2 : Korban Kedua

968 69 6
                                    

Aku melangkahkan kakiku. Hari ini sangat tidak seru, tidak ada korban.

Hm. Sepertinya aku belum pernah memperkenalkan namaku, ya?

Biar kuberitahu, namaku Jena Mafiana Geraldine. Kedua orang tuaku sudah meninggal, sisa kedua adikku saja yang tidak pernah kutemukan sejak kejadian enam tahun yang lalu.

"Bruk."

Itu adalah suara bokongku yang menyentuh lantai koridor dengan keras. Aku meringis, sakit sekali.

Aku mendongakan kepalaku agar bisa melihat si penabrak, baru saja aku ingin protes, tapi aku urungkan. Aku kemudian bangkit kembali, di depanku berdiri seorang lelaki.

Namanya Stevan James Borden. Kasanova sekolah yang selalu disukai oleh setiap kaum hawa.

Jujur, aku 'pun menyukai dirinya. Stevan mempunyai tubuh yang bisa dibilang cukup tinggi, wajah tampan, dan kapten basket.

Well, perfect? Sangat.

Ia hanya memandangku sinis, lalu berlalu begitu saja tanpa mengucapkan sepatah kata.

Aku sudah biasa dengan semua ini, seberapa hinanya diriku, sampai aku tidak dianggap oleh orang yang aku suka? Sudahlah, mungkin aku memang tidak pantas.

Sebenarnya aku sudah merencanakan hal ini. Jadi, pada saat jam istirahat pertama, aku berniat untuk menyatakan cintaku pada Stevan. Sejak pertama kali menginjakan kaki di sekolah ini, aku sudah jatuh cinta padanya.

Jam istirahat berbunyi, ini waktu yang kutunggu-tunggu.  Aku melangkahkan kakiku kearah lapangan dengan langkah besar sambil tersenyum manis.

Mungkin terdengar aneh jika perempuan yang menyatakan perasaannya pada lelaki?  Tapi tak apa, daripada si lelaki tidak pernah mengetahui isi hati kita.

Aku mencari keberadaan Kak Stevan. Dia kakak kelasku. Nah, aku menemukannya. Aku terdiam beberapa saat di belakangnya, kemudian aku menghampirinya.

Ia menatapku aneh sambil menaikan alisnya, bertanya-tanya.

Aku memejamkan mata sebentar lalu membukanya lagi. Tanganku menggenggan erat buket bunga di tanganku.

"Kak, a-aku su-suka sama Kakak, Kakak mau gak jadi pa-pacar aku?" ucapku tergagap.

Ia terkekeh, kami menjadi tontonan murid-murid di lapangan.

"Kalau Kakak mau, Kakak ambil bunga ini, Kak. Tapi kalau Kakak tolak, Kakak gak usah ambil bunga ini," ucapku ragu-ragu. Ah ,aku sangat deg-degan menanti jawaban ini.

Tangannya mengambil bunga yang berada di genggamanku. Aku tersenyum lebar, suara sorakan terdengar. Kebanyakan mencibir dan mencelaku.

Sebelum aku tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, tanganku sudah terkepal. Suasana sekitar seketika hening ketika pria idamanku itu melakukan sesuatu yang membuatku sangat marah.

Ia membuang bunga itu lalu menginjaknya.

Tapi bukan itu yang membuatku sangat marah. Namun, kata-kata yang ia lontarkan setelahnya.

"Hei, dengar. Aku tidak akan pernah suka denganmu. Kenapa? Karena kau cupu. Kau tidak punya kaca? Kau itu buruk rupa, sedangkan aku kasanova. Setidaknya mengacalah sebentar sebelum menyatakan perasaanmu. Apa perlu kubelikan, huh? Melihatmu saja aku sudah jijik, bagaimana pacaran denganmu? Bisa-bisa aku mati karena melihat mukamu."

Setetes air mata jatuh, membasahi pipiku. Lalu tetesan yang lainnya mulai mengalir.

"Kau itu bagaikan langit dan bumi dengan aku. Jadi, jangan berharap! Dasar buruk rupa!"

Girl Behind The MaskTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang