"Au-aduh, eh pelan.."
"Bawel." Lotot Pina membuat Adit terdiam sejenak lalu menoyor pelan dahi Pina menggunakan jari telunjuknya. "Tampol nih." Sungut Pina hendak melempar botol betadine berukuran tanggung ke muka Adit.
"Kalau tega."
Pina mendengus, "sayangnya enggak." kemudian melanjutkan aksi menempeli sudut bibir Adit menggunakan kapas yang sudah dilumuri betadine.
"Kamu gak mau nanya apa gitu?" Tawar Adit setelah beberapa detik terdiam. Dia heran dengan Pina yang sama sekali tidak memberinya pertanyaan atas apa yang diperbuatnya kepada Beni. Atau setidaknya basa-basi tentang perkelahian tadi.
Pina menggeleng ragu. Sebenarnya cewek itu sangat penasaran dengan alasan Adit bersikap demikian. Hanya saja Pina lebih berfikir positif sekarang. Saat sorot mata mengerikan Beni membayanginya lagi. Pina seakan kelelahan, sorot mata itu mirip sekali dengan obsesi milik Arvan. Tapi tentu saja ada perbedaan. Jika tadi itu Arvan, mungkin Adit sudah habis, atau paling buruk Pina dijadikan sandra. Jelas Beni tidak seperti itu. Iya, Beni tidak seperti itu!
"Emang lo mau cerita?" Pina membuang bekas kapasnya, lalu menggantinya dengan kain lap yang dibasahi air untuk mengusap seluruh bagian wajah Adit. Menyadari Adit hanya diam, Pina langsung sadar dengan gaya bicaranya. "Maksudnya, kamu."
Adit terkekeh kembali, "gak usah dipaksain kalau gak biasa manggil kamu." Cowok itu menoel sebentar hidung Pina. Kemudian kembali fokus lagi ke topik pembicaraan.
Tentu saja Pina sempat sekilas merinding, rasanya baru pertama ini Adit menyentuh hidungnya dengan lembut seperti tadi. Untung saja ruang UKS sedang kosong, kalau tidak, Pina merasa malu jika tertangkap basah sedang memasang wajah memerah. Apalagi didepan Adit, untungnya lagi Pina sedang mengusapi wajah cowok itu sehingga membuat Adit menutup matanya.
"Jadi kesimpulannya." Pina menoleh kebelakang saat mata Adit terbuka. Dia pura-pura merapikan kotak obat lalu menaruhnya dilaci. Setelah dirasa pipinya sudah tidak panas. Dia kembali ke Adit. Duduk diujung kasur sambil berusaha menguncir rambutnya yang tergerai.
"Terserah." Jawab Pina singkat, namun penasaran.
"Aku cerita." Adit nampak menarik nafasnya sebentar. Membenarkan pantat dan kakinya untuk duduk bersila diatas kasur. Lalu membopong kaki Pina untuk ikut naik keatas kasur.
Pina mengerjap kaget, "ngapain lo?" Pelotot Pina masih sibuk melihat aksi apa yang dilakukan Adit.
"Gak bakalan aku apa-apain, takut banget-- Aduh, ketendang kan.." Adit mengusap bahunya yang terkena kaki Pina.
"Ya elo lagian kenapa main naik-naikin kaki orang sembarangan."
"Biar kamu bisa duduk kayak aku." Katanya membenarkan kaki Pina yang kini ia lipat.
"Astaga. Bilang kek elah. Segala ribet lo. Awas." Pina menyingkirkan tangan Adit lalu membenarkan sendiri pantat dan kakinya. Bukannya menghadap ke Adit, Pina justru menghadap ke tirai sisi kanan yang tertutup.
"Tuh, kalau kamu sendiri pasti ngadepnya gak bener. Adep sini." Adit menarik tubuh Pina menghadap ke arahnya. "Dengerin." Sambungnya dengan menekan kedua pipi Pina.
Pipinya kembali memanas. Ini adalah pertama kali juga Adit memegang erat pipinya. Seakan dunia ingin runtuh, Pina menepis tangan Adit sebelum pipinya merona kembali.
"Paan." Sahutnya tanpa melihat ke manik mata Adit.
"Lihat aku."
"Hemm." Pina memaksakan agar matanya melihat kearah Adit. Meski itu membuatnya sedikit gerogi, tapi tetap ia lakukan. Ini demi menghargai lawan bicaranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FIRST SIGHT [COMPLETE]
Teen FictionCinta pada pandangan pertama? Omong kosong! Tapi, siapa yang percaya kalau akhirnya pertemuan pertama mereka menjadi sebuah takdir untuk terus bertemu. *beberapa part di private, just follow, and open part Warning!! Terdapat umpatan kasar didalam c...