Senin pagi, Rio yang bermaksud ingin mencuci motornya sebelum ia berangkat ke kampus nanti mendapati adiknya yang sudah siap dengan kaos dan celana training duduk di kursi teras sambil memakai running shoes merah mudanya.
"Ta, lo nggak sekolah?" tanyanya. Seingat Rio, hari ini bukan tanggal merah.
"Libur dong." Shilla masih mengikat tali sepatunya.
Rio mengernyit. "Libur apaan?"
"Anak kelas dua belasnya kan ujian." Gadis itu sudah berdiri, ia meraih botol minum, ponsel serta headset yang tadi ia letakan di atas meja kecil di sampingnya.
"Ohh." Rio kemudian melanjutkan langkahnya mendekati motor. "Lo mau jogging sama Abi?" tanyanya lagi.
Shilla menghela napasnya ketika mendengar nama itu disebut oleh Rio. Ya seharusnya, jika saja Shilla sedang tidak marah pada laki-laki itu, pasti mereka akan lari pagi bersama seperti biasanya. "Nggak, gue sendiri." Jawabnya malas. "Udah ya gue jalan dulu, bye!"
Anak perempuan itu melewati Rio dan berjalan keluar pelataran rumahnya. Di saat bersamaan, Cakka baru saja tiba di depan rumahnya dan sedang membuka gerbang. Keberadaan laki-laki itu membuat Shilla menoleh. Dilihat dari pakaian yang dikenakan Cakka, sepertinya ia baru saja selesai lari pagi. Kaus abu-abunya basah oleh keringat, dan Shilla juga bisa melihat butiran-butiran keringat itu membasahi pelipis Cakka.
Mata Shilla masih asyik menyusuri tiap inci sosok yang berdiri tak jauh darinya itu. Hingga kemudian ia mengerjap saat Cakka menoleh ke arahnya. Seperti murid yang baru saja ketahuan menyontek oleh gurunya, Shilla langsung gugup. Gadis itu pun membuang muka dan memutuskan untuk beranjak dari sana.
Shilla menyumpal kedua telinganya dengan headset dan memutar secara acak playlist di handphonenya. Kemudian gadis itu mulai berlari perlahan, rambutnya yang dikuncir tinggi berayun mengikuti gerak tubuhnya.
Anak perempuan itu berlari keliling komplek. Hingga dirasa dirinya sudah cukup lelah dan berkeringat, ia memutuskan untuk beristirahat sejenak di taman komplek sebelum kembali ke rumahnya.
Shilla mendudukkan diri di salah satu kursi taman, diteguknya sebotol air mineral yang tadi ia bawa.
"Shilla?"
Hampir saja Shilla tersedak saat melihat siapa yang tiba-tiba berdiri di depannya. "S-steven?"
Shilla tidak tahu kenapa ia bisa bertemu dengan orang itu di sini, yang jelas, detik ini juga rasanya ia ingin langsung lenyap dari hadapan Steven. Ia sudah tidak mau lagi berurusan dengan laki-laki yang selama ini pesan dan teleponnya selalu ia abaikan itu.
Baru saja Shilla ingin beranjak, tapi Steven menahan lengannya.
"Apaan sih?!" Shilla menarik paksa tangannya.
"Shill, aku cuma pengen ngomong sama kamu sebentar. Kenapa kamu selalu ngehindar dari aku sih?"
Shilla menghela napas kasar, ia benar-benar malas membahas apapun dengan laki-laki ini. "Nggak ada yang perlu kita omongin lagi." Ujarnya dingin, kemudian ia berbalik meninggalkan Steven. Tapi ternyata laki-laki itu mengejarnya dan menarik kembali tangannya dengan kasar.
"Lepasin!" Shilla meronta. Suaranya meninggi, menarik perhatian orang-orang yang berada di taman itu.
"Nggak! Kita perlu bicara, Shill. Aku nggak mau lepasin kamu." Steven semakin menguatkan cengkramannya pada tangan Shilla.
Saat Shilla ingin membuka mulut lagi untuk menjawab Steven, tiba-tiba saja seseorang datang dan berdiri memunggunginya, orang tersebut mendorong tubuh Steven hingga laki-laki itu menjauh dari Shilla dan melepaskan cekalannya.