#37 - Marah

4.3K 300 1
                                    

"SKAK!"

"Wah, gak mungkin." Rangga tepuk jidat, disamping itu Keno sudah ketawa ketiwi melihat ekspresi Rangga yang kini terkalahkan.

Sudah lama sekali Rangga tidak merasakan bermain dengan selawannya. Biasanya yang menemani ia bermain catur hanya Keno, itupun Keno kalah terus. Dan rasanya gak seru karena setiap bermain dengan Keno, waktunya singkat. Tapi bermain dengan lawan baru ini, Rangga sampai memutar otak dua kali agar tidak kalah start. Damn, Rangga terkalahkan dalam perputaran waktu satu jam.

"Hebat kamu." Puji Rangga sambil menepuk pundak orang yang mengalahkannya, Adit.

Iya Adit. Dia sudah duduk bermain catur dengan Rangga sejak 1 jam yang lalu. Tanpa menyapa atau melihat kearah Pina yang daritadi duduk di bangku sebelah Keno. Sepupu Pina itu juga datang karena dipanggil oleh Rangga, tadinya mau menyombongkan bahwa akan ada lagi korban kekalahan bermain catur, tapi kali ini tidak, ekpektasi Rangga salah dan itu sungguh sedikit memalukan.

"Kamu suka main catur di rumah?" Tanya Rangga sambil menyesap kopinya.

Adit menggeleng, "enggak om."

"Bohong kamu. Buktinya ini jago."

Keno mengangguk, "iya lo sering main kali sama bokap lo." Celetuk Keno membuat Pina sontak menyenggol lengan Keno. Sebelum akhirnya tersadar bahwa dia dilarang lagi ikut campur! Wajah Pina jadi berubah cemberut lagi saat ingat kejadian tadi pagi.

"Sudah lama saya gak main catur aama a-yah." Senyum Adit pilu.

"Oh, kenapa. Ayah kamu sibuk ya?" Tanya Rangga lagi.

Papa ih! Pina gemas dengan Rangga. Bukankah papanya itu harus lebih peka dengan ekspresi Adit. Pina kira papanya sungguh cuek karena tidak memperhatikan bagaimana Adit bereaksi. Jelas-jelas suara Adit tertahan menjawab kata Ayah.

"Papa dipanggil mama tuh." Ajak Pina pada Rangga reflek.

"Mana?" Rangga celingak-celinguk.

"Itu noh, nah yakan." Cengir Pina saat Melody, mamanya benar-benar keluar dari kamar sambil menggendong Stevan.

"Gue pamit." Pamit Adit pada Keno. Saat itu Pina sudah kembali lagi diposisi semula.

"Yang punya rumah siapa coba." Cibir Pina. Tentu saja Adit tidak mau terang-terangan pamit ke pemilik rumah, lagian dia kan sedang marah.

"Tunggu." Rupanya cibiran Pina didengar oleh Keno.

"Kalian berdua kenapa?" Tunjuk Keno pada keduanya. "Berantem?" Cetusnya.

Pina melengos, sedangkan Adit hanya melihat datar ke Pina lalu meneruskan pamitannya. Tidak memperdulikan spekulasi Keno ataupun reaksi Pina yang juga ikut-ikutan marah.

"Ngantuk! Mau tidur!" Pina pergi, menaiki tangga rumahnya untuk menuju kamarnya di lantai dua. Sama sekali tidak memperdulikan pertanyaan Keno.

Pina membuka tirai kamarnya, mengintip ke jendela untuk melihat kepergian Adit. Meski sedang marah, dia tidak bisa untuk tidak melihat Adit. Memastikan bahwa lelaki itu dalam keadaan baik-baik saja. Sejujurnya Pina merasa bersalah atas apa yang ia perbuat. Tentu saja karena keikut campurannya terhadap masalah pribadi Adit.

"EH!" Pina melotot saat matanya berpapasan dengan mata hitam milik Adit. Buru-buru Pina menutup tirainya, jantungnya berdegub tidak jelas. Ini sungguh aneh, karena baru saja Pina melihat Adit melihatnya dengan tatapan yang tidak bisa ia ungkapkan atau jangan-jangan ini cuma halusinasi Pina.

Adit baru saja senyum ke Pina. Ah, mustahil. Adit kan sedang marah. Pina kembali melirik lewat tirainya yang dibuka sedikit, terlihat disana Adit baru saja berhasil mengeluarkan motornya dari parkiran. Lalu sebelum Adit melajukan motornya, lagi-lagi cowok itu melihat keatas. Untungnya dengan cepat Pina menarik lagi tirainya hingga tertutup sempurna. Pina berdebar lagi.

FIRST SIGHT [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang