PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO) 14

2K 53 0
                                    

#17 MASALAH DEMI MASALAH

"sudah mama bilang jangan lagi pacaran dengan gadis itu...!" pekik mama marah. Aku yang sedang berbaring malas malasan sambil baca buku dikamar hampir saja terlonjak kaget. Buru buru turun dari tempat tidur berlari keluar.
"malas bicara sama mama tak bakalan mengerti...!" balas kak faisal tak kalah kerasnya.
"jangan membantah fai..! Mama melakukan itu demi kebaikan kamu sendiri!" bentak mama histeris.
"fai udah dewasa ma, fai bisa memilih sendiri cewek yang fai inginkan.. Mama tak berhak mengatur ngatur fai..!" jawab kak faisal keras kepala.
"mama berhak mengatur kamu karena mama adalah ibu kamu..!"
"tidak... Mama tak berhak..kenapa mama selalu memaksakan kehendak mama..fai juga berhak memilih apa yang fai ingin ma..!" lawan kak faisal dengan emosi, wajahnya merah menahan amarah. Aku menggeleng gelengkan kepala prihatin. Kok nggak selesai selesai juga masalah ini, kak faisal keras kepala mama juga keras kepala tak ada yang mau mengalah diantara mereka karena mereka berdua beranggapan sama sama benar.
"aku akan tetap pacaran sama amalia tak perduli mama setuju atau nggak, titik!!" serang kak faisal sambil meraih tas ranselnya diatas meja makan, dengan cuek meninggalkan mama.
"fai tunggu dulu..!! Mama belum selesai bicara..!" mama menjerit mengejar kak faisal. Namun kak faisal tak menghiraukannya.
"terserah...!" kak faisal meraih motornya di depan teras kemudian menghidupkan mesinnya lalu ngebut meninggalkan pekarangan. Mama menggelengkan kepala dan menarik nafas panjang. Kemudian berbalik masuk kerumah.
"ada apa ma?" tanyaku iba.
"biasalah rio, kakakmu itu, keras kepala, tak mau menerima masukan dari orang lain.." jawab mama kesal.
"ya sudahlah ma, kenapa juga sih mama melarang larang kak faisal pacaran sama amalia... Kalau mama melarang terus malah jadinya kak faisal makin mengejar ngejar amalia ma.." ujarku sok menasehati mama.
"kamu belum kenal sama kakakmu itu rio, kalau ia sudah memilih, sulit untuk diubah..!" mama mendesah kesal.
"ya sudahlah kalau gitu kenapa juga mama repot repot.." aku menghempaskan pantat diatas sofa.
"apa nanti kata teman teman arisan mama, kok calon mantu mama kayak gitu..mama bisa malu.." mama mengeluh.
"ngapain juga mikirin mulut orang...Ma apa mama tega kak faisal menderita hanya karena mama lebih memilih gengsi mama ketimbang perasaan kak faisal?" ujarku hati hati. Mama menatapku tajam.
"kamu pikir mama tak sayang sama faisal? Walaupun dia bukan anak kandung mama, tapi mama menyayanginya rio.. Sejak umur 8 tahun mama sudah merawatnya.." keluh mama sambil menyandarkan punggungnya ke sofa. Terlihat sekali mama begitu letih. Bahkan baju kantornya pun belum di ganti.
"ma... Coba mama mengenal amalia dulu.. Beri kesempatan mereka ma, kalau memang amalia tak baik, aku yakin kak faisal juga akan mengerti nantinya..." aku coba memberikan jalan keluar. Mama terdiam seperti sedang mempertimbangkan usulku tadi.
"jadi maksud kamu mama harus menyetujui hubungan mereka?" tanya mama kaget.
"mau tak mau ma.. Daripada kak faisal dan mama harus bertengkar terus, sementara mama sendiri bilang kak faisal keras kepala kalau sudah memutuskan sesuatu.." tandasku sambil meninggalkan mama.


lagi lagi kak faisal nggak pulang tadi malam, entah menginap dimana aku juga nggak tau. Wajah mama masih keruh, sarapannya cuma ia main mainkan dengan sendok.
"kenapa sih ma, papa liat dari tadi mama kok nggak makan, udah hampir siang loh.. Ntar mama kesiangan loh.." tanya papa yang heran dengan sikap mama yang aneh.
"faisal pa.." ujar mama sebal.
"oh iya faisal kemana ma.. Kok papa nggak liat?" papa seperti baru menyadari kalau kak faisal absen sarapan bersama.
"itulah papa, terlalu sibuk dengan urusan sendiri, malah anaknya nggak diperhatikan lagi.." protes mama kesal.
"loh.. Kan ada mama... Lagipula mama tau sendiri gimana sibuknya papa.. Emangnya ada apa sama faisal ma?" tanya papa dengan sabar.
"faisal pa, tak mau mendengarkan pendapat orang lain, maunya dia terus yang didengarkan.." mama mengeluh.
"faisal kan remaja ma, ya wajar aja dia bersikap seperti itu, mungkin sudah jamannya anak sekarang lebih bebas dan tak ingin diatur atur.." ujar papa santai.
"papa ini bagaimana sih.. Makanya si faisal itu jadi kurang ajar.. Apa apa selalu papa bela, semua keinginannya selalu papa turuti, kalau begini caranya mendingan papa aja yang mendidik dia.. Mama udah capek!" semprot mama sambil berdiri dan meninggalkan kami. Sementara sarapannya tak sedikitpun mama sentuh. Papa melongo melihat mama yang meninggalkan ruangan makan dengan kesal.
"ada apa sih dengan kak faisal yo?" tanya papa sambil mendorong piringnya yang sudah kosong ke tengah meja.
"itu pa.. Mama nggak setuju dengan pacarnya kak faisal.." jawabku sambil mengunyah potongan terakhir dendeng balado dari piringku.
"faisal sudah punya pacar? Wah.. Kok papa belum dikenalin ya.. Dasar anak papa itu.." ujar papa tertawa terkekeh.
"itu masalahnya pa.. Mama nggak setuju dengan pacarnya kak faisal.." aku mengulangi penjelasanku tadi.
"maksudnya?" tanya papa heran. Kemudian meluncurlah kronologis cerita percintaan kak faisal dengan amalia, bagaimana keadaan amalia dan ketaksetujuan mama dengan hubungan mereka itu. Papa cuma diam mendengarkan penjelasanku. Sesekali ia mengangguk anggukan kepala. Setelah aku selesai bercerita, papa seperti termenung. Entah memikirkan apa aku sendiri tak tau. Tiba tiba papa berdiri dan menyusul mama ke kamar.
entah apa yang papa bicarakan dengan mama dalam kamar, yang pasti setelah mereka keluar berdua, tak terlihat lagi ada tanda tanda kekesalan diwajah mama, bahkan mereka pergi ke kantor sama sama. Aku tak sekolah karena liburan sudah dimulai, sebetulnya teman teman mengajak aku liburan ke desa tapi aku menolak karena aku masih ada masalah yang belum diselesaikan. Aku bertanya tanya kemana kak faisal, ada kemungkinan ia menginap dirumah agus. Daripada menebak nebak tak pasti mendingan aku telpon saja agus langsung. Namun begitu aku tanyakan ternyata agus juga tak tau menahu, katanya sudah dua hari tak bertemu kak faisal. Aku berterima kasih dan menutup telpon, setelah itu aku telpon rizal dan teman teman kak faisal yang lain yang memungkinkan jadi sarang persembunyian kak faisal, namun sia sia, tak satupun temannya yang tahu dimana keberadaan kak faisal, dasar kak faisal pinter banget sih cari tempat sembunyi. Sepi juga rasanya rumah tak ada kak faisal, mana liburan lagi.. Aku cuma bisa menggerutu dalam hati.

sudah dua hari kak faisal tak pulang, mama mulai panik, seisi rumah tegang karena mama selalu menangis dan marah marah.
"apa kita perlu lapor ke polisi pa, mama kuatir... Tak biasanya faisal begini." isak mama diruang tamu. Aku jadi tak menentu, semua yang dihubungi tak tau menahu keberadaan kak faisal, termasuk teman teman akrabnya. Aku hampir kehabisan akal mau mencari kemana.
"sabar ma, nggak perlu seekstrim itulah, wajar ma faisal kan sudah dewasa sekarang, mungkin mama cuma belum terbiasa.. Pada waktunya anak lelaki ingin bebas ma.." tegur papa sabar.
"papa ini bagaimana sih? Bukannya mikir malah tenang tenang saja.. Kalau faisal pergi dari rumah tidak dalam keadaan marah mungkin mama lebih tenang pa.. Mama takut faisal melakukan hal hal yang tidak kita inginkan..." jerit mama dengan panik.
"sssst... Mama tenang dong, papa itu bukannya tak perduli pada faisal, wong dia itu anak papa satu satunya.. Ya pastilah papa sangat memikirkan dia..." papa mencoba membujuk mama. Ada terbersit rasa sedih mendengar kata kata papa, betapa mama menyayangi kak faisal yang notabene bukan anak kandungnya. Tapi papa mengatakan kak faisal hanya satu satunya anak lelakinya. Jadi keberadaanku dirumah ini mungkin hanya dianggap papa sebagai tamu. Aku berdiri hendak ke kamar.
"mau kemana rio?" tanya mama disela isakannya.
