"PUTUS?!"
Ify mengangguk sambil berusaha meredakan tangisnya. Ia sudah menduga reaksi kedua orang yang duduk di hadapannya itu pasti akan sekaget ini.
Shilla mengambil kotak tisu di atas nakas dekat kasurnya kemudian memberikannya pada Ify. Sedangkan Sivia mengulurkan tangannya untuk mengusap-usap pundak temannya itu, berusaha menenangkannya.
"Debo selingkuh." Ucap Ify di sela isaknya. "Dia jahat banget sama gue."
Shilla dan Sivia menghela napas bersamaan, mereka menyesalkan kejadian yang menimpa teman mereka itu. Pasalnya, dulu mereka lah yang mencomblangi Ify dengan Debo.
"Sabar ya, Fy." Shilla memeluk Ify, kemudian diikuti Sivia.
Acara movie marathon mereka di Jumat sore akhirnya harus tertunda karena curhatan Ify yang panjang lebar tentang Debo dan selingkuhannya. Bagaimana ia memergoki pacarnya yang sedang berduaan bersama selingkuhannya itu di sebuah kafe kemarin, dan aksi sinetronnya yang memaki-maki dan menampar Debo di depan banyak orang. Terakhir, Ify juga menunjukan foto perempuan yang sudah jadi orang ketiga dalam hubungannya dan Debo itu.
"Sumpah ya? Demi apa?!"
Sivia merebut handphone Ify supaya dapat melihat foto yang terpampang di sana lebih dekat. Satu tangannya menutup mulutnya yang sudah menganga. Sedangkan Ify dan Shilla mengernyit bingung memperhatikannya.
"Kenapa sih lo? Kayak abis liat setan," Ify menarik kembali handphonenya dari tangan Sivia. "Tapi emang setan sih dia." Tambahnya sambil melihat foto itu kembali. Rasa kesalnya yang tadi sudah sempat mereda muncul lagi.
"Itu Aura kan? Jadi Debo selingkuh sama nenek lampir itu?" Sivia jadi heboh sendiri, membuat teman-temannya bertambah bingung.
"Lo kenal sama dia, Vi?"
Sivia mengangguk pada Shilla. "Dia tuh dulu yang bikin gue hampir putus sama Enrico. Kalian inget kan? Temen sekelasnya Enrico di SMA Magenta yang gue ceritain waktu itu."
Beberapa bulan yang lalu, Sivia memang pernah bertengkar hebat dengan pacarnya gara-gara cewek bernama Aura itu. Enrico dan Debo itu teman satu sekolah, bahkan satu kelas. Jadi otomatis Debo pasti juga sekelas dengan Aura.
Shilla membulatkan mulutnya. "Oh iya gue inget! Jadi dia si nenek lampir itu, Vi?"
Sivia mengangguk lagi.
"Gila ya, emang PHO banget tuh cewek! Gak dapet Enrico terus dia malah deketin temennya. Dasar nenek lampir!" Ify mengumpat kesal, kedua tangannya terkepal kuat.
"Hm, nasib lo sama kayak Via waktu itu, Fy. Tapi Via lebih beruntung karena Enrico nggak kemakan sama mulut manis si Aura itu." ujar Shilla.
Ify mendengus kesal, menyadari betapa bodohnya ia yang mau berpacaran dengan pria bodoh dan tidak setia seperti Debo. Ia merasa satu tahun yang ia lewati bersama cowok itu kemarin sia-sia.
Air mata Ify jatuh lagi. Ia kembali terisak mengingat masa-masa kebersamaannya dengan Debo.
"Duh udah dong jangan nangis lagi. Nanti kita cariin cowok baru deh buat lo." Sivia kembali menepuk-nepuk pundak Ify agar temannya itu berhenti menangis.
Shilla mengangguk, kemudian merangkul Ify dan menghapus air matanya dengan tisu. "Tenang aja, Fy. Nanti kita cariin cowok yang lebih ganteng dan cool dari Debo. Lo mau yang mirip siapa? Emm Adam Levine? Atau—David Beckham?"
Ify terkekeh di sela isaknya yang perlahan mereda. "Gue gak suka cowok brewokan kali." Protesnya.
"Ih, cowok brewok tuh hot tau, Fy. Pasti kalo ciuman geli-geli gimana gitu." Shilla menimpali sambil senyum-senyum membayangkan penyanyi favoritnya Adam Levine.
Ify kontan menoyor kepala Shilla. "Kayak pernah ngerasain aja lo pacaran sama cowok brewok. Mantan lo aja cuma satu tuh si Steven."
Shilla merengut, ia paling malas kalau sudah membahas mantan pacarnya itu.
"Tau lo, Shill. Atau jangan-jangan selama ini lo punya pacar brewokan tapi nggak bilang sama kita ya? Ngaku lo!" Sivia memicingkan matanya sambil menunjuk-nunjuk Shilla. Curiga temannya itu selama ini punya pacar seganteng Adam Levine tapi sengaja di sembunyikan supaya tidak direbut oleh teman-temannya.
Shilla langsung menepis tangan Sivia dari depan wajahnya. "Apaan sih lo, Vi? Ngaco deh." Ucapnya ketus.
Sivia justru tertawa melihat Shilla yang kesal. "Santai aja keles, sensi banget lo. Kurang piknik nih pasti."
"Bukan kurang piknik dia mah. Kurang kasih sayang." Ify yang sudah berhenti menangis ikut tertawa meledek Shilla. "Makanya cari pacar sana, Shill."
"Lo nyuruh-nyuruh gue emang nggak nyadar kalo sekarang lo juga nggak punya pacar? Lo aja sana yang cari pacar lagi biar nggak galau." Shilla balas meledek Ify.
Ify mendengus, sadar kalau nasibnya kini sama dengan Shilla.
Jomblo.
Bedanya, ia baru jadi jomblo sehari. Sedangkan temannya itu, sudah hampir setahun.
"Lo kenapa nggak jadian aja sih sama Cakka?"
Pertanyaan tiba-tiba dari Sivia itu membuat dahi Shilla berkerut. "Lah? Kenapa jadi dia?"
"Abisnya, kalian tiap hari berduaan terus kayak orang pacaran. Kenapa nggak jadian aja coba?"
"Nggak mungkin lah gue sama dia pacaran. He is my best friend."
"Terus kenapa? Emang salah kalo sahabat jadi pacar?" Kali ini Ify yang bertanya. "Lagian emangnya lo nggak pernah ada perasaan gimana gitu sama Cakka? Kalian kan udah lama deket, masa sih nggak punya perasaan lebih dari sekedar sahabat?"
"Sumpah astaga—kalian tuh kenapa jadi pada ngomongin gue sama Cakka sih?" Shilla terlihat kesal. "Dengerin gue nih ya. Gue sama Cakka itu cuma sahabat. Catet. SA-HA-BAT." Ia sengaja menekankan kata yang terakhir ia ucapkan supaya kedua temannya itu tidak bertanya-tanya lagi tentang Cakka. Lagi pula, kenapa belakangan ini jadi banyak yang menanyakan hubungannya dengan Cakka sih? Padahal, sudah berkali-kali ia mengatakan kalau mereka berdua hanya sahabat.
Tidak lebih.
Tapi karena jawabannya itu, Ify dan Sivia justru sekarang menatapnya penuh curiga, seolah apa yang baru saja ia utarakan itu adalah sebuah kebohongan belaka.
"Yakin cuma sahabat?"
• • •
