masuk ke kelasnya sendiri.
Tapi, ketika mereka baru keluar dari area parkir, Cakka menghentikan langkahnya. Membuat Shilla yang berada dalam rangkulannya itu juga ikut berhenti. Mata Cakka memperhatikan perempuan yang baru saja memasuki gerbang SMA Violet, senyum laki-laki itu terulas, lalu ia melepas rangkulannya pada Shilla.
"Ta, gue nggak nganterin lo ke kelas ya. Gue ada urusan, bye!"
Shilla baru saja ingin berucap namun anak laki-laki itu sudah berbalik arah meninggalkannya. Shilla tadinya mengernyit bingung, tapi setelah melihat siapa yang dihampiri oleh Cakka, ia langsung menghela napas kasar. Shilla menunduk, tidak ingin melihat lebih lanjut apa yang dua orang itu lakukan setelah saling menyapa dengan senyum manis di wajah masing-masing. Shilla memilih untuk melanjutkan langkahnya menuju kelas, ia ingin cepat-cepat sampai mejanya dan menelungkupkan wajahnya di sana. Ia ingin menenangkan diri.
"Selamat pagi Shilla cantik!"
Tubuh tegap yang tiba-tiba menghadang jalannya itu sontak membuat Shilla terkesiap. Ia mendongak dan mendapati Deva sedang tersenyum sumringah sambil merentangkan tangan lebar-lebar di hadapannya.
"Deva! Kenapa hobi banget bikin gue kaget sih? Untung gue nggak jantungan." Shilla mengomel.
Laki-laki itu tertawa lalu menurunkan kedua tangannya, ia berdiri di sebelah Shilla dan merangkul gadis itu. "Maaf deh, kan gue cuma mau nyapa."
Shilla mendengus. "Lo dateng pagi-pagi gini mau ngerjain PR lagi?" tanyanya kemudian.
Deva menggeleng. "Jam pertama pelajarannya Pak Broto. Kalo gue telat bisa digantung hidup-hidup nanti." Deva mengingat betapa killernya guru ekonominya itu. Dari semua guru, hanya Pak Broto yang bisa membuat Deva jadi rajin dan patuh. Mungkin seharusnya, semua guru di SMA Violet itu seperti Pak Broto, supaya Deva tidak membuat masalah lagi.
"Lebay lo." Shilla tertawa.
Deva tersenyum melihatnya. "Nah gitu kek dari tadi. Kan cantiknya jadi keliatan kalo ketawa." Ia mengacak rambut Shilla.
"Halah, gombal lo." Shilla menyikut pinggang Deva, tapi laki-laki itu justru tertawa.
"Gue perhatiin lo murung terus dari kemaren. Kenapa sih?" Tanya Deva kemudian.
Senyum yang tadinya masih ada di wajah Shilla perlahan memudar, gadis itu kembali menunduk, dan seketika Deva menyesal telah bertanya demikian. Laki-laki itu pun mengeratkan rangkulannya pada Shilla. "Jangan merengut mulu, jelek tau. Udah ayo gue anterin ke kelas."
Shilla kemudian hanya bisa pasrah saat Deva membawanya kembali melangkah menyusuri koridor yang sudah cukup ramai pagi itu. Tidak hanya sampai di depan kelas, anak itu bahkan mengantar Shilla sampai ke tempat duduknya. Membuat beberapa anak yang sudah ada di kelas XI IPA 2 itu memandangnya penuh tanya. Untungnya, Ify dan Sivia belum datang. Kalau dua temannya melihat Deva mengantarnya ke kelas, pasti mereka akan heboh dan bertanya macam-macam.
"Thanks ya, Dev." Ujar Shilla setelah duduk di kursinya.
Deva tersenyum. "You're welcome, Ashilla. Gue ke kelas dulu ya. Selamat belajar!"
Deva berjalan mundur sambil melambai-lambaikan tangannya, dan kelakuannya itu lagi-lagi mengundang tawa Shilla.
"Hati-hati, Dev. Nanti nabrak!"
• • •
"Berarti sama kayak Alvin dong?"
Cakka ikut mendudukkan diri pada kursi panjang di pinggir lapangan dengan Pricilla. Keduanya sudah meletakkan tas mereka di kelas dan memilih berbincang di tempat yang sama seperti kemarin.