"kekamar ma.. Rio mau istirahat.." jawabku lesu sambil berjalan ke kamar. Aku berbaring ditempat tidur dengan pikiran berkecamuk. Mengapa aku harus terlahir sebagai anak yang statusnya tak jelas begini, begitu banyak kekurangan pada diriku. Andaikan aku tahu dimana papa kandungku yang sesungguhnya tentu aku akan sangat bahagia. Dulu waktu masih tinggal bersama emak, ayahku begitu cepat meninggalkanku hingga aku tak merasakan kasih sayangnya. Saat aku tinggal bersama mama, papa tiriku jarang ada dirumah hingga kami berdua tak begitu dekat. Hanya sesekali sarapan bersama.
Dan dari kata kata papa tadi sepertinya hanya aku yang menganggap ia sebagai papa. Sedangkan papa hanya mengatakan cuma faisal satu satunya anak lelakinya. Aku sedih sekali, rupanya keberadaanku dirumah tak ada artinya dimata papa, hanya sebagai anak kandung mama saja, selebih nya tak ada yang spesial bagi papa. Aku cuma menumpang dirumah ini.
***********

"rio.. Ada telpon untuk kamu.." mama mengetuk pintu kamarku. Aku turun dengan malas dan membuka pintu.
"dari siapa ma?" tanyaku heran, tumben ada yang telpon, teman temanku pada berlibur semua, jadi siapa yang menelponku.
"katanya koko.. Ayo cepat dia sudah nunggu tuh..!" bergegas aku ke ruang tengah dan mengangkat telpon.
"halo.."
"ya halo, ini rio ya?" balas suara di seberang."
"iya ko, ada apa?"
"jalan yuk.. Mau nggak?"
"kemana?"
"belum tau sih, ya jalan aja.. Mau nggak?" aku berpikir sebentar, sepertinya tak ada salahnya aku jalan jalan, dirumah juga nggak ngapa ngapain, lumayan bisa ketemu om alvin lagi.
"oke deh, aku tunggu ya.." jawabku akhirnya.
"sip.. Sepuluh menit lagi aku jemput.." suara koko terdengar sangat senang. Aku menutup telpon dan kembali ke kamar, mencuci muka habis itu ganti baju. Tak menunggu lama koko sudah sampai dirumahku. Aku langsung menemuinya.
"wah.. Udah siap rupanya." koko tersenyum lebar melihatku.
"ayo.. Langsung aja.." ajakku. Koko berdiri dan pamit sama mama.
"kalau lihat kak faisal tolong suruh pulang ya.. Bilang mama mau bicara.." ujar mama dari depan pintu.
"iya ma..!" jawabku sambil naik ke boncengan.
"udah yo?" tanya koko memastikan aku sudah duduk nyaman.
"udah ko.." jawabku.
"peluk aja yo ntar jatuh.." koko menarik gas motor hingga jalannya agak ngebut.
"iya ko.." aku melingkarkan lengan di perut koko.
"sering ke IP?" tanya koko sedikit menoleh kebelakang.
"jangan ke IP Ah.. Bosan.. Kemana lah asal nggak kesana.." aku keberatan.
"kalo gitu kita ke benteng kuto besak aja.. Mau nggak, kamu pasti belum pernah kesitu kan?" tawar koko.
"wah boleh.. Boleh, aku belum pernah kesana.." jawabku antusias.
"oke kita kesana sekarang.." Suasana yang langsung ku tangkap saat tiba adalah sebuah bangunan yang menghadap ke sungai musi, dengan pelataran yang luas dan barisan pohon palem, sangat indah...
jam setengah enam tepat koko mengantarku pulang, aku mengajak koko mampir, semula ia menolak dengan alasan sudah hampir maghrib tapi aku paksa akhirnya koko tak bisa menolak.
"ini kamarku ko, silahkan masuk..!" aku mengajak koko masuk dalam kamarku.
"wah.. Besar banget kamarmu, mana isinya lengkap.. Pasti betah seharian didalam kamar ini.." desis koko sambil mengitari pandangan ke seisi kamar.
"ya nggak lah ko, kalo udah tiap hari nggak bakalan betah..." aku tersenyum mendengar kata kata koko.
"mau minum apa?" tanyaku.
"terserah.."
"panas atau dingin?"
"coffemix ada?"
"ada.. Tunggu sebentar ya.."
"nggak usah buru buru.." seru koko. Aku ke dapur mengambil cangkir dan mencari coffemix yang biasanya ditaruh di dalam rak dinding. Untung saja masih ada.
"ini ko.." aku meletakkan coffemix panas diatas meja belajar.
"makasih yo.."
"rumah sepi, nggak ada siapa siapa.."
"faisal belum pulang juga ya?" tanya koko.
"belum, udah dua hari ini.."
"apa sih masalahnya?"
"biasalah ko, kak faisal bertengkar sama mama gara gara mama nggak ngasih ia pacaran sama amalia..." jawabku terus terang.
"mamamu nggak setuju... Kenapa?" koko agak heran.
"nggak tau juga, mungkin mama kurang sreg aja kali.." jawabku asal.
"papa sama mamamu kemana?" tanya koko lagi.
"nggak tau, udah biasa mama nggak dirumah jam segini.. Mungkin ke tempat saudara cari kak faisal." aku menduga duga.
"rio boleh aku numpang mandi?" tanya koko sambil mengipas ngipas tubuhnya yang agak keringatan.
"boleh kok.. Mumpung belum gelap.. Ntar aku ambilin handuk dulu.." ujarku sambil membuka lemari dan mengambil handuk bersih yang masih terlipat.
"ini handuknya ko.." aku memberikan handuk pada koko.
"makasih.." koko mengambil handuk lalu menyampirkan diatas bahunya. Koko melepaskan baju kaus yang ia pakai. Kemudian celana jeansnya. Ia masuk kamar mandi dengan berlilitkan handuk di pinggang. Putih mulus kulit koko untuk ukuran cowok. Betul betul bersih dan klimis. Tapi tubuhnya cukup atletis dan sedap dipandang. Cocok sekali ia jadi pemain film atau bintang iklan. Tak sampai sepuluh menit koko selesai mandi. Keluar dengan berlilitkan handuk. Rambutnya yang lurus agak acak acakan karena basah.
"pake baju aku aja ko.. Baju kamu udah bekas keringat.." tawarku.
"nggak apa apa ya?" koko bertanya.
"nggak masalah.. Sebentar aku ambil.." aku membuka lemari lagi mencari baju untuk koko.
"ini..!" aku melemparkan baju kaus putih dan celana pendek pada koko.
"thanks yo... Sekalian celana dalam boleh?" koko menangkap baju yang aku lemparkan.
"emang kamu mau pake celana dalam ku?"
"nggak apa apa kalo kamu nggak keberatan."
"ya udah..tunggu sebentar." aku mengambil celana dalam kemudian memberikan pada koko. Aku menyalakan televisi sementara koko berganti pakaian. Setelah berpakaian koko duduk disampingku.
"boleh pinjam telpon nggak, mau kasih tau mama aku lagi disini.."
"tunggu sebentar aku ambil telponnya." jawabku sambil keluar dan mengambil telpon tanpa kabel. Koko menelpon mamanya memberitahu ia menginap dirumahku.
"apa kata mamamu?"
"boleh.. Mama mengizinkan.. Tumben biasanya mama paling melarang aku menginap dirumah teman..." jelas koko sambil tertawa. Mumpung ada Koko disini aku ingin bertanya lebih banyak mengenai Om Alvin. Soalnya aku agak penasaran juga, Aku tak tau kenapa aku merasa tertarik untuk mengetahui lebih dalam mengenai dia. Hanya yang kutahu tiap berdekatan dengan Om Alvin aku merasa betah. Anak om Alvin cuma satu satunya yang bernama Astrid yang tempo hari aku lihat, menurut Koko, tante Sophie tak bisa lagi memberikan anak untuk Om Alvin karena ada kista di Rahim Tante Sophie. Padahal Om Alvin sangat berharap bisa mempunya anak laki laki. Kadang kehidupan memang tak bisa ditebak. Ada yang begitu mengharapkan kelahiran anaknya tapi tak kunjung datang. Ada yang tak mengharapkan malah diberikan. Kadang bingung juga. Tapi memang begitu kenyataannya, tak semua yang manusia inginkan bisa dikabulkan.
"Ko, udah larut, mendingan kita tidur dulu.." Ajakku karena kasihan melihat Koko sudah menguap berkali kali dari tadi.
"Nggak terlalu ngantuk juga Yo.. Kalau masih mau ngobrol nggak apa apa kok.."
"Nggak lah, aku juga mau istirahat, mataku juga udah mulai ngantuk.." aku menarik selimut.
"Biasanya kamu tidur gelap atau terang?" Tanyaku.
"Bisa gelap bisa terang, kalo mata udah ngantuk aku nggak perduli lagi.." jawab Koko memperbaiki posisi bantalnya.
"Kalau gitu aku matiin aja lampunya biar lebih nyenyak." Aku turun dan mematikan lampu hingga kamar menjadi redup.

Keesokan harinya aku mengantar Koko, tentu saja bersama mang Tono. Jam sembilan lewat tiba dirumah Koko, Mamanya sedang memasak. Beliau senang sekali waktu melihat Aku dan Koko datang.
"Wah tante udah nyangka Rio bakalan kesini, kebetulan tante masak yang spesial hari ini, Nak Rio makan siang disini aja ya..." Senyum Mama Koko terkembang sumringah.
"Nggak usah repot repot Tante, jadi nggak enak.. Ada yang bisa Rio bantu Tan?" Aku menghampiri Mama Koko yang kelihatan sibuk memotong sayuran.
"Nggak.. Biar tante udah biasa Sayang.. Kamu duduk aja di depan sama Koko.." Mama koko tertawa senang.
"Om Alvin mana ma?" tanya Koko.
"Tadi katanya ngajak Astrid jalan jalan.."
"Bareng Tante Sophie juga ya Ma?"
"Iya.. Tadi Om Alvin nyuruh Tante Sophie bantu Mama, Tapi kamu kan tau sendiri gimana Tantemu itu. Mana mau dia disuruh masak.." Jawab Mama koko.
"Aku ke kamar dulu ya Ma.."
"Iya.. Nggak apa apa.. Bikinin Rio minuman, trus kue yang ada di Kulkas juga dikeluarin, untuk kalian Ngemil, Soalnya Mama baru selesai Masak jam Sebelas nanti.." Ujar Mama Koko. Aku mengikuti Koko ke kamarnya. Bermalas malasan sambil membaca komik. Hingga tak terasa sudah Jam sebelas Saat Mama Koko memanggil kami agar makan siang. Ternyata di meja makan sudah ada Om alvin, Tante Sophie, dan Anaknya Astrid. Aku mencoba tersenyum pada Om Alvin, namun ia seperti tak melihat, Langsung sibuk dengan Makanannya. Aneh sekali sikap Om Alvin, Ia tak sekalipun menoleh padaku walau hanya sekedar basa basi menawari makan. Kemarin kemarin ia ramah dan bersahabat. Padahal banyak yang ingin aku ceritakan padanya. Bahkan hingga selesai makan pun Om Alvin seperti tak menyadari ada aku. Selesai makan, aku diajak Koko nonton tipi. Meskipun film kesukaanku sedang ditayangkan, namun tak konsentrasi sedikitpun. Dalam pikiranku cuma Om Alvin. aku pulang walaupun mama koko dan koko menahan agar aku tinggal lebih lama.
****************

Mang tono datang sepuluh menit setelah aku telpon. Om alvin entah kemana, sejak selesai makan ia langsung masuk kamar bersama isterinya dan belum keluar hingga sekarang. Aku jadi bingung dengan sikap om alvin, kenapa bisa berubah begitu drastis. Apa aku ada salah kata terhadapnya kemarin, sehingga ia tak ramah lagi padaku. Sebetulnya aku mau bersikap tak perduli, namun hatiku berbicara lain. Aku seolah merasa semakin penasaran. Makin tergelitik untuk mendekati om alvin. Biarlah hari ini aku tak ada kesempatan bicara dengannya. Semoga om alvin dan isterinya belum keburu pulang ke jambi.
Sampai dirumah aku betul betul kaget. Ada mama, papa, om sebastian, tante laras, om beno, serta odie, dan satunya lagi yang membuat aku tadi nyaris tak percaya adalah amalia. Apakah itu berarti kak faisal sudah pulang..? Aku menoleh kiri kanan melihat kak faisal namun tak ada.
"hai sepupu.. Apa kabar?" sapa odie langsung menghampiriku dengan semangat, senyumnya tersungging lebar.
"hai odie, kapan datang.. Kok nggak kasih tau dulu?" aku menyambut uluran tangan odie dan menjabatnya.
"maaf bukan nggak ngasih kabar yo, tadi juga mendadak diajak kesini sama mama.." jelas odie.
"dari mana aja kamu?" tanya tante laras.
"rumah teman." jawabku singkat.
"kelayapan nggak karuan, udah tau ada masalah dirumah...!" tembak tante laras tanpa perasaan. Mukaku terasa panas tak menyangka ia akan berkata seperti itu.
"sudahlah dek laras, jangan berlebihan, rio sedang liburan, lagipula dari kemarin ia juga tak kemana mana, tadi rio mengantar temannya pulang." jelas mama sabar.
"kak mega tak perlu selalu membelanya mentang mentang ia anak kandung kakak!" tante laras kelihatan emosi.
"kenapa jadi bertengkar, faisal belum juga ketemu sudah merembet ke masalah lain.." tukas om beno menengahi. Mama tertunduk, sementara tante laras cemberut dengan mulut mengerucut seolah sedang menelan gerutuan yang hampir keluar.
"sudah di cek ke teman temannya, barangkali ia menginap disalah satu rumah temannya..?" cetus tante laras.
"sudah, semua temannya yang kami tau sudah dihubungi, tapi tak ada satupun yang tau..!" jawab papa.
"makanya kak, kalau bertindak itu pikir pikir dulu!" tante laras kumat lagi.
"tolong dek laras jangan memperkeruh keadaan, itu semua aku lakukan demi kebaikannya sendiri..." mama membela diri.
"iya..! Kebaikan menurut kakak.. Memangnya kakak tau apa yang terbaik untuk faisal?" tante laras tak mau kalah.
"sabar ma, nggak usah emosi gitu, percuma, faisal entah kemana, kalian malah ribut ribut!" timpal om beno.
"iya yuk, ngomong yang bener kenapa?" sambung om sebastian, dari tadi ia mencuri curi pandang ke arahku. Tapi aku pura pura tak menyadari.
"kalau sudah begini dimana kita harus cari faisal, terpaksa kita lapor ke polisi untuk membantu cari faisal..!" keluh papa prihatin.
"itu semua gara gara kamu!" mama menunjuk wajah amalia dengan berang. Amalia terisak tak berani menatap mama. Aku kasihan sekali pada amalia.
"E...e..e.. Jangan asal tunjuk anak orang dong! Kenapa lagi kak mega menyalahkan amalia, mau cari kambing hitam untuk kesalahan kak mega!" hardik tante laras tak sabar.
"ma udah ma.. Jangan ribut!" om beno kelabakan menenangkan isterinya.
"kalau bukan karena gadis gembel ini tak akan terjadi seperti ini!" pekik mama histeris. Sambil berdiri kalap menghampiri amalia. Om sebastian yang sigap langsung menghadang mama agar tak kelepasan memukul amalia. Tante laras yang duduk dari tadi ikut ikutan berdiri.
"kak sadar kalo ngomong! Lupa ya dulu kakak itu siapa?" hardik tante laras tanpa tedeng aling.
"jangan ungkit ungkit masa laluku laras!" jerit mama kesal.
"kan kakak yang memulai, seolah kakak berasal dari keluarga terhormat, keluarga kaya.. Mentang mentang sudah diangkat derajatnya sama bang harlan, kakak jadi sombong..!" tikam tante laras tanpa belas kasih. Semua tercengang mendengar apa yang tante laras katakan. Mama terpaku seolah kehilangan kata kata.
"dek laras jaga ucapanmu, bagaimanapun juga dia isteriku dan itu artinya dia kakak iparmu juga... Kamu seharusnya lebih hormat, kata katamu itu sungguhtak pantas, kamu sadar ada anak kita disini..!" papa mulai terpancing kemarahannya. Amalia semakin terisak, ia terlihat sangat ketakutan.
"rio, mendingan kita ke kamar kamu aja yuk.. Kayaknya bakalan ada perang bintang disini.." bisik odie pelan.
"tunggu die, aku takut terjadi apa apa.. Kasihan amalia, aku bingung kenapa dia bisa ada disini.." aku mengungkapkan kekuatiranku pada odie.
"mama kamu yang menjemputnya, tante mega pikir amalia tau dimana keberadaan kak faisal, jadi tadi kami sama sama ke rumahnya setelah mama kamu menanyakan alamat amalia ke teman kak faisal.." jelas odie. Aku terdiam, lututku jadi lemas, aku pernah melihat mama emosi seperti ini sebelumnya, dan mama tak akan mau mengalah, kejadian itu terus membekas di ingatanku, bagaimana mama dan emak dulu bertengkar. Dan sekarang tante laras yang juga keras sedang bertengkar dengan mama gara gara kaburnya kak faisal.
Aduh kak faisal kenapa sih pake kabur segala, padahal cuma masalah kecil seperti ini. Betapa kekanak kanakannya kak faisal, bukannya memperjuangkan cinta tapi malah lari dari kenyataan. Aku tak bisa mengerti dengan jalan fikiran kak faisal. Kesal juga aku memikirkannya. Kalau sudah begini semua jadi terseret. Apa tak ada ketenangan dirumah ini. Percuma saja harta berlimpah serta fasilitas yang lengkap tapi minim keakraban. Sering ada masalah, hilang satu masalah terbit masalah lain.
"pokoknya kita harus mencari faisal..! Jangan sampai terjadi apa apa sama faisal.. Kak mega tak bisa menjaga faisal, merawatnya seperti anak kandung sendiri.. Kak mega telah gagal...!" berondong tante laras tanpa henti. Sementara mama hanya duduk terdiam sambil terisak.
"maaf laras, kamu salah, aku sangat menyayangi faisal, tak kurang kasih sayang yang aku curahkan untuk dia, tak ada sedikitpun aku berpikir untuk membedakan dia dengan rio, aku betul betul menyayangi faisal seperti anak kandungku sendiri..." isak mama dengan tubuh terguncang karena tangis.
"sudahlah ma, tak ada gunanya menyalahkan kak mega, faisal memang nekat, kita tau sendiri bagaimana sifatnya." om beno meredakan kemarahan tante laras.
"jangan menyalahkan mega terus dong dek, abang juga lagi pusing sekarang, jangan menambah masalah lagi.." ujar papa lemah, terlihat wajahnya begitu capek. Empat hari sudah kak faisal menghilang tanpa tau kemana rimbanya, semua menjadi panik sekarang dan tak ada yang bisa berpikir jernih menyikapi masalah ini.
"sekarang kita ke kantor polisi dulu, sebastian tolong kerahkan teman temanmu untuk ikut membantu cari faisal,..." om beno memberikan solusi.
"amalia, betul kamu memang tak tau menahu dimana faisal?" om sebastian bertanya pada amalia. Amalia mengangkat kepala, menatap om sebastian takut takut, bibirnya gemetar seolah sedang menjalani sidang yang menentukan vonis berat baginya.
"be.. Betul om, sungguh.. Sa.. Saya tidak tau.. Saya bertemu faisal terakhir waktu pembagian raport, dia mencoba memanggilku, tapi aku menghindar.." kentara sekali amalia begitu ketakutan.
"ya sudah kalau memang begitu,.." tukas om sebastian.
"jangan bohong kamu, tak mungkin kamu tak tau dimana faisal, dasar kecil kecil udah gatal!" hardik mama tak mau mendengarkan penjelasan amalia.
"cukup kak..! Jangan menyalahkan amalia terus... Cukup kekacauan yang kakak buat! Biarkan faisal memilih sendiri gadis mana yang ia mau..!" bentak tante laras tak sabar. Mama mau membalas kata kata tante laras namun cepat cepat papa potong.
"ayo kita berangkat sekarang, kalau ribut terus nggak bakalan selesai, bisa bisa sampai subuh perang mulut terus!"
"betul, lebih baik kita berangkat sekarang..!" timpal om beno bosan. Mama berdiri dan menghampiriku.
"sayang mama sama papa pergi dulu cari kak faisal, kamu jangan kemana mana dulu, temani odie disini.."
"iya ma... Rio temani odie, hati hati dijalan ma.." ujarku iba. Kasihan mama, ia pasti merasa sangat bersalah. Sepeninggal mereka, aku dan odie duduk di depan televisi.
"kemana ya kak faisal..?" celetuk odie sambil menyenderkan punggungnya di kursi.
"entahlah die, aku juga kurang tau, aku belum begitu hafal dengan teman teman kak faisal, aku takut kak faisal berbuat nekat, soalnya pergaulan kak faisal agak parah, teman temannya banyak anak yang nakal.." aku mengungkapkan kekuatiranku.
"semoga aja kak faisal nggak ngapa ngapain, cuma sekedar kabur ke rumah temannya." harap odie.
"iya die semoga.." aku menghibur diri sendiri. Padahal dalam hatiku begitu cemas. Aku tau karakter kak faisal bagaimana. Tak bisa dilarang ataupun ditentang. Keinginannya sudah biasa dituruti. Ketika ia dilarang, ia tak bisa menerima, jiwanya masih labil. Ia memang nakal, tapi ia juga manja. Terkadang aku tak habis pikir dengan pola laku kak faisal. Sebetulnya sikap tante laras tadi sangat berlebihan. Wajar saja mama tak terima, karena sepengetahuanku, mama sangat menyayangi kak faisal. Hati mama pasti sakit dengan hinaan tante laras. Aku heran kenapa papa begitu lemah, mama itu isterinya sepatutnya ia bela.
KRING.... KRING...KRING..
Suara telpon yang berdering keras mengagetkanku. Bergegas aku angkat.
"halo..."
"ya halo, bisa dengan rio..?" jawab suara diseberang, yang aku kenali sebagai suaranya koko.
"ini koko ya?"
"oh, ini rio ya.. Lagi ngapain yo?" tanya koko.
"lagi nonton sama sepupuku dirumah, ada apa ko?"
"hari ini tante sophie pulang ke jambi sama astrid, tadi om alvin nanyain kamu.. Katanya habis nganterin tante ke bandara, om alvin bilang mau ngajak jalan... Dia nyuruh aku ngajak kamu yo.. Gimana, sempat nggak?"
tumben, om alvin yang beberapa hari ini cuek sama aku tiba tiba mau mengajak aku jalan jalan, lalu tante sophie pulang, kenapa om alvin tidak ikut?
"gimana ya ko, bukan aku menolak, soalnya lagi ada masalah dirumah, lagipula ada sepupuku baru datang dari baturaja, nggak enak kalo aku tinggalin..." aku menolak dengan berat hati.
"yaaa... Kecewa dong aku.. Ajak aja sepupumu, nggak masalah kok yo..!"
"bukan cuma itu masalahnya ko.. Dirumah lagi panas, kak faisal belum pulang, takutnya nanti mama marah.. Kapan kapan aja ya ko, sampaikan salam sama om alvin, bilang aku bukan nggak mau, tapi belum bisa..." jawabku berat , padahal aku betul betul ingin sekali jalan jalan bareng om alvin, tapi mau bagaimana lagi, nggak mungkin aku pergi bersenang senang sementara masalah dirumah belum selesai. Bisa bisa tante laras makin tak menyukaiku. Aku menutup telpon lalu kembali menemui odie yang menunggu depan televisi.
"siapa yo?" tanya odie ingin tau.
"temanku koko.. Dia mau ngajak keluar.." jawabku sambil mengambil remote dan membesarkan volume televisi.
"terus kamu nolak?" odie ingin tau.
"iya die, nggak mungkin aku pergi, lagipula kak faisal kan belum pulang."
"kita tunggu aja kabar dari mamamu, mereka kan lagi berusaha untuk mencari kak faisal." ujar odie tersenyum.
"die kamu pasti belum makan ya?" tanyaku.
"belum sih, tadi belum sempat sarapan karena buru buru mau kesini.. Ditambah lagi tadi orangtua kita nyaris berantem, jadi hilang selera.."
"kalo gitu aku temani kamu makan, kedapur yok.." ajakku sedikit menyesal kenapa bisa nggak kepikiran mengajak odie makan dari tadi, kasian dia pasti sudah kelaparan sekali habis menempuh perjalanan jauh dari baturaja ke palembang, dan hingga sekarang belum makan apapun.
"yo maaf ya, sebetulnya aku sudah punya rencana kalo sekali lagi aku kemari aku mau bawain kamu helikopter remote yang bisa terbang, aku mau kasih sama kamu, tapi aku lupa bawa karena tadi terburu buru..." ujar odie masih tetap duduk.
"ya ampun odie, nggak usah terlalu dipikirin, nggak apa apa kok, lagian kamu kesini aja udah bikin aku senang, nggak perlu bawa apa apa.. Aku jadi malu, justeru aku belum ngasih apa apa sama kamu, sekarang kita makan dulu ya sobat..." aku merangkul bahu odie, betapa baiknya odie, dia sangat tulus.. Menyesal dulu aku sudah bersikap tak ramah terhadapnya hanya karena aku kurang menyukai ibunya. Untung saja odie tak mengambil hati. Kebaikan odie mengingatkan aku akan erwan. Dulunya erwan selalu baik terhadapku. Ternyata walaupun aku telah berpisah jauh dari erwan. Aku masih diberikan tuhan teman yang sebaik erwan. Sayang nya odie tinggal jauh dari sini. Jadi aku hanya jarang jarang sekali bisa bertemu dengannya. Aku harus bisa menyenangkan hati odie dan membuatnya merasa betah, mumpung dia masih disini, aku akan berusaha menahannya untuk tinggal disini lebih lama selama liburan. Semoga kak faisal bisa segera ditemukan. Jadi besok besok aku bisa mengajak odie berjalan jalan.
Sampai di dapur aku memeriksa lauk diatas meja, aku tak tau ada nggak nya, soalnya tadi aku sudah makan dirumah koko, bik tin belum pulang, dan mama juga jarang masak. Semoga saja ada yang bisa dimakan. Kasihan odie kalau sampai nggak ada apa apa. Ternyata kekuatiranku beralasan. Tak ada apa apa diatas meja, mama tak masak, aku jadi bingung. Sedangkan untuk beli keluar aku tak bisa naik motor. Tak ada siapa siapa dirumah.
"die maaf ya, nggak ada makanan.. Hehehe.. Gimana ya..?" aku tersipu sedikit malu karena tadi dengan semangat mengajak odie makan, sedangkan makanan tak ada.
"santai aja sobat, sekarang kita periksa kulkas dulu, barangkali ada bahan makanan yang bisa diolah, kebetulan aku bisa masak sedikit sedikit..." jawab odie santai, ia tertawa melihat reaksiku.
"ya udah aku cek kulkas dulu ya.." jawabku sambil membuka kulkas khusus persediaan makanan. Untung saja ada mama sudah belanja kemarin dulu, jadi persediaan makanan banyak. Ada bermacam sayuran, daging dan ikan kaleng, daging segar, ayam, ikan dan macam macam.
"wah.. Mama kamu udah mempersiapkan bahan yang banyak.. Sekarang tinggal kita masak aja.." odie tertawa kesenangan. Ia langsung memilih bahan bahan untuk dimasak.
"yo kamu lagi pengen makan apa?" tanya odie sedikit kebingungan dengan banyaknya pilihan di depannya.
"terserah kamu die, apapun yang kamu masak aku ikut makan aja.." jawabku.
"gimana kalo aku masak ikan kaleng dengan wortel, sama tumis bayam.." tanya odie.
"emangnya kamu bisa die?" aku agak heran.
"wah jangan ngeremehin aku... Gini gini aku pernah juara memasak di sekolah waktu praktek memasak.. Tunggu bentar ya.. Kamu tolong aku siapin bumbunya.." odie mengeluarkan sekaleng ikan saus tomat dan beberapa buah wortel. Serta seikat bayam yang masih segar. Aku mengambil pisau untuk membuka ikan kaleng. Odie memotong bayam dan bumbu. Aku membantunya mengiris tomat. Menyenangkan sekali memasak, berbulan bukan disini baru kali ini aku mencoba memasak.
*****************

PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang