4 : Joined

640 59 8
                                    

Ketika sampai di depan rumahku, aku mengajak Elly masuk.

"Aduh!"

Aku menghentikan langkahku ketika mendengar suara ringisan itu. Aku menoleh, dan mendapati Elly sedang terjatuh dengan posisi mencium lantai rumahku.

Aku mengernyit padanya. "Kau kenapa?"

"Tidak apa-apa, rumahmu keren, sih, bercat merah darah seperti itu, aku jadi tidak sadar kalau di depanku adalah tangga. Uh, sakit sekali."

Aku terkekeh. "Well, itu darah asli."

Matanya melotot seketika. "Demi apa?"

Aku mengajaknya masuk ke ruangan tempat aku menyimpan organ-organ. Saat aku membuka pintu, bau darah langsung menyengat di indera penciumanku.

Elly melangkah masuk terlebih dahulu,  ia terkagum-kagum. Aku tahu itu.

"Kau ... ?"

"Ya, aku bukan gadis polos yang kau kira. Aku gadis bertopeng polos nan lugu berhati jahat dan kejam."

"Aku kira kau hanya seorang gadis nerd, kutu buku yang selalu ditindas."

"Sebaiknya kau jangan menilai orang dari luar, apa yang kau lihat tidak selalu apa yang kau bayangkan. Mereka bisa saja memakai topeng, sama sepertiku."

Ia memandangku takjub tanpa berkedip. "Wow."

Ia bertepuk tangan, "Aku tidak menyangka, seorang Jena bisa bijak seperti ini."

Aku tertawa. "Jadi?"

Ia menoleh. "Jadi apa?"

"Kau mau bergabung denganku tidak?" tawarku.

"Bergabung seperti apa?" tanyanya masih bingung.

"Bergabung menjadi sepertiku. Gadis di belakang topeng polos, tertarik?"

Ia terdiam sebentar, seperti sedang berpikir lalu mengangguk-angguk. "Sepertinya aku tertarik."

"Baiklah, jadi kami adalah girls behind the mask?" tanyaku.

"Iya!" Dia tersenyum lebar sambil mengatakannya.

Aku senang.

Senang bisa mendapat seseorang yang sepemikiran denganku.

Senang bisa mendapatkan seseorang yang ingin berteman denganku, seseorang yang tertarik menjadi diriku.

Seseorang yang sama busuknya seperti diriku.

Seseorang yang hidupnya penuh dengan celaan.

Seseorang yang hidupnya hampa.

Seseorang yang tidak munafik.

Dan,

Seseorang yang menjadi bagian dari hidupku.

•••

Aku menunjukkan berbagai alat dirumahku, seperti pisau, gergaji, jahitan, dan masih banyak lagi.

"Kau tapi tidak akan membunuhku 'kan?" Aku tertawa mendengar pertanyaan yang dilontarkan dari mulut Elly.

"Ya tidak lah, kau ini bodoh atau bagaimana, sih. Kau kan sudah menjadi temanku jadi untuk apa aku membunuhmu."

"Siapa tahu."

Aku kembali tertawa.

Ya, semoga saja kau benar-benar temanku. Semoga saja kau tidak membuatku ingin membunuhmu.

"Besok siapa korban kita?" tanya Elly.

"Tidak tahu. Jika ada yang mencari masalah, itulah korbannya. Dan ini akan lebih seru jika kita berdua yang membunuhnya."

"Astaga, aku sangat tidak sabar."

"Well, kau harus sabar," ucapku sambil mengedipkan salah satu mataku.

•••

Hari ini akan menjadi hari yang baru bagiku. Semuanya terasa baru.

Biasanya, aku membunuh seseorang sendiri. Namun kini, aku mempunyai teman, teman yang sama sepertiku.


Aku memasuki sekolah dengan senyum yang lebar tanpa melepaskan senyumanku.

Aku berjalan beriringan dengan Elly, si teman baruku. Yap, jadi kami berdua adalah gadis bertopeng.


Perkataan ejekan, hinaan, dan celaan mulai terdengar.

"Hey, si duo nerd sudah datang."

"Gadis culunnya bertambah satu."

"Merusak nama sekolah saja."

"Kumpulan anak eksis sepertinya akan nernodai dengan kehadiran mereka."

"Well, well, well jadi ceritanya nerd di sekolah ini bertambah satu, ya? Bagus, lah, aku sudah bosan menindasnya. Untungnya, datang anggota baru."

Ucapan yang terakhir berasal dari Freya. Kalian masih ingat Freya? Si perempuan dengan dandanan seperti tante-tante atau cabe-cabean yang sering kutemukan dipinggir jalan, ah, pelacur tepatnya.

Sudah lama aku tidak melihatnnya, mungkin ia kesedihan karena salah satu temannya menghilang? Atau ... hm, babunya berkurang satu?


Aku terdiam. Ellypun terdiam, sama sepertiku.

"Kenapa kalian diam saja, tidak punya mulut? Tidak bisa berbicara?" ucap Vadilla.

Kalian masih ingat Vadilla juga kan? Si perempuan yang sama jalangnya dengan Freya?

Aku masih terdiam, menunduk. Aku bisa melihat tangan Elly terkepal, rahangnya 'pun mengeras.

Aku tahu.

Dia tidak bisa menjaga emosinya.

Aku menggenggam tangannya sambil mengelus-elus tangannya agar ia sabar. Aku juga memberi kode, 'Kita bisa membuat mereka tersiksa', yang kemudian dibalas dengan anggukannya.


Aku bingung siapa yang menjadi korbanku selanjutnya, Freya atau Vadilla, ya?

Hm, sepertinya sudah kuputuskan.

Lebih baik salah satu dari kalian atau kalian berdua cepat-cepat mengucapkan salam terakhir.

Aku tersenyum sinis, begitupun Elly.

•••

Girl Behind The MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang