PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO) 19

1.5K 35 2
                                    

#24 KETAHUAN
koko memutar setir berbelok menuju ke jalan tadi, ramai sekali mobil yang lewat hingga kami harus menunggu sedikit sepi baru bisa berbalik. Setelah sedikit sepi tanpa membuang waktu lagi koko membelokkan mobil. Lalu berhenti tepat di depan kafe, seorang tukang parkir memberi komando agar kami memarkir mobil di tempat yang ia arahkan. Rupanya malam ini agak ramai yang berkunjung.
"ayo masuk langsung.."
koko mematikan mesin mobil lalu turun, aku dan rian ikut turun dan berjalan bersama koko memasuki kafe, suara musik langsung terdengar begitu kami menginjak lantai depan, suasananya sedikit temaram karena diberi penerangan yang seadanya namun tak menimbulkan kesan suram. Meja dan kursi ditata teratur berjarak lumayan renggang untuk privasi pengunjungnya. Ditiap tiap meja dihiasi bunga segar dan lilin yang mengeluarkan aroma terapi. Kami memilih meja yang ada disamping agak dekat dengan jendela jendela kaca, hingga pemandangan di jalanan bisa kami lihat sambil menikmati makan malam. Seorang pelayan memakai kemeja putih menghampiri kami memberikan buku menu dan kertas. Aku mempelajari menu yang tertulis. Koko mencatat makanan yang ia ingin pesan.
"ko tolong sekalian tulis satu porsi spaghetti bolognese sama juice alpukat, juga soft drink.. Kentang goreng sama cumi tepung juga.." aku menyebutkan makanan dan minuman yang aku pesan.
"aku risotto dan sunrise manhattan punch.." rian menyebutkan makanan yang ia mau.
"kalian mau coba steak disini nggak, enak loh.. Aku biasanya pesan steak kalau makan disini.." koko mengusulkan. Rian agak ragu dan memandangku. Aku mengangguk padanya.
"boleh.." jawab rian.
"tenderloin atau sirloin?" tanya koko sebelum menulis.
"terserah kamu aja, aku nggak ngerti.." ujar rian agak malu.
"yang sirloin aja yan.." aku mengusulkan.
"iya.. Tentu saja.. Yang sirloin lebih enak.." rian setuju mengangguk angguk dengan semangat.
"kamu pasti terganggu dengan kedatangan fairuz.." kata koko dengan simpati.
"sebetulnya aku senang sih, cuma kenapa ia harus bersikap memusuhiku seperti itu, padahal aku ingin bisa dekat, bagaimanapun juga kehadirannya disaat kepergian kak faisal seolah mengobati kesedihanku ko.." aku berterus terang.
"mungkin pendekatanmu yang belum tepat.." sela rian. Aku menghela nafas, lalu memperbaiki posisi duduk lebih santai.
"dia tak pernah memberi kesempatan aku untuk mengenalnya.."
"lalu kalau begitu terus apa kamu bisa tahan?"
"entahlah... Aku akan berusaha sabar, semoga kak fairuz bisa merubah sikapnya.."
"apakah dia bakalan lama?" rian penasaran.
"semoga nggak.." aku berharap.
Percakapan kami terhenti karena seorang pelayan datang mengantar minuman.
"terimakasih.." aku tersenyum pada pelayan seorang gadis usia kisaran 22 tahun. Ia membalas tersenyum lalu meninggalkan kami.
"aku harap dia tak membuat masalah lagi.." ujar rian gusar.
"semoga saja... Aku capek yan, aku tak suka berantem, apalagi saat ini suasananya tak tepat untuk itu, semoga kak fairuz bisa lebih peka, aku kasihan sama mama." ujarku kalut.
"sudahlah jangan terlalu dipikirkan, nanti kamu jadi stress.." koko menasehati.
"iya ko, aku juga berusaha agar tak terlalu memikirkan itu, banyak hal lebih penting harus dilakukan."
"nanti malam aku menginap ditempat kamu, biar fairuz tak macam macam.." rian memegang tanganku. Cepat cepat aku tarik sebelum terlihat oleh koko. Rian mendelik tak suka, namun aku langsung melemparkan tatapan meminta maaf dan meminta pengertian. Rian melengos ke samping, koko mengangkat alis menatapku.
"ada apa yo?"
"nggak ada apa apa ko..." aku pura pura tak apa apa. Pelayan kembali datang kali ini dua orang, membawa makanan lalu menyusun ke atas meja.
"aku yang spaghetti.." ujarku saat pelayan itu mau meletakkan piring datar berisi spaghetti didepan meja rian.
"maaf..." pelayan itu meletakkan spaghetti didepan mejaku. Setelah pelayan itu pergi, kami langsung menyikat makanan tanpa menunggu lama.
"wah enak juga ya, dagingnya empuk.." sela rian sambil mengunyah daging steak medium pesanannya tadi.
"udah aku bilang, pasti kamu suka.." koko tersenyum senang.
"gimana nih, boleh kan aku menginap ditempat kamu..?" rian mengulangi lagi pertanyaanya yang belum sempat aku jawab.
"tentu saja boleh yan..." aku mencoba bersikap biasa didepan koko, sebetulnya aku senang sekali mendengarnya.
"oke kalau gitu..." rian melanjutkan lagi makannya dengan lahap. Kasihan sekali aku melihatnya makan, sepertinya ia jarang makan seperti ini, wajarlah seorang anak kost pasti tak bisa terlalu sering makan di restoran. Aku menggulung spaghetti di garpu lalu memakannya, lumayan enak, bumbunya yang kental dan pedas terasa tajam bercampur rasa asam mayonaise.
"aku kasihan memikirkan amalia..." cetus koko tiba tiba. Aku nyaris tersedak buru buru meraih gelas berisi air putih dan meneguknya.
"kenapa emangnya ko?"
"pasti ia sedih, soalnya kan pernikahan mereka tinggal sehari, aku bisa membayangkan bagaimana perasaannya.."
"entahlah ko.. Mungkin itu sudah takdirnya, itu belum seberapa dari yang kami rasakan, kehilangan keluarga... Yang bertahun tahun tinggal satu rumah dan telah dekat, rasanya tak bisa aku lukiskan..."
kesedihan kembali mengisi rongga hatiku, bayangan wajah kak faisal yang sedang tersenyum melintas di pikiranku. Aku jadi kehilangan selera makan. Rian mengamatiku tajam. Diamati seperti itu aku jadi kikuk, aku langsung pura pura sibuk mengaduk spagheti dengan garpu seolah olah menikmati.
"kenapa yo?" rian melepaskan garpu dan pisau yang ia pegang. Aku diam memandangi kerlip lilin dalam gelas berwarna biru tua ditengah meja. Seolah ada bayangan wajah kak faisal disana.
"lebih baik jangan bicarakan terus mengenai faisal, kamu harus mengerti rio, ko!" rian mengingatkan koko. merasa apa yang dikatakan oleh rian ada benarnya, koko mengangguk.
"maaf yo, aku tak bermaksud terus mengingatkan kamu pada faisal, seharusnya kita disini untuk membuatmu melupakan kesedihan, ini aku malah membuat kamu jadi tambah sedih.." sesal koko tak enak hati.
"tak apa apa ko, mungkin karena masih baru aja aku sulit melupakan kak faisal.." aku tersenyum agar koko tak merasa bersalah.
"kalau udah nggak selera jangan dipaksa.." timpal rian. Aku mengangguk. Sesaat hanya keheningan yang menemani kami bertiga hingga tuntas rian dan koko menghabiskan makanan mereka. Sampai perjalanan pulang kami bertiga diam. Koko mengantar aku dan rian hingga ke pekarangan rumahku.
"sampai besok yo.." ujar koko dari dalam mobil sambil membuka kaca.
"iya ko.. Makasih ya, hati hati di jalan.." koko meninggalkan kami, aku mengajak rian masuk ke dalam rumah lewat pintu garasi.
"loh bukannya kamar kamu ada diruang tengah?" tanya rian heran waktu aku membuka pintu kamar kak faisal.
"kan udah aku bilang kalau kak fairuz mengajak aku tukar kamar.." rian menepuk keningnya.
"oh iya ya.. Hehehe sori.." ia tersenyum malu.
"ya udah.. Masuk dulu.." aku melebarkan pintu, rian masuk lalu aku menutup pintu kamar dan tak lupa menguncinya.
"cuci muka dulu sana..." aku menyuruh rian.
"oke bos..!" ujar rian sambil menirukan gaya orang memberikan hormat pada bendera. Aku cuma tertawa melihat tingkahnya. Rian masuk ke dalam kamar mandi sementara aku membuka lemari mencari baju dan celana untuk rian pakai tidur.
"sikat gigi baru ada dalam laci belakang cermin.." teriakku pada rian yang masih berada dalam kamar mandi.
"iya... Nggak usah.. Aku pake sikat gigimu saja.." rian balas berteriak dari kamar mandi.
"hei.. Jorok amat, nggak boleh sikat gigi dipake satu kampung, ntar banyak bakteri.." aku tertawa.
"biarin aja.. Lagian kita sering ciuman bibir, apa itu nggak mengandung bakteri?" suara rian terdengar kurang jelas karena ia bicara sambil menyikat gigi.
"pelan pelan ngomongnya dodol! Emangnya kamu mau serumah tau kita pacaran?" sungutku sebal.
"hahaha.. Sori... sori.. Lupa.." kepala rian nongol dari pintu kamar mandi, mulutnya berlepotan busa pasta gigi.
"idih jorok amat.. Nggak manners banget!" protesku pura pura jijik. Rian tertawa terbahak bahak lalu batuk batuk tersedak busa.
"rasain!" aku merapikan tempat tidur dan menyusun bantal, baru saja aku berbalik, rian memelukku. Aku tersenyum lebar melihat rian
"sudah lama aku nggak meluk kamu kayak gini sayang.." bisik rian pelan di telingaku. Nafasnya terasa hangat membelai daun telingaku
"iya yan, maaf akhir akhir ini aku memang sedikit sibuk dengan masalahku." aku membuang pandangan ke samping, saat itulah mataku menangkap bayangan tak asing berdiri diluar jendela sedang mengintip melalui celah tirai yang sedikit terbuka. Nafasku langsung berhenti saat itu juga. Meskipun gelap diluar aku bisa menebak siapa yang sedang mengintai kami dari luar. Dengan cepat aku dorong rian.
"kenapa sayang?" tanya rian heran.
"gawat rian... Gawat.." walaupun tak melihat cermin, aku tahu kalau wajahku pucat pasi.. Aku merosot di lantai. Otakku buntu. Aku menoleh ke jendela, tak ada siapa siapa lagi disana. Hanya cahaya lampu taman yang menerangi kolam membias dari celah jendela. Aku tak mungkin salah lihat, tadi mataku dengan jelas bisa melihat dia berdiri tepat disitu sedang mengamati apa yang aku dan rian lakukan.
"kenapa.... katakan ada apa..?" rian berlutut di depanku sambil memegang bahuku. Aku menggeleng.
"tamat riwayatku... Kiamat rian.." desisku lemas.

"rio kenapa sih, kamu aneh banget, emangnya ada apa?" desak rian penasaran, aku tau dia juga menjadi panik terlihat dari roman wajahnya.
"ada yang melihat kita tadi, ada yang mengintip dari jendela, dia berdiri diluar, aku bisa melihatnya dengan jelas.." jantungku berdetak kencang.
"mungkin kamu salah lihat.." rian kurang yakin.
"nggak mungkin, aku lihat.. Kak fairuz, dia mengintip kita tadi, aku tak mungkin mengada ada... Gawat yan, gawat...!" aku tak bisa menghilangkan kepanikan yang aku rasakan.
Rian bengong, mungkin ia tak mengira itu yang membuat aku jadi bersikap aneh.
"lalu kita harus bagaimana yo, aku bingung... Kalau memang betul apa yang kamu lihat tadi, aku juga tak bisa melakukan apa apa..."
"itulah yan, aku tak mungkin salah, tadi aku benar benar melihat kak fairuz mengintip lewat jendela itu..!" aku menunjuk ke arah jendela dimana tadi kak fairuz aku lihat sedang berdiri di luar.
"ini sudah jam setengah satu yo... Ngapain juga si fairuz kesitu.." tanya rian masih kurang yakin.
"entahlah yan, aku juga tak tau, mungkin tadi kak fairuz mendengar aku pulang, lalu ia sengaja mengintip ingin tau apa yang aku lakukan, ia membenciku yan, pasti ia akan membeberkan semua ini ke papa dan mama, habislah aku yan.. " aku beringsut duduk di lantai dan menyender ditepi tempat tidur tepat disamping kaki rian yang menjulur.
"jangan terlalu kamu fikirkan yo, sudah terlanjur... Andaikan memang kak fairuz telah melihat perbuatan kita tadi, aku berjanji akan melindungi kamu kalau terjadi apa apa..."
ujar rian dengan mantap. Sedikit banyak aku menjadi agak terhibur mendengarnya. Aku tau rian tak main main, ia tak pernah berdusta padaku, ia selalu menepati janji, kejujuran adalah satu hal yang dapat aku andalkan dari rian. Ia mengelus rambutku, kemudian berdiri lalu berjongkok di depanku.
"lebih baik kita tidur dulu, kita lihat apa yang terjadi besok, andaikan memang timbul masalah, kita tanggung berdua, kamu akui saja dengan jujur, walaupun konsekuensi yang harus kamu tanggung sangat berat, namun aku akan selalu mendampingimu.. Aku berjanji."
dengan tegas rian mengucapkannya. Aku menatap dikedalaman mata rian, ada kesungguhan yang terpancar dari kedua bola matanya yang bening, senyumnya yang merekah seolah tak terjadi apa apa membuat aku sedikit terhibur, aku percaya rian dapat aku andalkan.
"baiklah yan.. Sekarang kita tidur dulu, kita tunggu saja apa yang terjadi besok. Semoga saja tak seperti yang aku bayangkan.."
ucapku penuh harap sambil berdiri, rian juga ikut berdiri. Bersama kami berdua naik ke tempat tidur dan berbaring, aku menarik selimut dan memeluk rian, hangat tubuhnya dan hembusan nafasnya yang teratur sedikit demi sedikit membuat aku lebih rileks hingga aku tertidur dalam pelukan rian.
Mungkin karena pikiranku yang agak tak tenang, aku bermimpi buruk, mimpiku aneh sekali dan agak menakutkan. Kak fairuz memberitahu mama saat kami sedang duduk dikursi makan untuk sarapan, ia menceritakan semua detil yang terjadi tadi malam kepada mama, aku terdiam dengan tubuh gemetaran tak terkendali, mama melemparkan piringnya ke aku hingga mengenai dadaku, nasi goreng tumpah memenuhi bajuku, namun aku tak mengatakan apa apa. Mama memaki aku dengan kata kata kasar, ia betul betul kecewa dengan apa yang aku lakukan.
Tiba tiba rian keluar dari kamar, ia langsung mengambil pisau dan menikam kak fairuz tepat pada dadanya. Kak fairuz yang tak menyangka akan diserang seperti itu hanya bisa terbeliak saat menyadari sebuah pisau telah bersarang ditubuhnya. Mama menjerit histeris. Rian tertawa terbahak bahak sambil meludahi tubuh kak fairuz yang tersungkur di lantai. Darah bercecaran dilantai, mengalir deras dari luka tusukan pada perutnya, bagaikan ayam kena sembelih, kak fairuz menggelepar gelepar diatas lantai, matanya melotot. Tiba tiba papa datang, ia terpaku melihat semua kejadian ini. Bik tin yang mendengar suara ribut ribut langsung ke ruang makan, ia menjerit sejadi jadinya.
Aku menatap rian dengan ketakutan, rian sangat tenang, tak sedikitpun terlihat menyesali perbuatannya. Tiba tiba tanpa aku duga ia langsung menghampiriku, ia memelukku, tak cukup sampai disitu ia juga menciumi bibirku dengan ganas di depan mama, papa dan bik tin yang cuma bisa bengong. Kak fairuz dengan mata melotot menunjuk aku dan rian dengan tangannya yang berlumuran darah.
"Kalian terkutuk.. Kalian berdua laknat.."
mama, papa dan bik tin ikut meneriakan kata kata itu kepadaku dan rian. Mama meraih apa saja yang ada diatas meja untuk melempariku. Papa meraih kursi dan melemparkan kepadaku dan rian. Aku berlari sekencang mungkin, aku dan rian berlari sambil mengelak dari lemparan lemparan piring, gelas dan kursi. Mereka mengejar kami berdua sambil berteriak dan memaki.
"pembawa aib.. Matilah kamu.. Pergi ke neraka.." tiba tiba sebuah wadah kaca tempat buah mengenai punggungku. Aku berteriak.
"Aaaaaah.. Tidaaaaak.. ampun...!"
"rio.. Rio.. Ada apa rio.." tubuhku digoncang goncang.
"rio.. Bangun.. Kamu mimpi apa?" suara rian menyadarkan aku, aku tersentak terbangun, keringat membasahi tubuhku. Aku langsung memeluk rian. Ia membelai aku lembut.
"rio. . Kamu mengigau, kamu mimpi buruk ya?"
tanya rian dengan cemas. Aku tak menjawab, hanya memandang seisi kamar yang gelap. Ternyata tadi hanyalah mimpi. Tubuhku masih gemetaran. Kenapa aku bisa bermimpi seburuk itu, aku jadi semakin ketakutan, andaikan kak fairuz menceritakan semua kepada mama dan papa, aku bakalan habis, aku tak tau harus melakukan apa, aku tak mungkin membela diri, mama pasti akan kecewa sekali, walaupun aku yakin reaksi mama tak akan seekstrim dalam mimpiku tadi, namun aku tak mau membuat mama kecewa. Ia pasti akan terluka. Apalagi emak di bangka ikut mengetahui tentang hal ini.
"tenang rio, sekarang kamu tidur lagi, tunggu sebentar aku ambilkan minum untuk kamu.." rian bergeser lalu mengambil gelas berisi air putih diatas mahkas. Aku menyambut gelas ditangan rian, tanpa menunggu lagi aku meminum semua isinya hingga tandas.
"makasih yan.." ujarku setelah sedikit tenang, rian mengambil gelas kosong ditanganku, lalu ia taruh lagi diatas naphkas. Rian kembali berbaring disampingku.
"tidurlah dulu sayang, jangan berpikiran tidak tidak, nanti kamu bermimpi buruk lagi.." ujar rian sambil menarik selimut, aku menganggukan kepala lalu berbaring disamping rian. Sampai pagi aku tak dapat tidur, aku takut aku akan bermimpi buruk lagi.
Aku terus berbaring hingga matahari mulai terbit lagi, langit sudah terlihat terang. Cahaya matahari masuk melalui celah celah lubang angin dan jendela. Aku turun dari tempat tidur, tubuhku rasanya lemas sekali. Aku takut keluar kamar, aku takut bertemu kak fairuz, aku malu dan ketakutan, perasaan dalam hatiku berkecamuk. Aku hanya berdiri di jendela hingga pintu kamarku diketuk mama.
"Rio, bangun sayang.. Sudah siang, sarapan dulu nak.." suara mama terdengar seiring bunyi ketukan pintu.
"iya ma, tunggu sebentar, rio udah bangun kok.." jawabku bergetar. Aku melihat ke tempat tidur, ternyata rian sudah bangun, ia menatapku dengan alis terangkat. Aku menggeleng padanya. Rian menyibakkan selimutnya kau turun dari tempat tidur.
"kenapa yo?" tanya rian sambil menghampiriku.
"nggak yan, cuma mama yang bangunin aku nyuruh sarapan.." jelasku. Rian mengangguk, lalu ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku menyusul rian masuk, lalu menggosok gigi. Setelah itu aku mengajak rian keluar dari kamar. Kami pergi ke ruang makan untuk sarapan. Aku berpapasan dengan kak fairuz diruang tengah, ia memakai celana pendek dan bertelanjang dada, matanya agak meremehkan saat menatapku.
"pagi kak.." aku menyapa kak fairuz dengan suara bergetar.
"pagi..." cuma itu jawaban kak fairuz, ia langsung masuk kembali ke kamarnya dengan segelas kopi di tangannya tak sedikitpun ia melirik pada rian, seolah olah rian tak ada di sampingku.
Aku jadi bingung, sikap kak fairuz masih seperti biasanya, dingin dan kurang tertarik untuk ngobrol denganku. Apakah itu salah satu taktiknya untuk membuat aku tenang sebelum akhirnya ia menembakkan pelurunya padaku. Sampai diruang makan cuma ada mama yang sedang duduk sendirian menungguku.
"eh ada nak rian... Ayo sarapan bareng.." tawar mama dengan ramah begitu melihat aku bersama rian.
"makasih tante.." rian tersenyum sopan pada mama lalu ia menarik kursi dan duduk disampingku.
"tante nggak tau kalau nak rian menginap disini, kirain tadi rio cuma sendirian.."
"iya tante, semalam kami jalan, trus rio minta ditemani, jadi aku menginap disini.." jelas rian.
Mama tersenyum dan mengangguk. Lalu mama mengulurkan sebuah piring pada rian, yang langsung diambil rian.
"terimakasih tante.."
"sama sama.." aku mengambil piring satu.
"yang banyak makannya yan.." ujarku sambil mengambil sendok.
"iya.." rian mengangguk.
"tante nggak tau apa rasanya, soalnya tante masak sendiri nasi gorengnya tadi.." ujar mama sambil melirik ke piring rian.
"nggak apa apa tante, tapi dari aromanya sih kayaknya enak.." jawab rian apa adanya tanpa ada maksud sedikitpun menjilat mama. Rian orangnya terbuka, kalau ia merasa itu enak, ia akan bilang enak, kalau ternyata itu nggak enak, ia akan terus terang mengatakannya tak perduli orang mau tersinggung atau tidak.
"papa kapan pulang ma?" aku bertanya sambil mengisi piringku dengan nasi goreng.
"sepertinya sore ini, soalnya semalam waktu mama telpon, kata papa ia kangen sama rumah.." jelas mama sambil memotong cumi dengan sendok.
"kasihan papa ya ma, pasti beliau terpukul."
"aku turut bersimpati tante.." timpal rian.
"iya nak, makasih.." mama tersenyum pada rian.
"papa udah tau kalau ada kak fairuz?" tanyaku penasaran.
"sudah, semalam mama sudah bilang, makanya papa kamu mau pulang secepatnya."
"semoga papa bisa mengendalikan kak fairuz ya ma, semoga saja kak fairuz segan sama papa.." aku berharap.
"semoga..." mama berkata pelan sambil menggeleng seolah tak yakin.
"boleh aku bergabung...?" serempak kami menoleh ke arah datangnya suara, ternyata kak fairuz.
"iya boleh.. Ayo sarapan sama sama.." mama langsung berdiri, aku memandang kak fairuz dengan heran. Tumben tak biasanya kak fairuz mau makan bersama. Jantungku langsung berdegup hingga mau copot rasanya.
"ini piringnya nak.." mama memberikan piring kosong pada kak fairuz.
"maaf kamu bukan ibuku, jadi tolong jangan panggil aku nak, aku punya ibu dan dia menderita karena anda...!" kak fairuz kurang ajar. Mama terdiam kaget namun mama tak menjawab karena percuma saja kalau mama membalas hanya akan menimbulkan pertengkaran lagi.
Kak fairuz mengambil piring dari tangan mama lalu mengisinya dengan nasi goreng, ya ampun banyak sekali kak fairuz makan, nasinya menggunung didalam piring, mungkin kucing juga nggak bisa lompat diatas nasinya itu. Aku meneruskan makan tanpa memperdulikan kak fairuz, sementara rian menunduk takut takut.
"darimana saja semalam?" aku menoleh, kak fairuz bertanya, pastilah ia bertanya padaku. Jadi ragu aku harus menjawab apa.
"dari jalan jalan kak.."
"oh ya..?" kak fairuz agak skeptis.
"jam berapa kamu pulang?" sepertinya kak fairuz memancing, aku jadi semakin yakin kalau semalam kak fairuz telah mengintip apa yang aku lakukan dengan rian dalam kamar. Tanganku mendadak gemetaran hingga sendok yang aku pegang bergoyang keras. Itu tak luput dari pandangan kak fairuz, seringainya melebar.
"jam duabelas kak.." suaraku jadi tercekat.
"hmmmm... Sepertinya asyik ya, kapan kapan ajak aku dong..." aku mencengkeram sendok kuat kuat hingga membekas ditelapak tanganku. Apakah kak fairuz menyindir atau memang ia ingin aku ajak aku juga tak tau.
"iya rio, kalau jalan ajaklah kakakmu, kasihan kalau dia ditinggal dirumah terus..." timpal mama penuh perhatian meskipun fairuz tak ramah terhadapnya.
"iya ma.." aku mengangguk lemah. Rian melirik aku, wajahnya sedikit pucat.
"semalam aku susah tidur, jadi aku keluar, duduk di taman, aku lihat lampu kamarmu masih nyala.." suara kak fairuz terdengar wajar, namun sanggup membuat lututku menjadi lemas.
"oh.. Iya kak.." jantungku bagai diaduk aduk dalam shaker. Rian terbatuk batuk hingga tersedak oleh nasi yang ia kunyah. Kak fairuz mencibir seperti menahan senyum.
"ada apa sih?" tanya mama heran, namun mama tersenyum seperti senang karena kak fairuz sedikit berubah, ia sudah mau berkomunikasi denganku.
"nggak apa apa tante.." jawab kak fairuz dengan ekspresi datar. Aku menyelesaikan sarapan dengan cepat, begitu juga dengan rian.
Kak fairuz makan dengan santai namun nasinya sudah tinggal seperempat dari awal. Aku menunggu sampai mama dan kak fairuz selesai lalu beranjak dari kursi dan ke kamar.
"nanti siang kalau kamu sempat kakak minta temani jalan.." aku menghentikan langkah dan berbalik, aku pandangi kak fairuz dengan teliti. Namun aku tak dapat membaca apapun dari wajahnya yang tenang.
"iya kak.." bisa juga suaraku keluar. Didalam kamar aku langsung mondar mandir dengan panik hingga rian menjadi ikut gelisah.
"kenapa sih yo, apa nggak capek dari tadi muter muter nggak jelas gitu..?" rian menarik lenganku hingga aku terduduk disampingnya.
"benar kan apa yang aku bilang, kak fairuz memergoki kita semalam, aku tak tahu ia sedang merencanakan apa, tapi yang pasti tak akan baik untuk kita yan.."
"tak diragukan lagi memang dia telah melihat kita, tapi dia kok tenang tenang saja, aku jadi kuatir yo.."
"makanya aku kuatir yan, aku takut kak fairuz menyiapkan bom dan menunggu saat yang tepat untuk menekan pemicunya." bisikku kalut. Rian memelukku dan menciumku lembut.
"kita hadapi apapun itu yo.. Kita tanggung bersama, aku sudah berjanji tak akan membiarkan kamu sendirian menanggungnya.." rian menghiburku. Aku menatap wajah rian, ia tersenyum sambil mengangguk.
"makasih yan.. I love you.." desisku lirih. Rian menempelkan telunjuknya di bibirku.
"i love you too..." balasnya sambil mengusap pipiku dengan punggung jari telunjuknya.
"sekarang aku harus kembali ke kost, soalnya aku merendam baju dari kemarin, kalo tak dicuci sekarang warnanya bisa pudar.." rian berdiri dan mengambil jaketnya di gantungan belakang pintu.
"iya yan, tunggu sebentar aku mau buang air dulu.." aku masuk ke dalam kamar mandi. Setelah buang air aku mengantarkan rian pulang. Aku tak masuk, hanya mengantarkan ia ke depan halaman saja, setelah itu aku langsung pamit. Aku memasukkan mobil ke garasi. Baru saja aku membuka pintu mobil, ibu amalia dan bapaknya datang dengan mengendarai motor, mereka berhenti tepat di depan teras. Ibu amalia berjalan cepat menuju teras bagaikan orang panik.
"bu harlan... Bu harlan... Bu.." bagai orang gila ia menggedor pintu rumahku. Bergegas aku menghampirinya.
"ada apa bu?" tanyaku kuatir.
"rio.. Gawat.. Gawat yo.."
"gawat apa bu, ada apa?" tanyaku cepat.
"amalia... Amalia yo.. Dia.. Dia.." ibu amalia terbata bata.
"amalia ditemukan pingsan diatas kubur faisal yo.." bapaknya amalia yang menjawab.
"apaaaaaa....???" aku terbelalak.
"ada apa ini?" mama muncul dari dalam rumah dan menghampiri kami.
"oh bu rusmi, ada apa bu?" wajah mama berubah kalut, setiap melihat kedatangan ibu amalia, pasti wajah mama seperti itu. Sepertinya mama betul betul tak menginginkan kedatangan mereka.
"anak saya bu.. Dia.. Dia seperti orang gila.."
"dimana dia sekarang?"
"ada dirumah, sedang istirahat... Tetangga yang jagain dia.." jawab bapak amalia.
"memangnya kenapa?" tanya mama heran.
"tadi dia ditemukan di kuburan faisal, ia terbaring pingsan diatasnya.."
"astaghfirullah kenapa bisa begitu?" suara mama melengking membuat aku terkejut.
"jangan sok heran deh bu.. Saya rasa ibu tak usah pura pura kaget, itu semua gara gara almarhum anak ibu itu..!" ujar ibu amalia sinis. Mama terdiam, raut muka mama langsung berubah cemberut karena tersinggung.
"kenapa ini... Kok ribut ribut..!" kak fairuz keluar, mungkin ia terganggu mendengar ribut ribut di beranda rumah. Lagi lagi ibu amalia terperangah melihat kak fairuz.
"kenapa ibu memandangi saya seperti itu?" selidik kak fairuz merasa kurang nyaman ditatap seperti itu.
"kamu agak mirip faisal, apa kamu kakak kandungnya..?" tanya ibu amalia heran.
"memangnya kenapa, apa urusannya dengan ibu?" kak fairuz tak sopan.
"adik kamu itu sudah merusak masa depan anak saya!" tikam ibu amalia langsung. Kak fairuz terperangah.
"apa maksud ibu, jangan menjelek jelekan adik saya, dia sudah tenang di alam sana.." hardik kak fairuz tersinggung.
"dia menghamili anak gadis saya, apa itu tak brengsek hah? " tuntut ibu amalia tanpa takut.
"anak ibu hamil karena adik saya?" kak fairuz terperanjat.
"iya.. Kamu tak tau, memangnya kemana saja kamu selama ini?" ibu amalia berkacak pinggang lehernya bergoyang goyang seolah ada per dipangkal kepalanya, terlihat judes sekali. Kak fairuz menoleh ke mama.
"betul itu tante?" tanya kak fairuz menegaskan.
"iya fai... Almarhum adik kamu telah menghamili amalia.." jawab mama terlihat berat.
"apa buktinya?" kak fairuz belum bisa percaya.
"mau tau buktinya? Tuh lihat sendiri anak saya dirumah, perutnya sudah mulai timbul, mau bukti lain lagi?" tantang ibu amalia tak sabar.
"tak bisa main tuduh langsung gitu dong bu, faisal sudah meninggal, bisa saja kalian mau memeras kami, bukti itu anak faisal apa?" kak fairuz masih tetap bandel.
"faisal sudah mengakui semuanya nak.." ujar mama. Kak fairuz memandang mama tak percaya.
"jadi betul?" desisnya bagai orang tolol.
"iya kak, sehari sebelum mereka menikah, kak faisal meninggal." aku menimpali.
"faisal masih sangat kecil waktu aku dan mama pergi...." kak fairuz mendesah getir. Wajah kak fairuz berubah murung, sepertinya kak fairuz tak menduga begini.
"coba kalian pergi ke pemakaman, lihat saja kuburan faisal, kalian akan tau bagaimana tekanan batin yang di derita anak saya..." suara ibu amalia terdenger sengau. Mama melirik aku, tak tau apa yang harus aku katakan aku cuma tertunduk sambil berfikir.
"kalau memang begitu, ibu pulang dulu, biarkan kami berfikir, saat ini kami sedang berkabung, saya berjanji tak akan membiarkan hal ini berlarut larut.." ujar kak faisal membuat aku dan mama terkesiap nyaris tak percaya.
"apa kamu serius?" ibu amalia kurang yakin. Namun kak fairuz tersenyum simpul dan mengangguk, itu cukup untuk membuat ibu amalia membungkam mulutnya.
"baiklah kalau begitu kami pamit dulu, kami tunggu tindak lanjut kalian, ingat jangan cuma janji janji saja..!" ibu amalia menekan kalimatnya. Kak fairuz tak menjawab, ia hanya mengangguk dengan bosan.
"begitu saja ribet..!" tukas kak fairuz setelah orangtua amalia pergi.
"mama betul betul pusing memikirkan masalah ini, rasanya tak henti hentinya..." mama mengeluh lesu.
"salah tante sendiri tak bisa mendidik faisal dengan baik, kalau bersama saya dan mama, tak akan begini jadinya..!" tuduh kak fairuz tanpa perasaan. Mama terdiam tak berkutik.
"sudahlah kak, mama tak bersalah, memang mereka berdua sudah lama berpacaran, mungkin kak faisal khilaf, wajar saja itu terjadi.." aku mencoba menengahi agar jangan sampai kak fairuz memperpanjang lagi pembicaraan yang membuat mama merasa bersalah ini.
"temani aku ke kuburnya faisal..."
ujar kak fairuz bukan seperti ajakan melainkan sebuah perintah, aku tak bisa menolak karena memang pada dasarnya aku ingin tau apa yang terjadi dengan kuburan kak faisal seperti yang tadi orangtua amalia katakan, tanpa menunggu lama aku mengikuti kak fairuz ke garasi. Kak fairuz melemparkan kunci mobil padaku. Aku tangkap dengan sigap.
Beberapa menit kemudian kami berdua sudah berada dijalan raya menuju ke tempat pemakaman bukit sekuning. Sampai di tempat pemakaman, aku memarkir mobil di pinggir jalan, lalu turun bersama kak fairuz berjalan melewati kubur kubur yang tersusun rapi berbaris, aku menuju ke kuburan almarhum kak faisal, aku teringat kenangan beberapa hari yang lalu saat tubuh kaku mendiang kak faisal dikuburkan. Kembali kesedihan aku rasakan disaat keheningan tanah pekuburan yang lapang ini menerpa. Aku menghampiri kuburan yang masih baru belum disemen, tanah kuning yang masih empuk dengan kelopak bunga layu yang mulai menghitam.
Sepasang nisan kaku bertuliskan nama kak faisal sedikit berpasir terpercik air hujan. Ada untaian bunga yang di jalin seolah menjadi tali yang melingkar di sisi nisan menghubungkan dengan nisan dibagian bawah, indah sekali hingga membuat kontras dengan kuburan lain yang ada disekitar sini. Aku tertegun melihat di sekeliling kuburan dipenuhi bunga bunga plastik berwarna warni, tak terasa air mataku menetes tanpa dapat ku bendung. Betapa besar rasa cinta amalia pada kak faisal hingga membuatnya melakukan ini, aku bisa mengerti betapa menderitanya amalia kehilangan orang yang sangat ia cintai. Kak fairuz berjongkok didepan nisan sambil mencabuti satu persatu bunga bunga itu.

PELANGI DI LANGIT BANGKA (KISAH RIO)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang