Shilla merebahkan dirinya di kasur setelah selesai mandi dan memakai piyama merah mudanya. Jam sudah menunjukan pukul 9 malam, tapi Shilla sama sekali belum berniat untuk tidur.
Suara denting ponselnya membuat Shilla menoleh pada benda di atas nakas itu. Ia pun bangun dan mengambilnya.
G Steven: Shill, aku mau ketemu sama kamu. Kita harus bicara soal permintaan aku minggu kemarin. Kamu mau kan? Please, Shill.
Shilla berdecak, "Mau apa lagi sih dia?"
Gadis itu kemudian merebahkan dirinya lagi di atas kasur. Ia menatap chat yang terpampang di layar ponselnya itu. Shilla hanya membiarkannya terbaca, ia sama sekali tidak berniat membalasnya.
Shilla kesal, hampir setahun ia berusaha untuk move on. Dan saat ia merasa sudah berhasil melupakan Steven sepenuhnya, laki-laki itu datang lagi. Mengganggunya selama seminggu belakangan dengan mengirim chat hampir setiap hari. Dan semua isi chatnya sama, yaitu memintanya untuk bertemu dan memberinya kesempatan kedua. Padahal dulu, jelas bahwa Steven lah yang meminta putus. Bukan dirinya. Lalu kenapa sekarang Steven ingin kembali?
Potongan cerita yang sudah lama ia lupakan itu tiba-tiba kembali hadir mengusiknya. Memorinya memutar pertemuan terakhirnya dengan laki-laki itu setahun yang lalu.
• • •
"Abi, gue pulang bareng lo ya?"
Cakka menoleh pada Shilla yang tiba-tiba sudah muncul di sampingnya. Bel pulang sekolah sudah berbunyi lima menit yang lalu, dan semua siswa-siswi SMA Violet pun sudah keluar dari kelas masing-masing. Termasuk Cakka dan Shilla yang kini sudah berada di koridor.
"Steven gak jemput emangnya?" Tanya Cakka sambil membenarkan posisi tali ranselnya yang turun.
"Nggak, dia kayaknya masih marah sama gue deh." Ujar Shilla lesu. Pacarnya itu memang belum membalas pesannya sejak kemarin. Teleponnya juga tidak direspon sama sekali.
"Gara-gara lo jalan sama gue kemarin?"
Shilla mengangguk, "Ya salah gue juga sih sebenernya, kemarin nggak bilang dulu sama dia kalo mau jalan sama lo." Gadis itu menghela napasnya, "Ck. Tau ah, pusing gue. Harusnya kan dia udah tau kalo gue biasa jalan sama lo. Kenapa dia masih marah sih?"
Cakka melengos melihat Shilla marah-marah sendiri. Kemudian matanya kembali menatap lurus ke depan.
"Eh, itu Steven?" Cakka menunjuk laki-laki yang berdiri di depan gerbang. Laki-laki itu berseragam berbeda dari anak-anak SMA Violet.
Shilla memandang ke arah yang sama, kemudian senyumnya mengembang. Benar, itu Steven. Ia pun berlari menghampiri pacarnya itu diikuti oleh Cakka.
"Aku kira kamu nggak mau jemput aku. Kamu udah nggak marah lagi kan sama aku?" Shilla langsung bertanya ketika sudah berdiri di depan Steven.
Tapi laki-laki itu tak menanggapi Shilla. Ia justru melirik Cakka yang berdiri di belakang Shilla. Dan Cakka hanya balas menatapnya datar.
"Aku mau ngomong sama kamu, Shill." Steven beralih menatap Shilla.
Gadis itu tersenyum, "Yaudah ngomong aja."
"Nggak di sini." Steven pun menarik tangan Shilla untuk beranjak tanpa pamit dengan Cakka.
"Abi lo pulang duluan aja!" Shilla berseru pada Cakka yang masih diam di tempatnya.
Shilla menyamakan langkahnya dengan Steven sambil memandangi tangannya yang masih di genggam oleh laki-laki itu. Entah kenapa rasanya ia sedikit takut dengan apa yang akan dibicarakan Steven nanti. Sepertinya sesuatu yang serius. Apalagi raut laki-laki itu terlihat tidak enak.
"Mau ngomong apa sih, Stev?" Tanya Shilla setelah Steven melepaskan genggaman tangannya. Keduanya sudah tiba di sebuah taman yang letaknya tak jauh dari SMA Violet.
"Kamu masih marah sama aku gara-gara-"
"Kita putus, Shill."
Mata Shilla melebar, bibirnya terkatup rapat. Kata-kata yang ingin ia ucapkan tadi tertelan begitu saja. Ia langsung menatap lurus-lurus laki-laki yang berdiri di depannya. Memastikan pacarnya itu serius atau hanya bercanda dengan ucapannya barusan.
Dan Steven, laki-laki itu hanya menunjukan wajah datarnya.
Shilla terkekeh pendek, "Jangan bercanda, Stev." Ucapnya, ia menatap Steven tidak percaya. "Cuma karena masalah sepele kayak gini kamu nggak mungkin putusin aku kan?"
Shilla yakin Steven tidak mungkin memutuskannya hanya karena cemburu dengan Cakka. Steven tidak se-childish itu. Mereka sudah berpacaran sejak kelas 3 SMP, sudah satu tahun mereka bersama. Dan Steven tahu jelas bagaimana kedekatannya dengan Cakka selama ini.
"Aku serius, Shill. Lebih baik kita putus."
Shilla menggeleng, "Tapi kenapa? Apa ini soal kemarin? Stev, itu kan cuma masalah-"
"Itu bukan cuma masalah sepele, Shill. Dan bukan cuma kemarin aja kamu kayak gitu." Steven memotong ucapan Shilla.
"Stev, tapi kan kamu tau dari awal. Aku sama Cakka emang sedeket itu. Dia sahabat aku dari kecil, aku udah anggap dia kayak kakak aku sendiri, dan dia juga-"
"Tapi kenyataannya dia bukan kakak kamu. Kalian bahkan nggak sedarah. Bukan nggak mungkin kalau salah satu dari kalian punya perasaan lebih. Aku tahu, cara dia liat kamu itu bukan kayak tatapan seorang kakak ke adiknya, atau tatapan seorang sahabat. Tatapan dia ke kamu lebih dari semua itu, Shill..."
Shilla terdiam, masih berusaha mencerna kata-kata Steven. Shilla tidak mengerti kenapa Steven bisa berpikir demikian tentang Cakka.
"Dan aku juga tahu. Kamu liat dia dengan cara yang sama."
• • •
Shilla menghembuskan napas kasar, lantas memejamkan matanya. Ia tidak mau mengingat-ingat masalah itu lagi. Sampai sekarang, Shilla masih belum paham mengapa Steven bisa berpikiran seperti itu tentang dirinya dan juga Cakka. Shilla merasa Steven salah tentang semuanya.
Shilla memang menyayangi Cakka. Tapi ia hanya mengartikan rasa itu sebagai rasa sayang pada seorang sahabat, tidak lebih. Dan Shilla yakin, Cakka juga menganggapnya seperti itu.
Shilla ingat, dulu waktu mereka masih duduk di kelas 1 SMP. Cakka pernah mengatakan bahwa ia akan selalu jadi sahabat Shilla, begitu pun sebaliknya.
Jadi, sampai kapan pun keadaan mereka tidak akan berubah kan?
• • •
