Aku menjalankan kakiku ke arah Froch Cafe.
Hari-hariku kembali seperti biasa.
Tidak ada penindasan, penghinaan, hanya beberapa murid yang melakukannya semenjak dikabarkan Freya dan teman-temannya menghilang tanpa jejak.
Kalau aku menculik mereka di area sekolah, harusnya ketahuan cctv bukan? Tapi aku tidak sebodoh itu, aku mematikan aliran listrik. Dengan begitu cctv pun akan mati.
Hari-hariku terlalu biasa, sudah berhari-hari aku tidak mendapat korban.
Menyedihkan sekali. Ini membosankan.
Bunyi lonceng terdengar ketika aku mendorong pintu masuk. Sang pelayan yang menjaga di depan pintu tersenyum ke arahku, aku tersenyum balik padanya.
Aku tidak akan menyakiti mereka jika mereka tidak menyakiti aku. Aku tidak akan membunuh mereka jika mereka tidak berbuat apa-apa padaku. Aku akan berlaku baik pada mereka jika mereka juga berlaku baik padaku. Apa yang mereka lakukan padaku akan aku balas seperti itu juga.
Aku melangkahkan kaki ke tempat paling pojok yang menghadap keluar jendela.
Beruntung, hujan baru turun ketika aku sudah masukke dalam kafe.
Seorang pelayan menghampiriku dan menanyakan menu yang akan aku pesan.
"Aku ingin memesan caramel macchiato dan pancake durian saja," ucapku.
Pelayan itu mengangguk kemudian mencatat. "Saya ulangi lagi ya, caramel macchiato dan pancake durian. Ada tambahan?"
Aku menggeleng.
Hari ini tidak ada Elly yang menemaniku.
Elly pergi ke rumah neneknya.
Sepi.
Itulah yang aku rasakan.
Aku menatap ke luar lewat jendela besar di sebelahku. Hujan turun dengan deras, membasahi jalanan.
Beberapa pejalan kaki berteduh di manapun tempat yang bisa melindungi tubuh mereka dari derasnya hujan.
Aku tersenyum kecil ketika melihat pemandangan di depanku.
Sepasang kekasih yang sedang tertawa dibawah hujan.
Anak-anak kecil yang menari-nari dengan ceria ditemani dengan hujan.
Sebuah keluarga yang tengah berteduh sambil melontarkan candaan.
Dan sesosok lelaki yang tengah memainkan ponselnya di tempat berteduh.
Dahiku mengernyit ketika mataku mengangkapnya. Wajahnya familiar, sangat familiar. Namun, aku tak yakin.
Aku berusaha untuk mengingat wajahnya lagi.
Oh, aku benar.
Ia adalah laki-laki yang meninggalkanku disaat aku membutuhkannya, mantan kekasihku.
Aku tahu, kalian tidak akan pernah berpikir jika aku pernah memiliki sepasang kekasih saat dahulu.
Namanya Nick. Nickolas Wyden. Nama yang keren, seperti orangnya. Ia tampan, terlihat baik, namun sebenarnya brengsek.
Ia hanyalah seorang laki-laki yang hobinya mempermainkan hati wanita sepertiku.
Aku benci dengannya, dan dendam. Dendam ini sudah tertanam sejak beberapa tahun yang lalu. Di mana aku merupakan kekasihnya. Saat itu, ia hanya menjadikanku bahan lelucon dengan teman-temannya.
Bunyi lonceng terdengar saat seseorang membuka pintu.
Nick.
Ia mencari-cari tempat duduk yang masih kosong, karena kafe ini memang ramai di saat sore.
Aku menunduk, pura-pura memainkan ponselku. Beberapa menit kemudian, aku mengangkat kepalaku saat sebuah suara yang sudah kukenal masuk ke indra pendengaranku.
"Hei, permisi. Bolehkan aku duduk disini?" tanya seseorang.
Aku masih terdiam menatapnya. Namun, dengan tatapan bingung.
Dia tidak mengenalku?Setelah semua perlakuannya padaku, setelah ia membuatku sakit hati, dia tidak mengingatku? Di saat aku mengingat semua perlakuannya dahulu di setiap detik aku bernapas, berani-beraninya dia melupakanku? Brengsek.
"Hm, tempat duduk sudah kosong semua."
Aku tersadar dan mengangguk. Namun, bibirku masih tertutup.
"Siapa namamu?" tanyanya ketika ia sudah dalam posisi duduk.
Aku menyeringai. Dia benar-benar sudah melupakan wajahku?
"Jena Mafiana," jawabku.
Ia terdiam sebentar, seperti pernah mendengar nama itu. Tak lama, ia melebarkan matanya.
"Remember me, Nickolas Wyden?"
Nick mengangguk. "Kau si Jena itu, kan?"
"Mantan kekasihmu."
Ia tertawa sebentar. "Astaga, pantas saja aku seperti yang mengenalmu tapi aku lupa."
Lupa? Bisa-bisanya kau melupakanku.
"Bagaimana kabarmu sekarang? Apakah masih menjadi pecundang?"
Aku menyeringai. "Baik. Sangat baik. Kau bagaimana? Setelah perlakuanmu padaku, bagaimana kabarmu?"
"Hei, kau masih mengingatnya. Maafkan aku. Aku tidak pernah bermaksud seperti itu sebenarnya."
"Aku mengingat perlakuanmu dulu padaku setiap hari, Nick."
Dia tertawa kaku. "Kau tahu 'kan, aku tidak bermaksud begitu. Haha. Lupakan saja, Jena, itu hanya masa lalu."
Semudah itu kau menyuruhku melupakannya.
"Tidak pernah bermaksud bagaimana?" ujarku sambil terkekeh pelan, terdengar seperti penasaran.
"Aku--"
"Permisi ini pesanannya," ucap seorang pelayan memotong pembicaraan Nick sambil tersenyum.
Aku membalas senyumannya, "Terima kasih."
"Aku apa?" tanyaku lagi pada Nick, karena ucapannya terhenti tadi. Sebenarnya aku tidak mau mendengarkan alasannya, karena aku sudah tahu.
"Aku hanya menjalani misi yang harus kulakukan. Apakah melukai kau? Maaf jika itu melukai kau."
"Sangat, Nick."
"Lupakan saja, ya? Kau mengerti kan? Ini seperti permainan biasa di antara para lelaki. Aku tidak benar-benar bermaksud untuk melukaimu."
"Aku akan melupakan dan memaafkanmu."
Ia menggaruk tengkuknya. "Ah, terima kasih."
"Namun, ada syaratnya."
Nick mengernyitkan dahi. "Apa? Akan kulakukan apabila itu bisa membuatku melupakan kejadian itu dan memaafkanku."
"Ikuti aku, akan aku beritahu nanti."
"Apa itu?" tanyanya penasaran.
"Mari, ikuti aku." Aku tak mejawab pertanyaannya, hanya menyuruhnya untuk mengikutiku.
Aku berjalan meninggalkan Froch Cafe setelah membayar total makanam dan minuman yang aku beli.
Nick mengikutiku dari belakang tanpa curiga apa yang akan kulakukan. Aku menyeringai.
Dasar bodoh!
•••
Nick brengsek banget, asli. Tapi Jena juga jahat banget sih:(
KAMU SEDANG MEMBACA
Girl Behind The Mask
Misteri / Thriller[complete] Aku. Si gadis yang selalu ditindas. Tidak pernah dianggap. Selalu diabaikan. Dianggap sampah. Aku dulu selalu terdiam. Namun, kini aku telah berubah. Semua akan terbalaskan. Sesuai yang mereka lakukan kepadaku. Jika kamu melakukan yang sa...