Sehabis dari bandara mengantar mama, aku tak langsung pulang. Aku telpon niko dengan tujuan mau berkunjung lagi ketempat kerja niko. Tak perlu menunggu lama niko mengangkat telponku. Ia menyambut dengan baik dan menyuruh aku kekantornya. Aku langsung menuju ke kantor niko. Waktu aku datang, niko sedang asik mengetik didepan laptopnya.
"hai nik, wah nampaknya kamu lagi sibuk ya?"
aku menyapa niko. Ia terlihat senang melihat kedatanganku.
"nggak kok rio, ini hanya memeriksa beberapa pesanan yang sudah diambil kastemer. Sebentar lagi juga kelar kok. Silahkan duduk rio.. oh ya tin tolong bikin kopi ya buat tamu saya!"
sambut niko sambil beranjak dan menutup laptopnya lalu menghampiriku. Titin mengngguk lalu meninggalkan mejanya untuk membuatkan kopi yang diminta sama niko. Aku duduk dikursi tamu dan menyender. Rasa sejuk ac yang menerpa tubuhku terasa sangat mnyegarkan di pagi yang hangat ini.
"kamu sibuk terus ya nik, kapan mau kerumahku. Aku tunggu kabar dari kamu tapi tak kunjung ada"
"iya maaf rio, beberapa hari ini aku memang lumayan disibukkan oleh pekerjaanku. Jadi tak banyak waktu untuk beristirahat. Ya untungnya sekarang sudah lumayan bisa santai. Kamu nggak ada kegiatan kan hari ini bagaimana kalau kita jalan-jalan."
"kamu kan lagi kerja nik, wah aku jadi nggak enak nih malah mengganggu"
aku merasa kurang enak hati.
"tak apa apa rio, aku memang butuh refreshing, kebetulan kamu datang jadi aku punya teman buat berjalan-jalan. Kalau kamu mau aku selesaikan dulu sisa pekerjaanku tadi. Tak apa kan menunggu sebentar?"
"tak masalah nik, terimakasih tin"
aku tersenyum pada titin yang barusan menyuguhkan kopi padaku. Ia membalas tersenyum lalu berbalik ke mejanya dan kembali sibuk dengan pekerjaannya.
"minum rio, kalau mau lihat-lihat kebelakang tak apa apa daripada kamu bengong nungguin aku!"
"iya nik, makasih"
aku mengambil cangkir dan menyeruput isinya sedikit-sedikit sambil aku tiup karena masih panas, niki kembali mengerjakan tugasnya sementara aku menunggu sampai ia selesai sambil membalik-balik lembaran majalah.
Tak sampai satu jam niko telah selesai dengan tugasnya. Ia mengambil jaket yang tergantung lalu memakainya.
"kita jalan sekarang ya rio.
"oke, kemana maunya?"
"bagaimana kalau kita cari makanan dulu lalu kita bersantai di lapangan, katanya sore ini ada tanding bola antar kecamatan disana... kamu mau kan nonton bola?"
niko mengusulkan. Sebenarnya aku tak terlalu suka dengan bola. Malahan aku nyaris tak pernah nonton kecuali tak sengaja. Namun niko nampaknya tak tahu harus kemana lagi. Memang untuk tempat wisata disini hanya pantai saja karena sepertinya pemerintah tak ada inisiatif untuk membangun tempat hiburan.
"kamu tak suka bola ya?"
tanya niko saat ia melihat aku diam saja.
"bukan tak suka nik, hanya aku emang kurang hobi saja.. tapi kalau kamu memang mau ditemani tak apa apa kok, kita nonton bola saja..!"
"aku juga sih.........! sebenarnya tak begitu hobi rio, kalau menurut kamu kemana tempat yang asik untuk bersantai?"
niko meminta saranku.
"kita ke pantai saja ya...., cuaca begini rasanya kalau kepantai pasti menyenangkan karena teduh. Kita bisa memandangi lautan dan ombak, juga pohon-pohon cemara dan burung yang terbang"
"wah nampaknya asik juga tuh, baiklah kita kepantai saja, ayo berangkat sekarang."
"naik kendaraanku saja ya"
kataku pada niko. ia mengangguk tanda setuju.
&&&&&&&&&
memandangi air laut yang biru serta ombak yang bergerak dari laut hingga ke bibir pantai yang berpasir, mendengar suaranya yang bagaikan musik mengalun indah memang memberikan rasa yang damai. Aku dan niko duduk diatas batu karang yang agak menjorok ke pantai. Niko melihat ombak yang berkejar-kejaran seolah anak kecil yang gembira.
"kadang aku kepingin sekali kemari rio, tapi kamu tahu sendirilah aku ini kadang sibuk, tapi untung saja aku kenal sama kamu jadi ada yang mau menemaniku."
"memang sih suasana disini memang bisa membuat pikiran kita jadi lebih segar. Katanya warna biru langit serta lautan bisa menjadi sumber inspirasi bagi otak kita hingga kita bisa lebih kreatif"
kataku asal saja. Niko tampaknya tertarik dengan penjelasanku.
"masak sih rio?"
"kalau aku sih merasa begitu"
"kamu benar, rasanya pikiranku yang dari tadi agak penat berangsur rileks, harusnya aku lebih sering kemari. Tapi aku baru setahun kembali ke bangka."
niko menjelaskan tanpa aku tanya.
"memangnya selama ini kamu kemana?"
tanyaku lagi. Aku meraih sekantong kacang kulit lalu mengambil segenggam dan meletakannya diatas batu karang.
"aku kuliah di palembang, setelah kembali disini rasanya aku begitu kesepian. Makanya mamaku menyuruh aku merintis usaha agar aku ada yang bisa dikerjakan tak hanya bengong dirumah. Aku tak memiliki banyak teman karena memang aku kurang pandai bergaul"
"kalau tak salah kan waktu pertama aku melihat kamu dulu ada temanmu"
"itu doni, tapi sekarang ia sedang sibuk. Mana ia mau pelatihan keluar daerah"
sekilas aku bagai melihat ada kemurungan yang menggelayuti wajah niko.
"oh ya kamu sudah punya pacar?"
tanyaku sambil mengupas kulit kacang. Niko tak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada lautan yang membentang luas. Nampaknya ada sesuatu hal yang memberatkan pikirannya.
"belum rio, aku sama sekali belum pernah pacaran, dulu aku pernah menyukai seseorang namun aku tahu sampai kapanpun ia tak akan bisa menyukaiku.. "
aku terdiam mendengar penjelasan niko. Sepertinya ia punya masa lalu yang kurang menyenangkan dengan seseorang.
"aku berusaha mengalihkan pikiranku tentang dia, namun entah kenapa hingga sekarang aku tak bisa rio..."
"dimana dia sekarang?"
aku menatap niko. Matanya agak memerah. Rasanya aku bisa merasakan kalau niko menderita. Satu hal yang tak aku kira sama sekali.
"aku baru kenal sama kamu tapi aku rasa aku bisa mempercayaimu untuk berbagi masalahku, aku tak punya teman untuk curhat rio, tapi perasanku mengatakan kalau aku bisa bercerita apa saja padamu"
aku agak terkejut juga mendengarnya . Tak menyangka kalau niko mempercayaiku walaupun aku dan dia baru kenal.
"terima kasih nik, tapi kalau kamu merasa berat untuk bercerita tak apa-apa kok nik aku bisa mengerti, tak semua masalah yang kita miliki bisa kita ceritakan pada orang lain"
"rasanya aku hidup sendirian didunia ini, kamu tahu rio, aku bekerja keras, berusaha untuk mengalihkan pikiranku pada orang itu, aku merasa kalau aku tak akan pernah bisa bahagia, mungkin kamu tak tahu bagaimana rasanya memendam perasaan yang menyakitkan ini"
suara niko agak sengau, aku rasa ia sedang berusaha menahan tangisan. Aku jadi bingung kenapa harusjadi begini, seharusnya aku menemani niko bersantai dan membuat ia merasa terhibur. Ini malah kesannya niko jadi sedih. Apakah yang telah aku katakan padanya tadi aku jadi heran sendiri.
"maaf rio, hehehe.. aku kadang terbawa pikiranku sendiri, aku tak mau jadi orang yang cengeng namun kadang seorang lelaki pun tak bisa selalu kuat..."
"apakah ia tahu kalau kamu mencintainya?"
tanyaku dengan hati-hati. Aku tak mau membuat niko malah makin bertambah sentimentil. Soalnya aku tahu bagaimana rasanya kalau sedang ada masalah dengan perasaan.
"mungkin ia tak akan pernah tahu rio, aku tak mungkin bisa mengungkapkan perasaanku padanya karena aku tak mau kalau ia sampai membenciku, biarlah aku cukup menyimpan dalam hati saja."
"sekarang ia dimana?"
"ia di bandung, aku rasa ia sudah selesai kuliah, aku menunggu ia pulang sampai sekarang tak juga ia pulang. Aku tak ada lagi mendengar kabarny sampai sekarang. Rasanya aku sangat kangen padanya."
"apa kamu tak mencoba menemui keluarganya dan bertanya dimana alamatnya, dari pada kamu harus memendam perasaan yang justeru akan membuat kamu merasa tak tenang lebih baik kamu ungkapkan saja perasaanmu itu. Kalau kamu diterima itu artinya kamu memang berhak bahagia dengannya, tapi andaikan dia menolakmu setidaknya kamu tahu kalau kamu tak perlu lagi menunggunya, itu akan membuat kamu jadi lebih tenang."
"iya aku juga maunya begitu tapi entah kenapa semakin aku berusaha untuk lupakan malah ia semakin sering berada dalam ingatanku, aku tak bisa melupakannya... aku bingung apa yang harus aku lakukan rasanya aku sudah tak tahu lagi harus melakukan apa"
"aku juga bingung nik, aku belum terlalu berpengalaman dalam menghadapi masalah yang seperti ini, karena terus terang saja aku juga bukan orang yang terlalu beruntung dalam masalah bercinta"
"seseorang yang mengisi hati kita dari kita masih remaja, selalu bersama dan tiada hari yang terlewatkan tanpa bersama, tapi tak ada keberanian untuk mengungkapkan perasaan padanya, rasanya itu sangat menyiksa sekali, aku selalu terkenang dengan kebaikannya serta perhatiannya"
"lalu kenapa kamu tak mau mengatakan perasaan yang kau rasakan pada perempuan itu nik?
Aku jadi tak habis pikir, dulu aku juga pernah mengalami bagaimana menyukai orang yang rasanya diluar jangkauan. Tapi rupanya nasib bicara lain, aku berhasil mendapatkannya walaupun tak berakhir bahagia.
"aku sudah terlalu jauh bercerita, aku minta maaf rio... tak seharusnya aku mengacaukan hari ini dengan masalahku. Kamu menemaniku untuk bersantai bukannya untuk mendengar aku mengeluh..."
niko seolah berusaha mengalihkan pembicaraan ini. Aku tak mau memaksanya lagi meskipun dalam hatiku masih penasaran kenapa niko harus menahan perasaannya, aku tahu memang tak mudah mengungkapkan perasaan, tapi niko normal, sebenarnya tak ada alasan ia untuk takut mengungkapkan perasaan pada gadis yang ia cintai.
&&&&&&&&&&
"rio kakak mau bicara padamu! Ini penting, bisa kamu kerumah kakak sekarang?"
suara kak fairuz terdengar agak panik. Aku sedang nonton film disalah satu stasiun swasta saat kak firuz menelpon.
"ada apa kak, memangnya ada masalah apa?"
"nanti saja kakak jelaskan dirumah, kalau bisa sekarang juga ya kakak tunggu!"
"iya kak, tunggu paling lama setengah jam lagi"
aku menutup telpon, emak memandangiku dengan heran.
"ada apa rio, kamu mau kemana, siapa tadi yang menelponmu?"
pertanyaan emak beruntun, nampaknya emak mendengar sedikit pembicaraanku tadi.
"kak fairuz mak, ia memintaku datang kerumahnya sekarang, aku tak tahu kenapa tapi sepertinya ada sesuatu yang penting yang ingin ia katakan padaku."
"kalau begitu kau harus kesana sekarang rio, kasihan kakakmu menunggumu, siapa tahu memang ia sangat mebutuhkanmu!"
aku mengangguk lalu aku berganti pakaian dan kerumah kak fairuz. Tak sampai setengah jam aku sudah berada dirumahnya.
"rio, kamu sudah tau tentang masalah ini belum?"
kelihatan sekali kak fairuz panik. Amalia yang sedang duduk sambil emnggendong faisal pun nampaknya agak gelisah.
"ada apa kak, apakah faisal sakit?"
tanyaku sambil mengamati fasial namun nampaknya tak ada yang aneh dengan faisal. Ia masih bermain main dengan mainan karet untuk digigit tapi tak ada tanda tanda kalau ia sakit.
"bukan itu, tapi papa dan mama mau cerai!"
kata kak fairuz setengah berteriak.
"aku sudah tahu kak, mama sudah cerita kemarin"
"kamu kok nggak bilang sama kakak, kenapa mama juga hampir dua minggu disini tapi tak bilang apa-apa, kalau saja tadi om sebastian tak menelpon mungkin kakak juga tak akan pernah tahu masalah ini, heran kenapa sih mereka itu sudah tua-tua masih saja mau bercerai!"
kak fairuz nampaknya kesal.
"apa tante lina sudah tau mengenai masalah ini?"
"sudah, tapi mama tak berkomentar apa-apa!"
"kakak kan tahu bagaimana sikap mama, tapi aku juga belum tahu apa masalah antara mama dan papa jadi aku tak bisa menyalahkan siapa-siapa!"
kataku berpura-pura, aku takut kalau kak fairuz tahu masalah yang sebenarnya karena papa harlan salah paham dengan papa alvin lalu kak fairuz akan membenci papa alvin. Aku juga tak tahu bagaimana yang sebenarnya karena aku belum yakin dengan apa yang mama jelaskan itu. Aku rasa masih ada hal yang tak mama katakan.
"maka dari itu, kakak memang sempat curiga kok mama kamu kayaknya lama sekali disini kayak nggak ada beban saja meninggalkan papa dan wenny, iya sih ada yang mengasuh wenny tapi kalau tak ada hal yang besar tak mungkin mama seperti tak perduli, kakak kira hanya bertengkar biasa saja dengan papa!"
"aku juga kaget kak saat mama menceritakan itu kemarin, aku juga bertanya kenapa mama tak memberitahu kakak, kata mama ia tak mau membuat keributan sebelum semuanya menjadi jelas, mama juga tak mau perceraian, tapi masalahnya papa yang mau bercerai, jadi mama tak ada pilihan lain!"
"kenapa sih papa bisa seperti ini, apa ada perempuan lain lagi yang papa sukai seperti saat papa menceraikan mamaku dulu, kalau memang itu masalahnya aku sudah tak akan bisa lagi mentoleransinya!"
"sepertinya bukan masalah perempuan lain kak, memang aku merasa kalau mama dan papa i tu agak jauh belakangan ini sebelum aku pindah ke bangka"
"ataukah mungkin karena mamamu dan om alvin kembali dekat rio?"
tebak kak fairuz nyaris sempurna. Ternyata ia bisa mengira apa yang terjadi.
"itu juga masih aku ragukan kak, kata mama kalau soal ia dan om alvin, mereka hanya sekedar berteman saja sekarang tak lebih, tapi kalau memang papa memandang itu lain ya mama juga tak bisa melakukan apa apa. Papa alvin adalah ayah kandungku kak, wajar saja kalau mama terkadang bersama om alvin untuk membicarakan masalah tentang aku, tapi itu kan bukan berarti kalau mama bisa disalahkan karena selingkuh, aku yakin papaku bukan tipe orang yang suka membuat masalah!"
aku tak mau sampai kak fairuz berpikiran yang negatif tentang papa.
"apa kamu sudah bicarakan pada mama agar mempertimbangkan kembali keputusan mereka itu rio?"
"sudah kak tapi sulit sekali rasanya kalau mama dan papa memang sudah mantap untuk bercerai, mereka punya alasan yang kadang kita sebagai anaknya tak akan pernah tahu apa yang membuat mereka mengambil keputusan seperti itu. Tapi kalau memang itu yang terbaik bagi mereka kita tak bisa melakukan apa-apa lagi kak, kalau saja kita memaksa dan nantinya mereka ada masalah yang lebih besar aku takut malah kita yang akan mereka salahkan"
"tapi aku tak mau kalau sampai papaku dan mama kamu bercerai rio, kamu tahu kan bagaimana kita ini jadi saudara karena pernikahan mereka!"
pernyataan yang mengejutkan dari kak fairuz yang selama ini sangat membenci mama. Tak sedikitpun aku menduga kalau ia akan mengatakan hal ini.
"aku juga memikirkan hal itu kak.. meskipun selama ini mungkin mama sudah menyakiti kak fairuz dan tante lina, tapi paling tidak hikmah darisemua adalah kita jadi keluarga"
"mungkin dulu kakak memang menentang pernikahan antara papa kakak dan mama kamu rio, tapi sekarang kakak sudah bisa menerima hal itu dan mama juga sudah tak mau memikirkannya. Lagian aku juga tak terlalu dekat sama papa, Tetapi kenapa setelah kakak bisa menerima justeru mereka mau mengakhirinya?"
"semua memang sudah diatur yang maha kuasa kak, tak ada satu hal pun yang bisa kita duga. Apalagi jodoh dan maut. Kita hanya bisa menjalani saja dan kalaupun tak seperti yang kita mau mungkin itu adalah rencana yang telah disusun untuk kita agar nanti akan mendapatkan yang lebih baik"
"kamu sudah semakin dewasa sekarang rio, kakak sangat senang dengan pemikiran kamu.."
kak fairuz menatapku senang. Entah kenapa aku bagaikan melihat kembali percikan api pada tatapan kak fairuz padaku bagaikan saat kami baru bertemu dulu. Aku membayangkan seandainya dulu kak fairuz datang lebih awal apakah kami akan akrab seperti saat sekarang.
"kita hanya bisa menunggu perkembangannya kak, sambil kita terus berusaha memberi pengertian pada mereka agar memikirkan kembali."
kak fairuz mengangguk mendengarnya.
"dek kamu bisa nggak ke palembang barang sehari dua hari,soalnya kalau kakak sih sekarang benar-benar sibuk, pekerjaan kakak tak bisa ditinggal, kakak mau adek menemui mama adek untuk mempengaruhinya biar tak jadi cerai sama papa!"
aku terdiam, kak fairuz meminta aku agar datang ke palembang disaat seperti ini, kak fairuz bukan tak tahu dengasn masalah yang sedang aku hadapi di palembang. Tapi kak fairuz meminta ini bukan tanpa alasan yang pasti.
"kakak mohon adek ke palembang besok dek, kakak juga mau tahu bagaimana keadaan papa, bagaimana dek mau kan kamu bantu kakak?"
melihat wajah yang sangat berharap itu rasanya aku tak akan mampu untuk menolaknya tapi rasanya entah kenapa aku sangat berat sekali. Tapi selama ini kak fairuz tak pernah menolak untuk memberikan bantuannya padaku, apakah pantas kalau aku membuat ia kecewa dengan penolakan. Kak fairuz sangat jarang sekali meminta tolong padaku. Akhirnya dengan hati yang masih terasa agak berat aku mengangguk. Wajah kak fairuz langsung berbinar.
&&&&&&&&&&&&
turun dari pesawat dan menghirup lagi udara kota palembang menggulirkan kembali memori-memori yang pernah aku alami disini, rasanya seakan sudah berabad aku tak menginjakkan kaki ke kota ini. Tak begitu ada perubahan yang berarti. Jantungku terasa berdenyut lebih kencang dari biasanya, tak bisa aku sangkal aku sangat merindukan tempat yang begitu akrab bagiku disaat masa remajaku hingga tumbuh dewasa. Bukannya tak banyak kenangan yang indah yang sampai sekarang aku masih ingat dengan jelas. Tujuan pertamaku adalah singgah ke makam kak faisal dibukit sekuning. Dengan diantar oleh taksi aku menuju ke makam.
Aku membersihkan gundukan tanah yang telah ditumbuhi rerumputan tebal. Bunga mawar dan melati yang ditanam telah tumbuh dan berbunga dengan indah. Warna putih yang melambangkan kesucian. Dengan hati-hati aku sentuh kelopak yang masih segar terasa begitu lembut bagaikan kain sutera di ujung jariku. Melintas kembali kenangan saat kak faisal masih hidup. Kami begitu akrab bagaikan memang saudara kandung, rasanya semua yang indah tak pernah berlangsung lama. Terkadang aku masih menyesali kenapa kak faisal harus begitu cepat pergi meninggalkan kami yang sangat merindukan serta menyayanginya. Kakak yang aku punya yang memang menjadi sosok seorang kakak yang aku impikan selama ini. Memberikan aku perlindungan serta kasih sayang. Andaikan saat ini ia masih ada mungkin kami masih terus bersama meskipun aku tahu pastilah ia sudah menikah dengan amalia.
Memang ada kak fairuz yang datang sebgai penggantinya namun itu tak akan pernah sama karena kak faisal adalah tetap kak faisal yang telah bersamaku bertahun tahun. Tak terasa airmataku jatuh tanpa dapat aku bendung. Aku tahu meskipun sekarang dunia kami sudah berbeda namun ia masih perduli padaku. Aku bisa merasakan itu. Setelah hampir satu jam berlutut dimakam kakakku itu, berdoa afgar segala kesalahan yang pernah ia buat selama ia masih hidup mendapatkan pintu maaf yang selebar lebarnya dari dzat maha pemberi maaf. aku beranjak dan meninggalkan makam yang sudah satu tahun tak aku ziarahi.
&&&&&&&&&&&
Saat aku mengutarakan maksudku untuk berangkat ke palembang emak sangat terkejut dan sempat kuatir apalagi aku pergi dengan mendadak. Emak mengira aku mau kembali tinggal di palembang, namun aku dengan segera mengatakan pada emak kalau aku hanya pergi dua hari dan akan pulang jumat ini pada acara lamaran yuk tina. Barulah emak merasa lega. Erwan yang mengantarkan aku ke bandara. Emak dan kedua ayukku ikut mnegantarkanku. Emak berpesan agar aku tak melakukan hal yang bodoh karena emosi semata. Tentu saja aku tak akan berbuat bodoh. Kekuatiran emak bisa aku mengerti karena ia tahu kalau aku dan mama sudah beberapa kali berada dalam posisi yang tak mengenakkan dan sekarang hubungan kami baru akan membaik kembali.
Aku memutuskan mau menginap dirumah papa alvin, sebelum berangkat aku sudah menelpon papa dan katanya ia menungguku dirumah, papa minta maaf tak bisa menjemputku karena saat ini ia sedang dalam perjalanan pulang dari baturaja. Taksi yang membawaku telah sampai digerbang rumah papa. Aku turun dan membayar ongkos lalu membuka pagar. Memang sepi sekali nampaknya suasana dirumah papa. Aku heran mengapa papa harus membangun rumah yang besar sedangkan yang tinggal didalamnya hanya dia dan harto yang membantu mengurusi segala keperluan papa.
"oh tuan rio!"
harto yang sedang membersihkan kolam ikan di samping kiri beranda agak terkejut saat melihatku. Ia langsung melipat selang yang tadinya ia pakai untuk menyemprot dinding kolam yang mulai berlumut. Harto mengeringkan tangannya dan menyalamiku.
"apa kabar tuan, kenapa lama sekali tuan tak datang kesini?"
"jangan panggil aku tuan to, aku kan masih muda dan aku juga bukan majikan kamu. Papa belum nyampe ya?
Aku agak jengah kalau harto memanggil aku dengan tuan, rasanya itu terlalu berlebihan.
"kayaknya tuan alvin baru tiba sore, masuk dulu tuan, aku akan buatkan minuman dingin...pasti tuan sangat lelah"
aku mengikuti harto masuk ke dalam rumah. Rasanya langsung segar karena sejuk hembusan angin dari pendingin ruangan langsung menerpa tubuhku. Aku menghenyakkan tubuh diatas sofa tebal berlapis beluderu yang terasa sangat empuk. Harto kembali dengan membawa segelas besar sirup dingin, tanpa mmenunggu langsung aku minum isinya hingga tinggal setengahnya saja.
"kalau mau istirahat dikamar saja tuan, tiap hari aku bereskan meskipun tuan tak pernah datang.!"
memang dasar harto tak bisa dikasih tau, padahal aku sudah melarangnya memanggil aku tuan, ataukah karena dia berasal dari perkampungan di daerah jawa hingga menganggap kalau majikan itu harus dipanggil tuan. Papa memang mempekerjakan harto saat ia baru menginjakkan kaki dipalembang. Umur harto dan umurku tak terpaut terlalu jauh, mungkin kalau tak salah harto seumuran dengan kak fairuz.
"nanti saja to, oh ya! aku mau kerumah temanku dulu to, kalau ada papa tolong suruh telpon aku to, aku mau pake mobil papa.. kuncinya ada kan?"
harto mengangguk dan pergi meninggalkanku lalu ia kembali dengan membawa sebuah kunci mobil yang digantung pada dompet berwarna cokelat terbuat dari kulit dengan gantungan yang berjejer.
"terimakasih to,aku jalan dulu ya.. paling lama jam enam aku kesini lagi!"
harto mengangguk dan mengantarkan aku ke garasi. Ada beberapa mobil didalam garasi ini dan semuanya mobil yang mewah. Entah untuk apa papa membeli mobil lebih dari satu padahal yang ia butuhkan paling cuma satu.
Tak sampai lima memnit aku sudah dijalan raya menuju kerumah koko. Ia sangat terkejut sekali karena tak menduga kalau aku bakalan datang kerumahnya hingga ia langsung memelukku saking senangnya. Koko memanggil mamanya sambil menarikku masuk kedalam rumahnya. Mama koko yang sedang didapur langsung keluar untuk menemuiku. Mama koko reaksinya tak beda dengan koko. Ia sangat senang sekali melihatku hingga berkali-kali ia menciumku seolah aku masih anak-anak.
"astaga nak, bibi kangen sekali sama kamu, sudah lama kamu tak kemari hampir dua tahun, kemana saja kamu nak, kenapa seperti lupa sama bibi?"
memang dari dulu kakak papa ini sangat menyayangiku walaupun ia tak tahu kalau aku adalah keponakannya, apalagi setelah dia tahu seperti sekarang ini.
"maaf bi, bukannya aku tak mau memberi kabar, tapi sekarang aku kan sudah disini, bagaimana kabar kalian semua?"
"kami baik-baik dan sehat nak, kamu memang kelewatan, sampai bibi terniat untuk mengajak koko main ke bangka saking kangennya sama kamu. Jadi kamu sekarang sudah balik lagi kesini kan?"
tanya mama koko sangat berharap. Aku menggeleng.
"tidak bi, aku hanya dua hari disini karena ada satu hal yang mau aku urus, lusa aku balik lagi ke bangka."
"kenapa kamu tak mau lagi tinggal dipalembang nak,bukannya kamu sudah banyak teman disini lagipula keluarga kamu kan tinggalnya di palembang. Apa kamu tak kangen sama mereka?"
"ma sudah dong ma, rio kan masih capek....masak sih mama terus menghujaninya dengan pertanyaan yang tak habis-habisnya, lebih baik sekarang kita biarkan dulu ia istirahat biar capeknya hilang, mama lanjutkan masak yang enak karena kebetulan hari ini ada rio, pasti ia sudah kangen karena tak makan masakan mama..."
kata koko yang kasihan melihatku kebingungan dengan pertanyaan dari mamanya. Seperti baru sadar akan sesuatu mama koko menepuk keningnya.
"astaga mama nyaris lupa, untung saja kamu ingatkan...mama memang lagi masak. Rio hari ini kamu makan disini saja... bibi akan masak yang enak buat kamu. Oh ya kalau bisa kamu nginap disini saja ya nak"
nampaknya mama koko sangat berharap kalau aku mau.
"nanti aku lihat kondisinya dulu ya bi, soalnya aku harus bertemu sama papa dulu. Lalu aku ceritakan apa yang menyebabkan aku hingga datang kepalembang. Koko dan mamanya nampak tak begitu terkejut.
"jadi kamu sudah tau masalah itu, sebenarnya alvin sudah cerita sama kami nak, ya memang sih rasanya mereka tak berpikir panjang sebelum mengambil keputusan. Bibi juga heran kenapa hal seperti ini harus terjadi. Kalau saja mereka mau bertindak dengan kepala dingin mungkin tak akan begini jadinya, bibi sangat tahu bagaimana adik bibi jadi bibi yakin seratus persen kalau alvin tak akan mengganggu rumah tangga orang lain"
mama koko nampak sangat menyayangkan hal seperti itu bisa terjadi.
"aku juga yakin bukan hanya masalah kecemburuan yang jadi pemicunya bi, tapi aku tak bisa berbuat banyak. Kalau saja memang karena masalah papa alvin yang menurut papa harlan mau merebut mama darinya aku rasa itu terlalu berlebihan, makanya aku mau bicara dulu sama papa alvin lalu bicara sama papa harlan agar semuanya jadi jelas"
"sebaiknya kamu jangan ikut campur terlalu jauh dalam masalah mereka nak, kamu kan hanya anak tiri saja bagi harlan jangan sampai ia marah padamu, biarkan saja mereka yang menyelesaikan masalahnya karena mereka adalah orang yang sudah dewasa, bibi tak mau kalau kamu mendapat masalah lagi, bukannya kamu meninggalkan palembang karena papa tirimu juga?"
suara mama koko berubah jadi agak ketus.
"tapi bi, selama ini papa baik kok sama aku, ia juga tak membedakan aku dengan anak kandungnya"
"bagaimanapun juga ia bukan bapak kandung kamu nak, kamu kan ingat bagaimana reaksinya saat tahu bagaimana keadaan kamu yang sebenarnya, bibi tak akan lupakan itu, seenaknya saja mereka mengusirmu dari rumah..!"
kata mama koko berapi-api.
"aku tak diusir bi, tapi aku yang memutuskan meninggalkan rumah, lagipula papa harlan tak tahu kok kalau aku meninggalkan rumah, apapun yang akan terjadi nantinya biarlah akan aku hadapi, aku akan mencoba sebisaku membujuk mereka"
"apa kamu tak menginginkan keluargamu utuh kembali rio, tak berantakan seperti sekarang ini, bibi sudah memikirkannya andaikan mamamu nanti jadi bercerai dan mau menikah dengan adik bibi... demi kamu kali ini bibi alkan merestuinya...."
aku terhenyak mendengar pernyataan yang baru saja dikatakan mama koko. Ternyata mereka juga sangat mendukung mama dan papa bercerai. Aku tak tahu harus mengatakan apa lagi.
&&&&&&&&&&
setelah makan siang, aku bersantai didepan rumah koko, kami duduk sambil merokok dan minum es teh. Aku sedikit gelisah. Setelah lama tak menginjakan kaki dirumah ini memang aku sangat kangen, tapi aku masih terpikir dengan perkataan bibiku tadi. Kalau ia sebenarnya berharap aku mendapatkan lagi keluargaku yang utuh. Tapi bagiku rasanya itu bagaikan tak mungkin lagi. Mama sudah punya jalan hidupnya dengan papa sedangkan papa alvin juga pernah menikah dan punya anak juga dengan isterinya.
Papa alvin belum lama bercerai dengan tante sophie. Entah kenapa semua jadi makin rumit dan berbelit seperti ini. Bagaikan benang kusut yang tak mungkin diurai kembali. Meskipun dalam hati aku ingin mempunyai keluarga lagi yang utuh dimana papa dan mama kandungku bersatu, tapi sekarang semua rasanya berbeda. Aku punya kak fairuz, ia kakak angkatku. Juga almarhum kak faisal meskipun sudah tiada. Kalau ia tahu tentang hal ini aku yakin ia akan sedih, dulu yang membuat kami saling kenal adalah pernikahan orangtua kami. Dan sekarang semua itu hanya menghitung hari akan berakhir. Rasanya aku sangat sedih. Begitu banyak kenangan yang aku lalui dulunya bersama keluargaku, bersama mama, papa harlan, om sebastian, kak faisal dan adikku wenny. Hal itu tak akan bisa hilang begitu saja. Meskipun nantinya papa alvin dan mama menikah lagi, aku tak yakin aku akan sebahagia saat aku tinggal bersama mama dan papa harlan. Semoga saja memang bukan karena mama dan papa alvin menemukan kembali romansa cinta mereka yang menyebabkan perceraian mama dan papa harlan terjadi.
"aku mau kerumah rizal ko, kamu mau ikut?"
tanyaku sambil berdiri dan melemparkan puntung rokok yang telah sampai pada filternya ke halaman. Sambil ikut berdiri koko mengibas ngibaskan celananya. Padahal tak mungkin ada debu karena lantai terasnya yang dari keramik begitu bersih.
"aku temani kamu kerumah rizal yo, tampaknya jadwal kamu hari ini padat sekali ya, apa kamu tak takut nanti malah jadi sakit karena terlalu capek?"
"ya nggak lah ko, jangan sampai sakit aku juga takut.. kan cuma sekedar berkunjung, aku mau tahu bagaimana kabar rizal sekarang, ia temanku dan teman almarhum kak faisal, ia banyak membantuku jadi aku tak mungkin tak singgah kerumahnya, nanti ia bisa marah kalau tahu aku tak main kerumahnya"
"jadi kita kesana sekarang?"
"iya ko kalau kamu tak keberatan"
"aku ganti baju dulu ya, sekalian mau bilang sama mama..."
koko masuk kedalam sementara aku berdiri sambil menyandar di tiang teras rumah koko. Aku memandang ke jalanan yang ramai dengan kendaraan. Aku sangat kangen sekali dengan teman temanku disini, aku rasa aku bisa melepas kerinduan pada mereka walaupun hanya sehari. Setelah semua masalah bisa aku atasi aku akan balik lagi kemari untuk melanjutkan kuliahku yang sempat terputus. Aku harus bisa jadi sarjana dan setelah itu aku akan bekerja. Aku ingin membahagiakan emak, aku akan membawa emak tinggal denganku. Biarlah rumah yang ada di bangka nantinya untuk yuk yanti saja . Aku kasihan pada yuk yanti karena nampaknya kehidupannya pun tak begitu sejahtera.
Rizal tak menyangka kalau aku akan datang, ia langsung menelpon semua anggota genk kami dulunya. Tanpa menunggu lama semua sudah berkumpul, agus membawa gitarnya. Rizal membuat kopi dan seperti biasa kami bernyanyi dengan suara yang sumbang. Aku sangat merindukan saat saat yang seperti ini. Tak lama kemudian intan pulang bersama mamanya. Ketika ia sadar kalau aku ada dirumahnya sedang berkumpul dengan teman-teman kakaknya. Wajah intan memerah saat pandangan kami bertabrakan. Dengan menunduk ia masuk bersaama mamanya.
"dia sering nanyain kamu yo..."
kata rizal setengah berbisik padaku. Semua yang ada disini sudah tahu kalau intan memang menyukaiku. Rizal juga sudah aku kasih tau kalau aku tak mungkin mau dengan adiknya karena aku seorang gay, namun nampaknya rizal tak begitu menghiraukan masalah itu. Bagi rizal kami adalah sahabat dan akan selalu begitu sampai kapanpun meski apapun keadaan diriku. Cuma aku merasa tak enak juga karena sebenarnya rizal senang kalau aku bisa membalas perasaan adik yang sangat ia sayangi itu.
"memangnya kenapa dia nanyain aku zal, aku kan nggak ada berutang sama adikmu!"
"jangan pura-pura yo, kamu kan tau kalau adikku ada feeling sama kamu, bagaimana? apa sekarang kamu merasakan kangen sama dia setelah lama nggak ketemu?"
harus jawab apa coba. Masak aku mengatakan kalau tak sedikitpun aku pernah teringat sama intan sejak aku di bangka. Jujur malah aku baru kepikiran sekarang. Tapi mana mungkin aku mengatakan itu pada rizal, yang ada ia malah akan tersinggung atau kecewa.
"memangnya ia belum punya pacar smpai sekarang zal?"
"susah adikku itu, ia terlanjur senangnya sama kamu yo, kalau ada cowok yang mau sama dia ada saja kekurangan dimatanya, yang item lah, yang gondrong lah, jelek lah, nakal lah, pokoknya ia hanya mau cowok yang mirip sama kamu atau paling nggak ia sangat berharap satu hari nanti kamu mau jadi pacarnya yo..."
jujur sekali rizal, aku harus bagaimana lagi, aku memang tak punya perasaan pada intan walaupun ia cantik. Jujur cowok mana yang tak mau sama intan, tapi aku memang tak bisa karena aku bukan cowok yang menyukai wanita. Harusnya rizal bisa mengerti akan hal itu dan menyuruh adiknya untuk melupakan aku, namun aku sangat yakin kalau rizal tak akan mengatakan keadaanku yang sebenarnya pada adiknya itu.
Terdengar suara hp rizal berdering. Ia membuka sms yang barusan masuk. Ia menatapku sebentar lalu berkata.
"sori aku mau masuk dulu sebentar ada sedikit urusan."
aku mengangguk.
"iya zal, tapi jangan kelamaan, soalnya sekarang sudah hampir jam lima, papaku pasti akan menelponku sebentar lagi"
tanpa menjawab rizal meninggalkan aku. Ia masuk kedalam rumahnya. Aku menunggu sambil memetik gitar dan bernyanyi bersama koko dan teman-teman yang lain. Ada sekitar limabelas menit kalau aku tak salah baru rizal keluar lagi dari rumahnya dan bergabung bersama kami.
"ada apa zal?"
tanya agus mau tahu. Rizal menggeleng seolah ada sesuatu yang sangat rahasia yang tak bisa ia katakan pada kami semua. Ia menghampiriku lalu membungkuk dan berbisik padaku.
"ayo masuk ke dalam sebentar, ada yang mau aku bicarakan padamu"
aku baru saja mau bertanya namun rizal menatapku dengan isyarat jangan berkata apa-apa. Aku berdiri lalu mengikuti rizal masuk ke dalam rumahnya.
"itu mamaku mau bicara sama kamu rio!"
aku mengerenyit menatap rizal, ada apa gerangan sampai mamanya mau bicara denganku. Dengan ragu aku menghampiri mamanya yang duduk menungguku di kursi ruang tengah rumahnya. Mama rizal walaupun aku taksir usianya sudah kepala lima namun masih terlihat muda karena ia memakai riasan yang walaupun tak tebal namun cukup membuatnya nampak lebih segar, rambutnya ditata rapi dan digelung. Mama rizal adalah seorang jaksa.
"selamat sore tante.."
aku menyapa mama rizal dan berjalan pelan menghampirinya dengan ragu. Dalam hatiku sangat ingin tahu apa yang membuat mama rizal mau bicara padaku.
"selamat sore rio, silahkan duduk... jangan sungkan-sungkan rio"
aku duduk, lalu menunggu mama rizal bicara sementara rizal dengan sangat tega langsung meninggalkan aku.
"apa kabar rio, lama tante tak lihat kamu lagi, kemana saja selama ini?"
"alhamdulillah baik tante, aku di bangka tante...tadi siang baru tiba lagi disini, ada apa tante memanggil saya?"
"oh tidak kok rio, tante hanya mau bicara santai saja sama kamu, soalnya kan dulu kamu sering kemari...bagaimana kuliahmu apa sudah selesai?"
"belum tante, rencananya tahun ini aku mau melanjutkan lagi kuliahku"
jawabku singkat, aku masih agak kaku karena memang selama mengenal rizal dan keluarganya baru sekali ini aku dan mamanya bicara berdua seperti ini. Aku merasa ada hal lain yang membuat mama rizal mau bicara denganku, kalau hanya karena ia jarang melihatku aku rasa tak akan sampai ia ingin bicara berdua saja bagaikan ada satu rahasia yang tak ingin sampai diketahui orang lain.
"jadi kamu pindah ke bangka, atau kamu hanya berlibur saja?"
tanya mama rizal untuk memecahkan kebisuan.
"nggak tante, aku memang sebenarnya berasal dari bangka, ibu angkatku ada di bangka. Aku pulang ke bangka untuk menemui keluargaku yang ada disana."
aku berusaha tenang, padahal dalam hatiku sangat gugup. Mama rizal sebgaimana kebanyakan orang palembang agak sedikit angkuh. Apalagi mereka termasuk keluarga yang berada.
"kamu sudah punya pacar?"
ya ampun pertanyaan macam apa itu. Apa hubungannya aku sudah ada pacar atau belum. Aku kan hanya sekedar temannya rizal. Apakah penting bagi mamanya untuk tahu kalau aku sudah ada pacar atau belum. Kali ini mau tak mau aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.
"maksud tante?"
"tidak apa apa rio, tante hanya mau tahu saja apa kamu sudah punya pacar, atau barangkali tunangan, atau mungkin juga kamu masih sendiri!"
aku benar-benar bingung sekarang, aku sudah punya pacar dan itu erwan, haruskah aku mengatakannya pada mama rizal. Yang pasti itu tak mungkin. Aku menggeleng.
"belum tante..."
wajah mama rizal mendadak lebih ramah.
"oh kamu masih sendiri, tante selama ini sering mengamati kamu. Tante rasa kamu adalah pemuda yang baik dan jujur. Kamu dan rizal kan sudah lama berteman dari kalian masih SMU dulu."
"memangnya kenapa sampai tante mengamati saya tante apa ada yang salah?"
tanyaku berlagak bodoh aku rasa aku sudah bisa menebak akan kemana arah pembicaraan ini.
"apa menurut kamu intan adik rizal itu cantik?"
nah kan benar apa yang aku duga. Ujung ujungnya tentang intan. Apa mungkin ia mau aku pacaran dengan intan.
"i..iya tante intan cantik!"
tak mungkin kalau aku mengatakan intan tak cantik karena yang menanyakan itu adalah mamanya, iya sih intan memang cantik. Tapi kalau ia cantik ada apa memangnya, aku rasa itu tak ada pengaruhnya bagiku.
"apa kamu tak ada perasaan sama intan?"
dasar orang yang sudah terbiasa diruang sidang, selain bicara suka bertele-tele, kebiasaan suka menginterogasi terbawa bawa sampai dirumah. Aku terdiam berpikir lagi dalam hati. Apakah aku harus jujur saja pada mama intan. Kalau aku bilang suka nanti malah dikira naksir, tapi apakah etis kalau aku mengatakan tak suka pada intan didepan mamanya. Aduhh! Jangan sampai aku salah bicara, yang ada malah nanti akan membuat mama rizal tersinggung.
"intan baik tante dan aku suka dia, aku menganggapnya adikku"
aku rasa itulah jawaban yang terbaik yang tak akan membuat mamanya tersinggung. Mama rizal menegakkan duduknya dan memperbaiki posisi kacamatanya yang aku lihat tak ada yang perlu diperbaiki.
"kamu menganggapnya sebagai adik?"
mama rizal menatapku. Aku menunduk. Apa sih sebenarnya yang ia mau dariku. Kalau ia mau menjodohkan aku dengan intan aku tak akan b isa menerimanya. Aku mengangkat kepalaku lagi dan menatap mama rizal.
"rizal adalah sahabatku tante, adiknya rizal berarti adikku juga"
mama rizal menarik nafas panjang.
"ehhmm"
ia berdehem. Lalu ia bicara lagi.
"sebenarnya tante ingin sekali kamu jadi pacarnya intan, tante rasa kalian berdua adalah pasangan yang sangat serasi. Intan cantik kan"
wajar saja ia memuji intan, semua ibu juga akan menganggap anak perempuannya lah yang paling cantik.
"iya tante"
lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk.
"kamu juga tampan, keluargamu cukup terpandang.. jadi tante rasa kalau kalian jadi pacar tentu akan sangat cocok. Bagaimana menurut kamu?"
kali ini mama rizal langsung menyampaikan maksudnya tanpa menunggu lagi. Aku terhenyak. Baru saja aku tiba di palembang dengan maksud untuk membantu kak fairuz untuk bicara sama mama dan papa agar mempertimbangkan kembali keinginan mereka bercerai, malah yang ada aku dihadapkan pada satu situasi yang sama sekali aku tak persiapkan sebelumnya.
"aku.. aku.. bagaimana ya tante aku bingung, masalah ini aku rasa tak bisa diputuskan dengan cepat. Terus terang saja aku tak pernah terpikir sampai sejauh itu, tapi kalau begini aku juga jadi bingung tante.."
sekilas aku melihat intan sedang berdiri sambil sembunyi di balik tirai kamarnya. Seratus persen aku yakin kalau intan yang memaksa mamanya untuk bicara padaku.
"kalau begitu kamu pikirkan dulu rio, tante yakin kamu juga menyukai anak tante, banyak sih yang mau sama dia tapi tante tak mau sembarangan. Tante mau yang memang benar-benar bisa bertanggung jawab, yang jelas asal-usulnya juga yang punya masa depan"
"iya tante, saya akan pikirkan."
untung saja hapeku berbunyi, aku rasa itu dari papa. Aku mengambil hp dari saku bajuku dan mengangkatnya.
"maaf tante.."
"silahkan.."
"asalamualaikum, iya pa ada apa?"
terdengar suara papa yang mengatakan kalau ia sekarang sudah ada dirumah dan sedang menungguku.
"baiklah pa aku kesana sekarang. Assalamualaikum"
aku mengantongi kembali hapeku. Rasanya aku lega bisa pergi dari sini secepat mungkin, suasana yang sedang aku alami sekarang sungguh sangat tak nyaman sekali. Bagaimana mungkin mama rizal bisa meminta aku untuk mempertimbangkan aku mau jadi pacar anaknya. Rasanya aku jadi pusing dibuatnya.
"maaf tante, papaku mau bertemu aku..sekarang ia sedang menunggu dirumah. Kalau begitu aku pamit dulu ya tante. Aku akan pikirkan apa yang kita bicarakan tadi. Terimakasih tante"
meski nampaknya agak kecewa karena reaksiku tak seperti yang ia bayangkan tapi mama rizal menganggukdan tersenyum."
"tak apa apa rio, kamu pikirkan lagi dengan tenang, tante berharap kamu bisa memutuskan yang terbaik, tante berharap kamu bisa jadi bagian dari keluarga ini"
"iya tante.. terimakasih, assalamualaikum"
"waalaikum salam"
aku meninggalkan mama rizal lalu menemui koko diters yang sedang duduk bersama teman-teman.
"ko papaku sudah dirumah, kamu ikut aku kesana ya!"
"sudah mau pulang ya yo, buru-buru amat?"
timpal alan sedikit kecewa.
"maaf lan, nanti kita kumpul kumpul lagi, soalnya aku masih ada urusan, aku tak lama disini lan, nanti sebelum aku pulang aku akan hubungi kalian lagi"
"rio bagaimana tadi apakah sudah kelar?"
tanya rizal penasaran, aku yakin ia tahu apa yang mamanya bicarakan denanku tadi. Aku tak menjawab biarkan saja dia bertanya sama mamanya, aku rasa aku tak akan kesini lagi dalam waktu dekat i ni. Aku tak mau lagi ditanyai tenatang masalah intan. Aku tak mau sama intan.
&&&&&&&&&&
"maaf papa tak tahu kalau kamu mau kesini, kenapa begitu mendadak rio, coba bilang dari kemarin jadi papa bisa menyuruh orang lain yang mengawasi proyek papa di baturaja.. memangnya ada apa sampai kamu datang ke palembang?"
tanya papa begitu kami telah tiba dirumahnya dan duduk santai diruang tamu.
"ada hal yang mau aku bicarakan sama papa, ini menyangkut mama"
"memangnya ada apa dengan mama kamu?"
"apa benar papa yang jadi penyebab sampai papa harlan dan mama mau cerai, sebenarnya papa dan mama sedang merencanakan apa?"
sejenak papa terdiam dan memandangku seolah melihat hantu.
"jadi kamu datang hanya untuk menanyakan masalah itu, maaf kalau itu papa tak tahu, tanya saja sama mama mu, papa rasa itu masalah dia sama papa kamu!"
nampaknya papa kurang senang dengan pertanyaanku. Aku merasa tak enak hati.
"maaf pa aku hanya ingin tahu saja, soalnya aku takut kalau ini karena papa dan mama...."
"maksudmu karena papa dan mama saling mencintai? Kamu salah nak... jangan sampai sejauh itu duganmu... terus terang saja papa tak perduli dengan rumah tangga mamamu mau rukun atau ada masalah itu bukan urusan papa, saat ini yang paling penting bagi papa hanya kamu, karena kamu memang darah daging papa, kalau mamamu ia hanya sekedar mantan isteri papa, semua sudah berlalu!"
papa memotong kata kataku.
"kalau memang begitu aku lega sekarang pa, aku hanya tak mau kalau papa nanti mendapat masalah"
"jangan kuatir rio, papa sudah dewasa... kalau hanya masalah yang seperti itu papa tak menganggap itu besar dan itu tak menakutkan bagi papa..."
jawab papa tenang. Aku diam dan mengangguk sekarang aku merasa lega.
"pa, andaikan memang mama bercerai apakah papa ada keinginan untuk menikahi mama lagi nantinya?"
tanyaku dengan ragu, bagaimanapun juga aku hanya ingin tahu apakah masih ada nantinya peluang kami untuk bersatu.
"papa rasa sekali sudah cukup nak, hanya orang yang bodoh yang mau jatuh dua kali dalam lobang yang sama, andaikan perpisahan mamamu karena papamu meninggal, mungkin papa masih mau... tetapi ini adalah perceraian kedua mamamu. Kegagalannya yang kedua. Papa tak mau jadi yang pertama sekaligus yang ketiga.!"
kata kata papa cukup tegas. Apa yang ia katakan memang masuk akal. Sepertinya memang tak ada kaitan sama sekali papa dengan perceraian mama.
"maafkan aku pa, akutak bermaksud membuat papa marah"
"papa bisa mengerti, papa juga tak marah. Papa rasa itu pertanyaan yang wajar. Oh ya kamu sudah makan belum?"
papa menepuk bahuku dengan sayang. Aku mengangguk.
"sudah pa, tadi dirumah koko."
"kamu menginap dirumah papa kan, bagaimana rencananya apa kamu sudah memutuskan mau tinggal dirumah papa?"
"aku belum bisa tinggal disini pa, masih ada bebeapa urusan di bangka, oh ya pa... mungkin aku akan pakai uang papa dalam jumlah yang agak banyak?"
"apa uang yang papa berikan buat kamu sudah habis?"
tanya papa agak heran.
"nggak pa, aku jarang pergunakan uang itu, itu kan uangnya papa!"
"itu uang kamu rio, papa memberikan itu buat keperluan kamu, papa kerja mati matian memangnya buat siapa sih.. kenapa lagi kamu masih sungkan sama papa seolah kita ini orang asing saja"
"aku tak mau terlalu boros pa, emak pasti tak suka kalau aku terlalu boros, belum saatnya aku pergunakan uang itu pa, rencananya aku kan masih mau kuliah, uang itu akan sangat berguna untukku"
"kalau masalah uang kuliah kamu jangan kuatir papa bisa membayarnya, jadi apalagi yang membuat kamu bingung. Pergunakan saja uang itu tak perlu minta ijin!"
"pa tak lama lagi ayukku mau menikah, akuberencana untuk membantunya, papa tak keberatan kan?"
"oh ya, kapan itu rio.. papa ikut senang mendengarnya, tentu saja kamu boleh bantu ayuk kamu, papa tak kan keberatan, sudah sewajarnya kamu balas budi karena slama ini sudah menyayangi kamu dan merawatmu, papa akan uasahakan untuk datang"
kata papa sambil mengusap kepalaku. Rasanya senang sekali karena aku bisa dekat dengan papa. Sesuatu yang sangat aku inginkan selama ini punya auyah. Hal yang tak pernah aku bayangkan bisa merasakan saaat saat seperti ini. Aku beruntung punya papa yang baik seperti papa alvin.
"terimakasih pa aku ak akan melupakan semua kebaikan papa."
"jangan pikirkan itu karena memang itu adalah kewajiban papa, kamu itu anak papa"
"aku bangga menjadi anak papa"
"papa juga bangga kamu anak ppapa"
aku tak tahu apa papa tulus mengatakan bangga punya aku sebagaui anaknya, padahal aku adalah seorang gay, aku tahu dalam hati papa pasti sangat kecewa. Aku sedih harus mengecewakan papa seperti ini.
&&&&&&&&&&
suasana malam dikota palembang masih sama dengan saat terakhir aku tinggalkan dulu. Dengan perlahan aku menyusuri jalan raya dikota palembang menuju kerumah mama. Rumah yang dulu adalah tempat aku tinggal. Entah kenapa rasanya aku merasa asing padahal aku mau kerumah mamaku sendiri. Perasaan ragu karena akan bertemu dengan papa membuat jantungku terasa berdetak lebih cepat. Aku tau kalau papa tak akan pernah memaafkan aku. Kesalahan yang aku perbuat teralu besar dimatanya. Saat memasuki gerbang rumah jantungku nyaris tak dapat aku kendalikan lagi. Rasanya mau berbalik saja dan mengurungkan niat. Tapi aku berpikir buat apa aku datang jauh jauh dari bangka kalau tak membawa hasil, meskipun tak seperti yang aku harapkan paling tidak aku tak membuat kak fairuz kecewa. Aku tertegun melihat rumah yang pernah aku diami. Ada perasaan haru yang tak dapat aku katakan. Seolah kenangan yang pernah aku alami dulu melintas lagi dalam pikiranku dengan jelas.
Aku berhenti didepan garasi yang terbuka. Ada mobil yang aku kenali dulu sebagai mobilku, warnanya masih berkilap karena masih dirawat. Apakah sekarang mama yang memakai mobil itu entahlah aku juga tak tau. Aku turun dari mobil dengan ragu. Suasana terasa sepi seperti biasanya. Aku berjalan menaiki undakan teras dan berhenti tepat didepan pintu. Beberapa kali aku mengangkat tangan untuk mengetuk namun beberapa kali juga aku urungkan. Akhirnya dengan mengumpulkan semua keberanian yang aku punya, aku mengetuk pintu dengan agak keras. Hampir lima menit aku menunggu baru pintu terbuka. Sama sekali diluar dugaanku ternyata yangg membuka pintu adalah tante laras. Sejenak kami berdua terdiam. Tante laras bagai orang yang shock hingga matanya nyaris tak berkedip menatapku dengan lebar. Aku iingin menyapa duluan namun suaraku tertahan diujung lidah himngga akhirnya aku dengar tante laras berkata.
"rio.. kamukah itu..?"
pertanyaan yang agak lucu kalau aku dengar pada keadaan yang biasa namun karena mengimbangi sekarang aku sudah tak tinggal lagi disini maka aku mengabaikan saja. Aku mengangguk perlahan. Tante laras dari dulu kurang bersahabat denganku dan ia juga sering mencelaku, aku hanya pernah bertemu seklali dengannya sejak aku meninggalkan rumah ini yaitu saat tante sukma melahirkan anaknya di bangka. Namun waktu itu aku tak bicara dengannya karena koko langsung mengajak aku pergi.
"iya tante, maaf apakah mama ada?"
aku menjawab dengan suara yang aku rasa agak bergetar tak terkendali meskipun aku sudah berusaha untuk terdengar biasa.
"kemana saja kamu selama ini, mengapaa baru sekarang kamu kemari rio, masuklah dulu kedalam, tak ada siapa siapa dirumah"
apa aku tak salah dengar, tak ada nada kemarahan sedikitpun dari suara tante laras, kalau ia tak tahu apa yang menyebabkan aku pergi dari rumah aku rasa itu mustahil karena setahuku tante laras biasanya cepat tanggap dengan situasi yang tak beres.
"tunggu apalagi rio, kenapa malah bengong, ayo masuk..!"
tak langsung menjawab aku mengulurkan tanganku untuk menyalami tante laras. Melihat aku ingin bersalaman, tante laras mnengangkat tangannya dan menyambut salamku. Aku mencium tangan tante laras.
"aku minta maaf tante, aku banyak membuat masalah yang membuat keluarga ini jadi susah.."
"jangan dibahas rio, tante yakin kamu pulang bukan untuk membahas hal itu, sekarang masuk!"
kali ini suara tante laras agak bernada perintah bukan mengajak. Aku masuk dengan ragu, keadaan masih sama dengan saat terakhir aku tinggalkan dulu. Tak ada perubahan apa apa, ini agak aneh karena setahuku mama sangat memperhatikan sekali agar suasana dirumah tetap update, minimal gordin atau bantal kursi yang diganti. Tapi ini aku lihat masih sofa yang dulu dan tatanan ruang tamu tak ada yang berubah. Aku duduk tanpa menunggu diperintah tante laras. Nampaknya tante laras juga tak keberatan dan dari sikap yang ia tunjukkan sepertinya ia masih menganggap aku masih punya hak dirumah ini.
"banyak yang terjadi setelah kamu pergi rio, keadaan dirumah ini jadi makin tak terkendali..."
tante laras menatapku lurus seolah ingin tahu bagaiman reaksiku. Namun aku yang memang sudah tau tanpa harus diceritakan lagi tak menunjukan reaksi terkejut.
"tante tak menyangka akan bertemu kamu lagi rio, tante kira kamu tak mau lagi pulang, kadang tante berpikir apakah yang terjadi dirumah ini hingga sampai seperti ini jadinya, seolah tak ada lagi yang tersisa untuk dipertahankan... kamu pergi, faisal meninggal, mega dan harlan selalu bertengkar.. apakah ini adalah kutukan tante tak tahu, tapi tante selalu berharap keadaan akan kembali seperti dulu, saat dimana keadaan rumah ini begitu hangat dan menyenangkan, yang selalu membuat tante rindu untuk datang kemari, tante sangat merindukan keadaan itu...."
Aku diam tak mengatakan apa apa, bukan hanya tante laras saja yang rindu dengan kehangatan dirumah ini tapi aku juga. Kuakui aku tak bisa melupakan begitu saja kenangan saat aku masih jadi bagian dari penghuni rumah besar ini.
"tante senang kamu mau datang rio, soal mama kamu nanti tante akan atasi, tak seharusnya ia membenci kamu...!"
"mama tak apa apa lagi dengaku tante, sekarang mama sudah memaafkan aku"
kataku dengan suara parau. Tante laras tertegun. Ia menatapku seakan ingin tahu apakah yang aku katakan itu memang benar ataukah hanya unuk membuatnya senang.
"kapan kamu bertemu mama kamu rio?"
tante laras ingin tahu, nampaknya kenyataan kallau mama sudah bertemu denganku membuat tante laras memang benar benar senang, suatu reaksi yang tak aku sangka yang akan tante laras lakukan.
"sebenarnya dari beberapa hari yang lalu mama menemuiku, mama juga sudah cerita semua masalah ia dengan papa, makanya tujuanku datang kemari ingin membujuk mereka agar mempertimbangkan kembali keputusan mereka itu."
"oh tuhan, sukurlah kalau begitu, kamu tahu rio, tante tahu kalau kamu adalah anak yang baik, dengan keadaanmu yang seperti ini tante tak pernah mempermasalahkannya, mungkin kamu mengira tante membencimu juga, kamu salah... tante selalu menasehati mamamu dan memberikan pengertian padanya agar bisa menerima keadaan kamu, tante tahu kalau kamu juga tak menginginkan jadi seperti ini, tapi kamu tahu sendiri bagaimana keras kepalanya mama kamu, lagian kami berdua pun selama ini kurang begitu dekat, disaat aku sudah menganggapnya sebagai keluarga malah seperti ini kejadiannya, tante tahu selama ini sikap tante padamu kurang layak, ketidaksukaan tante pada mamamu membuat tante kurang bisa dekat denganmu, tapi sekarang tante ingin mengubah semuanya.."
aku tahu kalau tante laras tulus mengatakan semua itu, memang pernah dulu aku tak menyukai tante laras. Tapi seiring waktu aku tahu kalau tante laras tak seperti yang aku pikirkan, tante laras cukup baik padaku walaupun kami memang tak pernah akrab, aku akrab dengan odie anaknya.
"aku... sebenarnya..."
"kamu sudah makan rio, kalau lapar kamu makan saja dulu, tante akan suruh bik tin masak buat kamu, tante yakin kamu sudah kangen dengan masakan bik tin, tunggu sebentar tante ke dapur mau kasih tau sama bik tin!"
entah kenapa rasanya aku terharu dengan sikap tante laras yang benar benar berubah, kalau dulu mana mau dia terlalu perduli padaku, seolah apa yang aku alami sekarang ini terasa tak nyata sama sekali. Aku menatap tante laras yang sedang berjalan menuju ke dapur tanpa berkedip. Rasanya aku sama sekali bukan berhadapan dengan tante laras sama sekali. Ataukah karena memang sebenarnya tante laras selama ini memang tak seperti yang aku duga.
Tak berapa lama kemudian tante laras balik dari dapur, ia tak sendirian tapi bersama bik tin, begitu melihatku bik tin langsung terbelalak tak percaya. Dengan cepat ia berlari menghampiriku. Bik tin memelukku dan menangis.
"abng kemana saja, kenapa tak pernah lagi pulang, bibik snagat kangen sekali, oh tuhan.. bibik tak menyangka akan melihat abng lagi disini.."
aku merasa terharu dengan sambutan bik tin, memang ia lah orang pertama yang sangat dekat denganku mulai aku menginjak rumah ini dulu, aku juga sudah menganggap bik tin bukan hanya sekedar pembantu dirumah ini. Rasanya aku hampir tak dapat menahan rasa sesak.
"sudahlah bik, rio masih capek.. lebih baik sekarang bik tin memasak makanan kesukaan rio, aku yakin ia juga kangen dengan masakan bibik"
tante laras meraih tangan bik tin tapi aku lihat mata tante laras juga ikut basah. Aku mengendurkan pelukanku. Sementara bik tin menghapus airmatanya dengan lengan bajunya.
"aku juga kangen sama bibik, aku minta maaf tak sempat pamit sama bibik, tapi itu bukan berarti aku melupakan bibik"
"abang mau makan apa biar bibik masakin buat abang!"
bik tin terlihat begitu semangat. Aku tahu bik tin sekarang pasti jarang sekali masak karena yang tinggal dirumah ini hanya papa, mama dan wenny, sedangkan dengan keadaan papa dan mama sekarang mana mungkin mereka mau makan bersama. Mama saja sudah jarang dirumah. Bik tin kembali ke dapur sementara aku dan tante laras kembali duduk dan mengobrol. Aku menanyakan tentang odie, kata tante laras sekarang odie sedang menyiapkan skripsinya. Aku kangen sama odie. Apakah sekarang ia sudah punya pacar? Odie sama denganku ia juga seorang gay, namun tante laras pasti tak tahu mengenani masalah itu. Aku tak bisa bayangkan bagaimana reaksi tante kalau sampai ia tahu tentang odie. Sekitar sejam aku berada dirumah barulah papa pulang. Mendengar suara mobilnya yang berhenti membuat aku kembali dilanda rasa gelisah, papa sudah setahun tak bertemu aku sejak kejadian yang memalukan itu. Aku tak tahu apakah ia sudah bisa memaafkan aku atau tidak, andaikan ia tak mau memaafkan aku juga tak akan terlalu ambil pusing lagi karena sekarang aku tak tinggal lagi dirumah ini, jadi aku tak harus bertemu papa setiap hari.
Terdengar langkkah kaki berjalan diteras dengan bunyi sol sepatu yang berdetak menyentuh lantai. Seirama dengan denyut jantungku. Papa masuk kedalam rumah dan ia menghentikan langkahnya begitu melihat aku. Papa bengong seolah tak yakin dengan apa yang ia lihat. Aku jadi serba salah ingin menyapanya namun tak ada suara yang keluar ddari mulutku bahkan bibirku saja tak bisa ku buka. Tante laras ikut terdiam, mungkin ia menunggu reaksi papa.
"kapan datang rio?"
hanya itu yang keluar dari mulut papa, namun ia tak mendekatiku. Satu sapaan yang datar seolah melihat teman anaknya yang datang. Seolah biasa. Tak ada nada kemarahan maupun senang.
"kemarin pa"
rasanya sebutan papa yang keluar dari mulutku terasa sangat janggal, aku tak tahu apa masih ada hak untuk memanggilnya papa. Setelah mendengar jawabanku papa kmbali berjalan masuk rumah dan menuju ke kamarnya. Tante laras sepertinya jadi tak enak hati padaku.
"tak apa apa tante, aku juga tak berharap papa akan senang dengan kedatanganku, semuanya telah aku antisipasi agar aku tak terkejut lagi."
"kamu yang sabar ya rio, tante rasa papamu seedang capek dan butuh istirahat, nanti juga ia pasti akan bicara padadmu, tante yakin papamu kangen sama kamu"
aku tahu kalau tante laras hanya mencoba menghiburku, aku kenal dengan papa. Dulu meskipun capek tak mungkin ia tak menyapaku kalau sudah lama tak bertemu, papa pasti akan menanyaiku tentang banyak hal yang aku alami selama aku tak dirumah. Namun aku juga tak merasa kecewa dengan sikap papa tadi, bahkan dalam bayanganku aku sudah berpikir yang lebih buruk dari ini. Apa yang bisa aku harapkan. Ia hanyalah seoarang papa tiri, aku telah membuat ia kecewa dan tak lama lagi ia juga akan bercerai dengan mama, jadi hubungan kami akan segera putus sebagai anak dan ayah.
Setelah bik tin selesai masak aku diajak tante laras makan bersama. Papa sejak pulang tadi belum juga keluar dari dalam kamar. Kata tante laras kemungkinan papa sedang tidur. Aku juga tak yakin aku rasa papa memang menghindari bertemu aku. Aku yakin papa masih marah padaku. Kejadian itu tak mungkin bisa ia lupakan. Aku makan tanpa selera padahal bik tin masak sangat enak. Bik tin pasti memang ingin membuat aku senang. Masakannya bermacam macam dan semuanya kesukaanku. Bik tin paling tahu seleraku. Wajarlah sudah bertahun tahun ia selalu masak untuk kami sekeluarga jadi ia sudah tahu apa yang disukai dan tak disukai oleh penghuni rumah ini.
Setelah makan aku kembali duduk. Sampai sekarang mama belum juga datang. Entah dimana mama tante laras juga tak tahu. Katanya mama sudah beberapa lama tak lagi tinggal disini, ia membawa wenny bersamanya. Ternyata semuanya memang telah benar benar kacau. Aku tak punya banyak waktu karena besok aku sudah harus pulang ke bangka. Aku tak bisa menunda lagi untuk bicara sama papa. Semoga saja ada hal yang masih bisa diubah. Tante laras mendukungku untuk bicara dengan papa karena tante laras juga tak menginginkan perceraian antara mama dan papa. Aku mengetuk pintu kamar papa dengan perlahan. Aku menunggu tapi beberapa saat papa tak juga keluar dari kamarnya. Aku mengetuk lagi dan memanggil papa. Barulah pintu terbuka. Papa menatapku heran seakan aku telah membuatnya terganggu.
"ada apa?"
papa bertanya dengan agak ketus. Tak masalah aku juga sudah menduga.
"ada yang mau aku bicarakan dengan papa, aku minta maaf kalau aku sudah membuat papa terganggu, aku tak punya banyak waktu untuk menunggu, jadi aku harus bicara sekarang juga aku harap papa tak keberatan!"
"memangnya apa yang mau kamu bicarakan, papa sangat capek sekali apa tak bisa menunggu malam?"
aku tak bisa menunggu sampai malam, aku masih ada urusan lain pa, tapi kalau memang papa tak mau bicara karena papa masih marah padaku, aku minta maaf.... aku akui aku salah, tapi saat ini bukan masalahku yang mau aku bahas dengan papa, ini lebih penting!"
aku tak tahu dapat darimana keberanian untuk mengatakan hal ini, tapi semua sudah aku katakan. Aku tak perduli kalau hall ini akan membuat papa berang.
"kalau masalah antara papa dan mamamu, kamu tak perlu ikut campur!"
teryata papa bisa menebak apa yang mau aku sammpaikan. Aku kembali terdiam. Kata kata papa sudah sangat jelas. Kalau saja tak memikirkan kak fairuz aku tak akan mau membahas masalah ini dengan papa. Ia benar aku tak perlu ikut campur.
"tapi kenapa pa, kenapa papa mau bercerai sedangkan kalian sudah punya anak, coba jangan memikirkan kalian saja, masa depan wenny..."
"tak usah menggurui papa, keputusan papa sudah bulat, masalah wenny kamu jangan takut karena papa tak akan pernah mengabaikan dia karena dia adalah darah daging papa, kalau kamu mau menganggap papa ini adalah papa kamu silahkan tapi kalau kamu tak mau juga papa tak akan memaksa!"
adad nada sinis dari perkataan papa seakan ia mau menegaskan kalau aku dan dia tak ada hubungan darah dan aku bukan orang yang terlalu penting baginya. Rasanya sedih sekali setelah apa yang telah kami alami bersama seolah tak ada kenangannya sama sekali bagi papa. Andaikan kak fairuz mendengar apa yang papa katakan tadi aku yakin kak fairuz juga bakalan kecewa.
"maaf pa, aku hanya ingin papa dan mama tak terburu buru, semua hanya salah faham saja, mama tak mungkin kembali sama papa alvin"
"kamu tahu apa, kamu itu masih muda dan belum banyak pengalaman, papa sudah menikah dua kali dan cukup tahu bagaimana mamamu itu, kalau papa tak yakin tak mungkin juga papa memutuskan mau bercerai, tingkah mamamu itu sudah sangat kelewatan, selama ini papa banyak m enahan sabar hanya karena memikirkan anak anak papa, tapi sekarang papa rasa tak ada lagi yang perlu papa pertahankan, semua telah berakhir dari sejak lama, tak perlu lagi kepura puraan itu, seharusnya papa mengambill keputusan ini dari dulu, kalau bukan karena mamamu itu mungkin saat ini anak kesayanganku itu masih ada!"
papa jadi semakin emosi dan sekaran ia sudah menyinggung tentang meninggalnya kak faisal dulu, ternyata selama ini papa menyalahkan mama juga. Aku jadi kecewa sama papa. Mama sama sekali tak bersalah, kecelakaan yang merenggut nyawa kak faisal sama sekali tak ada hubungannya dengan mama.
"mama tak bersalah dalalm hal ini pa, jangan salahkan mama...."
"terserah kamu mau bilang apa.... papa tak perduli!"
susah juga bicara sama papa apalagi dalam keadaan seperti ini disaat ia masih marah padaku. Tapi aku akan tetap berusaha demi keutuhan dirumah ini. Aku tak menyangka kalau aku akan menghadapi masalah seperti ini, tapi aku juga tak akan tinggal diam.
"kenapa papa tak mencari tahu tentang kebenarannya, mama kan belum tentu bersalah!"
"sudah papa katakan kamu jangan ikut campur, ini masalah antara aku dan mamamu dan kami yang akan menyelesaikannya, atau memang mamamu yang menyuruh kamu untuk membujuk papa, itu tak perlu karena hanya membuang waktumu saja. Papa capek tolong jangan ganggu papa"
sepertinya keputusan papa tak dapat ditawar tawar lagi.
Nihil, tak ada yang aku dapatkan dari pembicaraan dengan papa tadi, tapi setidaknya aku sudah berusaha. Memang pernikahan mereka sepertinya akan berakhir. Jadi aku hanya tinggal menunggu kabarnya saja. Sekarang yang aku pikirkan hanyalah jangan sampai aku bertemu rian, aku tak ingin sampai ia tahu aku ada di palembang, besok aku akan segera pulang pada penerbangan paling awal. Aku rasa tak ada lagi yang dapat aku lakukan disini.
"jadi besok kamu sudah pulang nak, apa tak bisa tinggal lebih lama lagi?"
papa bertanya saat aku sedang membereskan baju bajuku dan memasukannya dalam tas.
"aku harus pulang pa, yuk tina akan segera lamaran, aku tak mau melewatkannya!"
"bukannya itu besok lusa?"
"iya, tapi aku mau bantu persiapannya, rumah pasti akan ada tamu dan emak harus bersiap siap, aku harus membantu, bang hendri sibuk kerja"
sebenarnya aku tak enak juga sama papa karena aku terkesan bagaikan orang yang tak betah. Sebenarnya aku masih mau tinggal lama, namun aku takut rian tahu aku ada dipalembang dan ia akan mencariku. Jadi alasan lamaran yuk tina merupakan hal yang sangat membantu.
"kamu belum bertemu sama mama kamu kan?"
"iya pa, sebenarnya aku mau bertemu sama mama sebelum aku pulang besok."
"kalau begitu aku akan menelpon mama kamu agar ia mau datang kesini, kita makan malam bersama direstoran, papa yakin pasti mamamu akan sangat senang sekali tahu kamu disini"
"terserah papa saja, aku memang mau bicara sama mama!"
tanpa menunggu lagi papa langsung menelpon mama, aku hanya mendengarkan pembicaraan papa ditelpon tanpa dapat mendengar suara mama.
"kata mamamu ia akan datang jam tujuh malam, ia kesal karena kamu tak kasih tau kalau kamu ada di palembang. Mamamu sekarang sedang di kantonya, jadi dia tak bisa kesini langsung"
kata papa padaku setelah ia menutup telpon. Aku mengangguk. Aku nyaris mengutuk diriku sendiri karena ada satu rasa hangat yang menjalar dalam tubuhku karena membayangkan papa dan mama bersatu kembali, aku senang akan jalan berdua bersama papa dan mama, aku tahu aku tak boleh berpikiran seperti ini.
Tepat jam tujuh mama datang, ia turun dari mobil dan membuatku agak terpana, mama memakai gaun malam yang begitu anggun, berwarna hijau tua dengan aksen manik di bagian dada, gaun dengan rok sepanjang dibawah lutut dengan kerah yang sedikit lebar hingga menampakkan kalung mutiara yang mama pakai nampak berkilau tertimpa cahaya lampu teras. Bahkan mama menggulung rambutnya dengan gelungan modern khas wanita pengusaha. Aku rasa mama memang sengaja berdandan untuk memberi kesan pada papa.
"sudah lama menunggu, maaf tadi mama agak sibuk jadi tak bisa langsung kesini, kamu memang anak nakal, kenapa tak kasih tau kalau mau kesini sebelumnya?"
mama cemberut sambil mendekatiku, aku tahu kalau mama tak serius. Tanpa aku duga mama mencium pipiku, hal yang sudah sangat lama sekali tak ia lakukan padaku, aku merasa sikap mama agak aneh.
"mama sudah pesan tempat direstoran langganan mama, mama harap kamu belum makan karena mama telah pesan makanan yang spesial yang mama tahu kamu pasti akan menyukainya."
"terimakasih ma, apa kita berangkat sekarang juga?"
"jam delapan saja, mama masih mau ngobrol dulu sama kamu!"
jawab mama. Ia meraih tanganku dan mengajak aku masuk dalam rumah papa, entah kenapa dari cara mama aku merasa kalau mama sudah terbiasa datang kemari karena ia tak sedikitpun merasa canggung. Sedangkan papa yang dari tadi hanya diam mengikuti kami masuk. Seolah mama lah tuan rumahnya disini.
Kami duduk diruang tamu. Mama duduk sambil menyilangkan kakinya, sementara papa duduk disampingku.
"kata papamu kamu tadi kerumah lama kita!"
mama menatapku dengan tajam. Aku merasa agak gelisah seolah mama tak suka aku melakukan itu.
"memangnya kenapa ma?"
"buat apa kamu kesana lagi, apa kamu tak malu...? papa kamu sudah jelas jelas tak menganggapp kamu anaknya lagi, jadi kamu tak usah permalukan diri kamu sendiri, mama kan tak tinggal disana lagi, jadi buat apa kamu kesana?"
"aku hanya mau bertemu papa dan membicarakan masalah mama dan papa, jujur aku tak mau kalau sampai mama dan papa terlalu cepat mengambil keputusan karena emosi"
"semua sudah terlambat untuk diperbaiki, mungkin sudah jalannya kami harus bercerai!"
suara mama agak ketus. Sepertinya mama ingin menegaskan kalau aku telah melakukan suatu usaha yang sia sia.
"siapa didunia ini yang mau gagal rio, tapi sepertinya papamu itu sudah terlalu menyakiti hati mama, ia tak terima apapun yang mama coba jelaskan. Sekarang apapun yang terjadi mama tak akan mau lagi bersama dia, mama sudah cukup sabar!"
"aku juga tak memaksakan mama untuk membatalkannya ma, kalau memang mama merasa keputusan mama untuk bercerai adalah yang terbaik... aku tak akan ikut campur!"
mama tersenyum mendengar perkataanku barusan. Tanpa aku duga mama berdiriri menghampiri dan memelukku.
"terimakasih sayang, kamu memang anak yang baik, mama bangga memiliki kamu, disaat apapun kamu mendukung mama. Maafkan mama yang selama ini sudah tak adil padamu, sekarang mama sudah menyadari kalau hanya darah daging mama lah yang tak akan pernah meninggalkan mama, cukup selama ini pengalaman telah mengajarkan mama untuk menyadari segala kekeliruan yang telah mama lakukan, sekarang mama hanya akan memikirkan kebahagiaan kamu tak perduli apapun yang harus mama lakukan!"
ada keharuan yang terasa menyesakan dada saat mendengar mama mengtakan hal itu. Aku memeluk mama dengan erat.
"terimakasih ma.."
aku berbisik ditelinga mama, lalu aku melepaskan pelukanku. Papa tersenyum melihat aku dan mama.
"semua salah aku hingga bisa kacau seperti ini, andaikan dulu aku tak terlalu lemah mungkin kita masih terus bersama dan bahagia, kita tak perlu terpisah pisah seperti ini... aku janji akan perbaiki lagi semua.!"
"tidak vin, kamu tak bersalah, memang takdir sudah memutuskan harus seperti ini, andaikan dulu aku juga mau bersabar tak lari meninggalkanmu, hal seperti ini tak akan terjadi. Ternyata apa yang telah aku perjuangkan selama ini tak ada artinya. Aku tetap tak bahagia"
melihat mama dan papa saling menyalahkan, timbul sedikit harapan dalam hatiku. Entah perasaan ini tak pada tempatnya tapi apakah salah kalau aku berharap suatu hari nanti mama dan papa bersatu lagi, dan aku mendapatkan keluargaku utuh. Tapi rasanya itu tak mungkin. Papa telah mengatakan apapun yang terjadi ia tak akan mau lagi kembali pada mama dan menikah lagi dengan mama.
"oh ya rio kata papamu kamu mau pulang besok karena yuk tinamu mau dilamar, kalau ada yang kamu perlukan jangan segan segan katakan saja pada mama, nanti mama akan bantu. Selama ini keluarga angkatmu sudah sangat baik padamu, mama ingin membantu mereka."
"mama serius?"
tanyaku hampir tak percaya.
"tentu saja, kalau memang nanti ada yang kalian perlukan, hubungi saja mama, sedapat mungkin akan mama bantu. Kamu tahu kan, mama banyak kenalan yang mengurusi maslah pesta dan perkawinanan."
rasanya aku ingin memeluk mama lagi. Tapi aku urungkan. Aku mengangguk dengan bahagia.
"kalau begitu sekarang kita jalan dulu, pasti makanan kita sudah siap.!"
kata mama sambil berdiri.
Kami pergi makan malam direstoran yang telah ditentukan oleh mama, papa yang menyetir dan mama duduk disamping papa. Aku duduk dikursi belakang, rasanya semua ini bagaikan mimpi yang indah. Aku takut sekali kalau aku terbangun dan mendapatkan kalau semua ini tak nyata.
Kami sampai direstoran, pelayan menggiring kami kami ke meja yang telah mama pesan, namun aku tak menyangka makan malam indah yang kami harapkan ternyata merupakan makan malam yang penuh dengan kekacauan. Seseorang yang duduk di meja yang tak jauh dengan kami menatap kami dengan sorot mata penuh kemarahan.a
KAMU SEDANG MEMBACA
PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO)
RomanceBUKAN KARANGAN GUE, CERITA YANG SANGAT BAGUS BY KANG EDMUND