PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO) 13

2K 42 4
                                    

#15 MAMA DAN AMALIA

"Liburan udah dekat, rencananya kamu kemana yo?" Tanya Arthur saat kami berkumpul dirumahku sepulang sekolah, hari ini kami pulang lebih cepat karena ulangan umum, jadi siapa yang lebih dulu selesai mengerjakan soal, ia sudah boleh langsung pulang.
"Belum tau, nggak ada rencana soalnya, emangnya kamu mau kemana?" Aku balik bertanya pada Arthur.
"Bisanya aku ke lubuk linggau main ke rumah Nenek.."
"Aku sih ketempat bibik saja, di Lahat.." Timpal Arya tanpa ditanya.
"Kalau aku nggak kemana mana, liburan tetap aja dirumah.." Anto nimbrung. Sejak jam sebelas kami berkumpul di taman belakang rumah, suasana disini memang enak dan teduh, mama sengaja mendekorasinya untuk bersantai, tumbuhan bunga dan pohon tabulampot tumbuh tertata seolah olah alami. Ditambah lagi kolam ikan yang dibentuk mirip air terjun mini dan tanaman hias yang merambat. Tadi bik tin sudah mengantarkan sirup jeruk dengan batu es, juga camilan serta kue kue yang enak, teman temanku jadi betah. Anggita duduk di ayunan bersama diah, satu satunya teman cewek yang akrab dengan anggita.
"Gimana kalo kita liburan sama sama aja, ke kebun pamanku di sekayu, enak loh suasananya, aku jamin.." anggita setengah berteriak memberikan usul.
"Wah boleh tuh, pasti asik kita liburan sama sama.." seru arthur penuh semangat.
"tapi kita nanti menginap dimana, soalnya sekayu kan jauh dari sini, mana nggak ada kenalan, ntar malah kita terlantar disana.." arya mengutarakan kekuatirannya.
"jangan takut bego, kalau aku udah nawarin tuh, nggak mungkin nggak dipikir dulu, kita bisa nginap dirumah paman barang dua hari tiga hari, nggak masalah, tambak ikan pamanku luas, kita bisa bakar bakar nantinya.."
"bakar diri kali..." celetuk eka dengan gaya kemayu ciri khas nya.
"iya ntar ramai ramai kami bakar elo..!" cibir bayu cemberut. Eka dan bayu sudah satu bulan ini sering ikut bergabung bersama kami. Kami memang satu kelas. Kedua anak itu sebangku. Eka mengingatkan aku dengan angga, agak kecewek cewekan, ia sedikit latah, tapi tak rugi kami mengajaknya ngumpul soalnya gerak gerik dan tingkahnya menjadi hiburan bagi kami, kalau ada eka, susah rasanya untuk mempertahankan mood sedih, soalnya ia selalu bisa membuat kami tertawa. Kadang tanpa bicara pun ia sukses memancing kami untuk tertawa. Cuma yang sering bikin risih kalau latahnya kumat, tak perduli dimana tempat, ia akan tanpa sengaja melontarkan kata kata jorok yang membuat kotoran kuping orang yang kolot bisa meloncat.
Kami sih oke oke aja dengan hal itu. Tapi bagaimana terkadang muka kami menjadi merah karena menghadapi pandangan marah orang orang. Selebih dari itu eka adalah mesin humor. Sedangkan bayu teman sebangkunya itu suka nyinyir sendiri kalau melihat tingkah eka. Mereka hampir tiap hari perang mulut. Tapi tak pernah sampai berantem apalagi tak teguran. jam empat teman teman bubar, aku masuk kedalam rumah, mama baru saja pulang sedang menutup pintu mobil.
"capek ma?" aku menghampiri mama membantunya membawakan tas kerjanya.
"makasih sayang, capek nggak terlalu, cuma sedikit lelah pikiran.." mama berjalan disampingku ke rumah.
"faisal mana?"
"sejak pulang sekolah, habis ganti baju langsung ngeloyor gitu aja.." jawabku sambil meletakkan tas kerja mama diatas buffet. Mama menghenyakkan tubuhnya dikursi sofa, tangannya memijat mijat pelipisnya.
"mama ada masalah?" tanyaku sambil memperhatikan raut keletihan diwajah mama. Beliau hanya tersenyum.
"mama nggak apa apa sayang, kamu udah makan?"
"udah ma, tunggu sebentar aku buatin teh hangat dulu.." mama tersenyum menganggukan kepalanya.
"makasih ya sayang.." aku langsung pergi meninggalkan mama dan pergi ke dapur, membuatkan secangkir teh.
"ini ma, diminum dulu biar capeknya hilang.." aku meletakkan teh diatas meja.
"assalamualaikum.." kak faisal masuk ke dalam rumah. Dia tak sendirian. Aku hampir tak percaya kak faisal bersama amalia. Mama tertegun melihat amalia yang terlihat sekali seperti segan dan malu.
"eh mama udah pulang ya?" sapa kak faisal agak kikuk, mama tak menjawab hanya mengangguk pelan.
"masuk mel, nggak usah malu.." aku berdiri menyuruh amalia masuk. Dengan ragu amalia masuk ke ruang tamu dan menyalami mama.
"teman sekolah faisal ya?" tanya mama memperhatikan amalia dari atas ke bawah bagai seorang juri yang menilai model yang berjalan dicatwalk, tapi pandangan itu tak menyiratkan kepuasan. Diperhatikan seperti itu sama mama tentu saja membuat amalia semakin salah tingkah hingga ia menjawab pertanyaan mama dengan agak terbata bata.
"i..i..iya tan.. Tante..ss..aya.. Teman sekolah f..faisal.." aku kasihan sekali melihat wajah amalia yang semakin pucat seolah terpidana yang menunggu vonis dari hakim.
"tinggal dimana?" lagi lagi nada pertanyaan mama seperti menghakimi. Amalia terdiam sejenak seolah memikirkan sesuatu yang rumit, tapi aku bisa mengerti dengan kegelisahannya itu, seandainya aku yang menjadi amalia, aku juga akan mengalami rasa gelisah yang sama.
"di sekip tante.. Tak jauh dari masjid nurul hidayah.." jawab amalia nyaris tak terdengar. Mama mengangguk masih mengamati amalia dengan pandangan menilai.
"mama kok kayak petugas investigasi kepolisian aja, disuruh duduk dulu ma, kok orang baru datang bukannya di jamu malah diinterogasi gitu.." protes kak faisal tak enak hati sama amalia. Seperti tersadar mama langsung menyuruh amalia duduk, walau dengan agak ragu, amalia duduk di sofa depan mama. Aku bisa melihat tubuhnya agak gemetaran. Aku jadi kasihan sama amalia.
"papa kamu kerja dimana?" kembali pertanyaan mama keluar, amalia seperti tercekat, bingung harus menjawab apa.
"papanya sudah tak ada lagi ma, ia sekarang dengan ayah tirinya.." kak faisal yang menjawab pertanyaan mama. Amalia semakin dalam tertunduk.
"ayah tiri..? Oh begitu.. Ayah tirimu kerja apa?" mama terlihat sekali ingin tahu pekerjaan ayah amalia.
"aku ke belakang sebentar mau suruh bik tin bikin minum.." ujarku sambil berdiri, mama mengangguk. Aku langsung ke dapur mencari bik tin. Setelah meminta tolong pada bik tin agar membuatkan minuman, aku kembali keruang tamu bergabung dengan mama.
"jadi ayah kamu pengangguran?" suara mama terdengar bagai menyiratkan ketakpercayaan. Amalia mengangguk tanpa suara.
"ibu kamu?" bagai kurang puas dengan jawaban amalia tadi mama kembali bertanya. Kulihat kak faisal ikut ikutan gelisah.
"ma udah dong, amalia kan temannya kak faisal, untuk apa sih mama tanyakan hal tak penting begini.." aku mengingatkan mama agar tak terlalu kebablasan bertanya, karena itu hanya akan membuat amalia semakin merasa tak nyaman.
"siapa bilang pertanyaan mama ini tak penting, selama ini faisal belum pernah membawa satupun temannya yang perempuan kerumah ini, kalau sampai faisal membawanya, pasti ada sesuatu yang khusus dengan mereka, dan mama berhak tau tentang calon menantu mama.." jawab mama tanpa aku sangka sangka. Wajah kak faisal langsung memerah saga, demikian juga dengan amalia. Ia menunduk semakin dalam, jarinya memain main rumbai kursi sofa dengan panik.
"mama apa apaan sih.." sungut kak faisal kesal, ia cemberut memandang mama.
"mama tak mau kalau sampai kamu memilih pacar yang salah sal, apa mama terlalu berlebihan?" mama balik bertanya dan memandang kak faisal tajam. Aku merasa suasana menjadi mulai panas. Bik tin menghampiri kami sambil meletakkan minuman dingin yang aku minta tadi diatas meja. Setelah itu bik tin kembali ke dapur.
"diminum mel.." aku menawari amalia. Ia tersenyum tipis sambil mengangguk, mukanya pucat sekali.
"kamu berapa bersaudara?" mama kembali bertanya.
"lima tante, dua kakak dan dua adik.." jelas amalia risih. Mama mengambil gelas diatas meja dan meminum isinya sedikit, kembali menatap amalia tajam.
"papa belum pulang ya ma?" tanya kak faisal yang aku duga hanyalah alasan untuk mengalihkan perhatian mama dari amalia.
"belum, biasanya juga jam segini belum pulang, kamu kan udah tau.. Kok pake bertanya lagi?" rupanya mama menyadari maksud kak faisal dan itu tak mempan. Aku jadi mengerti sekarang, kenapa kak faisal ragu untuk mengajak amalia kerumah, kalau melihat begini reaksi mama. Aku sebetulnya tak enak hati juga sama amalia, terlihat sekali ia begitu tertekan seolah olah ingin segera terbang jauh jauh dari sini.
"sudah lama kenal sama faisal?" mama mendorong gelas amalia pelan ke arah amalia dan memberi isyarat agar amalia meminumnya. Seperti ragu amalia mengambil gelas minuman itu dan meminumnya sedikit.
"sudah dari kelas satu ma.." kak faisal yang menjawab pertanyaan mama itu.
"kalian udah pacaran berapa lama?" tembak mama langsung pada intinya. Kak faisal langsung tercengang mendengar pertanyaan mama yang nyaris tak terduga duga itu, amalia langsung terbatuk batuk, buru buru melepaskan gelas dari bibirnya dan menaruh kembali ke meja. Sebagian minuman membasahi bagian depan bajunya. Mata mama mendelik melihat amalia yang panik mencari saputangan untuk membersihkan bajunya yang putih berceceran noda merah muda. Aku menarik nafas prihatin. Kak faisal cepat cepat menghampiri amalia dan membantunya mengelap baju amalia. Mama melihat adegan itu dengan mata melotot tak suka.
"Sal, dia belum jadi isteri kamu, jangan terlalu berlebihan...!" ujar mama dengan suara tinggi. Kak faisal seperti tak mendengarkan kata kata mama terus saja berusaha membantu amalia. Dengan risih amalia mencoba menolak bantuan kak faisal, hatiku tiba tiba menjadi kesal melihat kak faisal yang begitu perhatian sama amalia.
"mama betul kak.. Kalian itu cuma pacaran..!" kak faisal langsung berbalik begitu mendengar kata kataku tadi, ia terdiam sejenak, menggaruk kepalanya yang tak gatal, mama melemparkan lirikan penuh arti padaku. Senang karena aku mendukung kata katanya tadi. Kak faisal duduk kembali, kulihat ekspresi wajah amalia nyaris nyaris seperti mau menangis.
"rio kekamar dulu ya ma.." aku beranjak dengan sebal, mama mengangguk. Tanpa melihat kak faisal dan amalia lagi aku langsung meninggalkan mereka dan masuk ke kamarku.
Aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, terkenang kak faisal yang begitu perhatian sama amalia membuat perasaanku tak menentu. Sebetulnya wajar saja kak faisal demikian karena amalia pacarnya. Namun hati kecilku tak sanggup untuk menerimanya. Aku mulai mengerti perasaan ini, apakah aku menyukai kakakku sendiri... Kalau itu memang betul aku bingung harus bagaimana. Aku ternyata memang seorang gay dan parahnya lagi aku menyukai kakakku sendiri, dulu aku bingung mengartikan apa yang aku rasakan terhadap rian, rupanya itu adalah perasaan mendamba. Aku tak mungkin mengatakan terus terang tentang perasaanku ini, kak faisal bisa membenciku nantinya. Aku tak ingin itu terjadi. Andai keluargaku tau, entah apa reaksi mereka. Aku tak ingin membuat suasana rumah yang tenang menjadi panas. Aku sadar, aku harus menerima resiko atas perasaanku ini. Aku hanya bisa diam diam mencintai kak faisal. Aku tak bisa berbuat apa apa untuk menghalaunya. Biarlah rasa ini akan hilang sendiri nantinya. Aku yakin aku bisa mengatasinya. Namun entah kenapa semakin aku mencoba untuk menenangkan diri, semakin kalut perasaanku. Aku sudah menyadari jati diriku yang sesungguhnya, aku makin merasa tak menentu ketika menyadarinya.
Aku turun dari tempat tidur, kemudian keluar dari kamar. Aku mengintip mama, kak faisal dan amalia dari balik gorden. Entah apa yang sedang mama katakan. Namun wajah kak faisal terlihat tegang sementara amalia tak berani menatap mama. Pastilah mama sedang menasehati mereka berdua. Aku tau mama tak setuju kak faisal berpacaran dengan amalia. Aku tak lagi membenci amalia, karena aku tau, bukan amalia yang aku benci, tapi aku benci pada diriku sendiri yang menaruh perasaan yang tak pada tempatnya. Siapapun pacar kak faisal, akan membuat aku merasa cemburu. Tapi mama beda, ketaksetujuan mama lebih diakibatkan pada latar belakang keluarga amalia. Sebetulnya aku juga tak setuju dengan mama, aku juga berasal dari keluarga dengan latar belakang yang nyaris tak beda dengan amalia. Aku telah merasakan bagaimana pahitnya tak memiliki apa apa. Hidup hanya untuk bertahan asalkan bisa makan.
Tak bisa memiliki barang barang bagus yang diinginkan seberapa kuat menginginkannya. Cari makan sehari untuk makan sehari. Tapi aku mempunyai keluarga yang harmonis. Walaupun dulu aku dan yuk tina kurang akur tapi akhirnya kami berdua bisa mengatasi masalah itu. Aku jadi merasa begitu jahat pada kak faisal, dalam hati kecilku aku merasa senang mama tak menyetujui hubungan mereka. Aku belum siap melihat kak faisal berpacaran. Kak faisal yang selalu baik dan perhatian padaku. Setiap hari dirumah selalu bersama kak faisal. Membuat aku menyayanginya lebih daripada sekedar sayang terhadap kakak.
Aku melihat amalia berdiri dan menyalami mama. Kemudian amalia berjalan ke pintu. Mama tak bergeming sementara kak faisal mencoba untuk menahan amalia, namun amalia seolah tak perduli dengan langkah terburu buru segera meninggalkan kak faisal. Mama berbalik masuk ke ruang tengah. Saat melihatku, mama tersenyum simpul kemudian naik ke tangga menuju kamarnya.
Aku segera menemui kak faisal, yang berusaha menarik tangan amalia namun ditepis amalia, setelah terlepas amalia langsung berlari meninggalkan pekarangan rumah dan kak faisal yang termangu.
"kenapa kak?" tanyaku pura pura prihatin. Kak faisal memandangku dengan sedih, matanya berkaca kaca. Ia menggelengkan kepala tanpa semangat dan berjalan meninggalkanku dengan lesu. Betapa aku ingin memeluk kak faisal dan menghiburnya. Tapi aku tak ingin jadi munafik karena sebetulnya aku senang sekali melihat kejadian tadi. Kasihan kak faisal, aku nyaris kesulitan menyembunyikan perasaan senang dalam hatiku. Aku akan masuk neraka karena hal ini, Aku membatin.
************



tumben malam ini kak faisal tak kemana mana, ia hanya berkurung dalam kamar, saat aku masuk, wajah kak faisal sangat kusut. Aku menghampiri kak faisal dan mencoba menghiburnya, namun kak faisal hanya tersenyum dipaksakan, sekedar menghargai jerih payahku saja. Selama aku tinggal dirumah ini, belum pernah sekalipun aku melihat wajah kak faisal semurung ini, biasanya kak faisal selalu ceria dan penuh semangat. Aku menjadi makin iri dengan amalia, begitu berpengaruhnya amalia membuat kak faisal seperti ini.
Aku mengajaknya main game tapi kak faisal menggeleng, aku ajak makan ia juga menggeleng. Akhirnya ia menyuruh aku meninggalkan ia sendirian karena ia lagi tak mau bicara apa apa dan ingin sendirian saja tanpa ada yang mengganggu.
Aku menghela nafas kesal. Bahkan aku pun tak mampu membuat kak faisal mampu sejenak melupakan amalia.
"faisal didalam?" tanya mama yang berdiri didepan kamar kak faisal.
"iya ma, ia lagi tak mau di ganggu.." jawabku sambil menutup pintu kamarnya.
"nanti ia akan mengerti kalau maksud mama itu baik.. Ia masih terlalu muda, masih panjang jalan yang akan ia lalui nanti.. Kalau salah memilih pacar dan isteri, hanya akan membuatnya terjatuh.. Mama tak mau masa depannya jadi kacau hanya karena ini.." urai mama panjang lebar. Aku mengangguk, namun tak sepenuhnya menyimak. malam ini gerimis turun, suasana agak dingin, jalanan agak sepi dari kendaraan yang melintas, seharian aku dikamar memandangi rinai air hujan yang membasahi tanah. Daun daun bergoyang karena berat menampung tetesan air yang mengumpul diatasnya. Suasana hatiku saat ini tak menentu, kak faisal mengurung diri dalam kamar sejak tadi sore, aku sudah coba memanggilnya tapi tak ada respon, entah kak faisal sudah tidur atau ia memang sengaja tak menjawab. Aku tak tahu kak faisal pasti marah sama mama, tapi mama pasti punya alasan tak menyetujui hubungan kak faisal dengan amalia. Walaupun aku tak sepenuhnya setuju kalau materi yang dijadikan alasannya.
"rio.. Udah tidur ya?" terdengar suara om sebastian dari luar kamarku sambil mengetuk pintu.
"belum om.. Masuk aja.." jawabku agak keras. Handle pintu diputar pintu terbuka, om sebastian masuk kedalam kamarku.
"lagi ngapain yo?" aku menoleh ke om sebastian.
"nggak ngapa ngapain om, emangnya kenapa?"
"jalan sama om mau nggak?" om sebastian berdiri disampingku.
"kan gerimis, emangnya om mau mengajak aku kemana?" om sebastian melingkarkan lengannya di bahuku.
"Nanti kamu juga tau sendiri, mau nggak?" om sebastian mengulangi pertanyaannya. Aku mengangguk cepat, aku senang om sebastian mengajak aku jalan jalan, selama aku disini, baru kali ini om sebastian mau mengajak aku dan aku tak mau menyia nyiakan kesempatan ini. Setelah pamit sama mama dan papa, aku mengikuti om sebastian ke garasi, om sebastian menyuruh aku masuk ke dalam mobil, tadinya aku kira om sebastian bakalan mengajak aku jalan pake motornya. Sepanjang perjalanan kami mengobrol dengan asik, banyak hal yang aku ceritakan sama om sebastian, termasuk kejadian tadi sore. Om sebastian agak terkejut mendengar ceritaku itu. Ia cuma menggeleng gelengkan kepalanya.
"ini 19 ilir, masjid itu namanya masjid agung.." om sebastian menunjuk sebuah masjid berwarna putih yang megah, aku terpana menatap masjid itu, memang sebelumnya aku sudah pernah melihat masjid agung, soalnya teman teman sering mengajak aku berkeliling di jalan merdeka ini.
"wah om, masjid itu bagus banget ya.." aku berkomentar sekadar menyenangkan hati om sebastian.
"iya yo.. Kalo dibanding dengan masjid terbesar di bangka, masih besar masjid agung.. Dibangka itu surau..hehehe" om sebastian menyombongkan kemajuan kotanya. Aku mencibir mendengar om sebastian.
"kita ke jembatan ampera aja.. Kamu pasti belum pernah melihat jembatan itu malam hari."
"wah boleh tuh om" jawabku antusias. meskipun gerimis banyak yang nongkrong di area dekat jembatan ampera, om sebastian memarkir mobil di tempat yang agak strategis dekat pinggiran sungai. Beberapa gerobak berbaris menjual nasi goreng, mie rebus dan macam macam makanan. Aku menyusuri pinggiran sungai musi yang beriak riak berkilau terkena pancaran cahaya lampu. Betul betul indah.
"kesitu aja ya..!" tunjuk om sebastian ke satu arah. Aku mengangguk mengikuti om sebastian. Dibeberapa sudut kulihat ada beberapa orang sedang berdua duaan, sepertinya mereka sedang pacaran.
"om kok nggak bawa pacarnya aja?" tanyaku ingin tau. Om sebastian tak menjawab, ia tersenyum kecil dan merangkul pundakku.
"duduk disini aja ya, kamu lapar nggak, mau om beliin bakso?"
"boleh om, agak lapar nih.. Hehehe.."
"tunggu disini sebentar, jangan kemana mana.." om sebastian meninggalkanku, ia mendekati gerobak bakso yang berada tak begitu jauh dari tempat aku duduk. Aku memandang ke depan melihat air sungai yang berombak kecil, rinai air hujan yang setipis benang masih jatuh sesekali membentuk bercak tak kasatmata diatas sungai.
"terkadang kalau lagi suntuk om bisa berjam jam duduk disini, rasanya begitu tenang.." ujar om sebastian yang tak aku sadari sudah berdiri di sampingku. Aku memandang om sebastian dengan tertarik.
"dulu om selalu disini bersama pacar om..." om sebastian menggantung kata katanya.
"lalu, dimana pacar om sekarang?" tanyaku dengan penasaran. Om sebastian tercenung menatap sungai dengan nanar, seolah sedang mengingat kejadian yang telah berlalu.
"itu sudah lama sekali, bertahun tahun lalu waktu om masih sma..."
"pacar om sekarang dimana?"
selidikku curiga melihat ekspresi sedih yang jelas terpeta di raut wajah om sebastian.
"dia sudah lama meninggal..." tandas om sebastian dengan suara bagai tercekik. Aku terpana menatap wajah om sebastian. Keheningan beberapa saat antara aku dan om sebastian, hingga penjual bakso mengantarkan dua porsi bakso pesanan om sebastian tadi.
"dimakan rio, ntar keburu dingin..!" perintah om sebastian karena melihat aku masih bengong dan mengabaikan bakso yang ditaruh bapak tadi di sampingku.
"iya om.." aku mengangguk, om sebastian juga mengangkat mangkok baksonya. Kami makan bakso tanpa bicara hingga habis seluruh isi dalam mangkok. Aku menaruh mangkok kosong disampingku.
"pacar om meninggal karena apa?"
aku masih penasaran dengan cerita om sebastian yang belum tuntas.
"kecelakaan..." jawab om sebastian refleks.
"ke...ce..la..ka..an....?" aku setengah tak percaya. Om sebastian mengangguk.
"kok bisa begitu om...?" suaraku bergetar menanyakan itu.
"sudahlah om mau melupakan tentang itu, .." om sebastian menunduk seolah serius melihat air sungai. Aku tak bertanya lagi karena tak mau membua om sebastian jadi sedih, bukannya malam ini kami berdua keluar untuk bersenang senang.
**************

PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang