2

172 14 0
                                    

Kayaknya dia memang benar-benar orang Korea, deh.

Niluh kira, pria itu cuma blasteran Korea saja. Dia bahkan nggak menggunakan nama internasional.

Ya, memang sih, dari perawakan dan fisiknya mewakili. Kulitnya yang putih, terawat bahkan meski mungkin tanpa pernah merawatnya. Matanya yang nggak memiliki lipatan kelopak. Dan bibirnya. Merah. Duh, kenapa jadi ingat-ingat bibirnya, sih!

Tapi, sebetulnya apa ya yang Park Young-Gi lakukan di kafe milik Melvin selama bertahun-tahun? Aneh banget kalau dia begitu cinta mati pada kopi racikan Melvin dan datang terus. Pasti ada hal lain yang membuatnya seolah harus ke sana.

"Aku nggak begitu perhatikan. Emangnya ada, ya?" jawab Alka santai sambil menoleh ke spion dan mengemudikan mobilnya ke luar dari pelataran parkir Brew.

"Aku juga baru sadar belakangan ini, Al. Setelah beberapa kali aku lihat cowok itu pesan minuman pas aku ngobrol sama Melvin."

"Namanya siapa tadi?" jawab Alka seraya menyetel saluran radio kesukaannya. Mobil yang mereka tumpangi langsung disambut kemacetan.

"Park Young-Gi," gumam Niluh sambil mengingat tatapan risi pria itu beberapa hari lalu.

"Bertahun-tahun, begitu?" tanya Alka ikut heran.

"Ya, Melvin bilang gitu. Sendirian dan nggak ngapa-ngapain. Ngerasa ada yang aneh nggak, sih?" Niluh mulai memaksakan asumsinya pada Alka yang nggak tahu apa-apa.

"Pasti kamu udah coba cari tahu soal dia, ya?" bidik Alka tak bisa menahan tawa, "Apa aja yang kamu temuin?" Mendengar musik yang ia suka, kepalanya langsung mengangguk-angguk asik. Membuat cepolan rambutnya ikut bergerak.

Niluh menghela napas, tubuhnya tersandar ke jok. Seolah ia baru saja kalah taruhan bola. Ia menggeser kacamata yang dikenakannya ke atas sehingga menahan poni rambutnya ke belakang.

"Susah, Al. Ternyata nama Park Young-Gi banyak banget!" protesnya.

"Coba ketik yang lebih spesifik," usul Alka masih asik mengikuti alunan musik. Jarinya mengetuk-ketuk setir di tangannya.

"Misalnya? Aku sama sekali nggak kenal dia, nih masalahnya. Nggak tahu kerja di mana, almamaternya apa, tinggalnya spesifik di kota apa di Korea," keluh Niluh.

"Coba ketik, 'Park Young-Gi yang sering datang ke Brew'," ucapnya usil nggak bisa menahan tawa.

"Ya kali, sejago-jagonya Google nguping, kayaknya nggak bakal ada juga, deh!" Niluh menggeser posisi duduknya sehingga ia bisa menekuk kakinya ke atas. "Tapi, kira-kira, apa ya yang membuat seorang cowok rajin datang ke kafe?"

"Predator!" ujar Alka usil, "Atau, mungkin dia juga seorang remote worker kayak kamu?" Alis badai Alka menukik naik saat mengatakannya.

"Nggak deh kayaknya," sergah Niluh, "Dia nggak melakukan apa-apa di kafe Melvin. Mana mungkin dia seorang remote worker."

"Atau mungkin ternyata dia adalah seorang quality observer," Niluh mengerutkan dahinya bingung, "Itu loh, orang yang kerjaannya memeriksa kualitas penyajian restoran dan ngasih rating di internet."

"Emangnya namanya quality observer, ya?" giliran Niluh yang tertawa.

"Nggak tahu juga, ya," jawab Alka ngasal, "Anyway, kenapa juga kamu mendadak tertarik cari tahu soal cowok Korea itu?" Alka menoleh dan menatap Niluh jahil, "Bukannya kamu nggak suka hal-hal berbau halyu waves, ya?"

"Halyu waves?" Kenapa Alka mendadak banyak menggunakan istilah asing, sih? Niluh jadi bingung.

"Tren yang dibawa dari Korea Selatan dan begitu marak, kayak makanan, musik, fesyen, serial drama. Bukannya kamu nggak suka hal kayak gitu?"

Niluh mengangguk, "Ya. Tapi emang benar ya, kadang kita harus melakukan sesuatu di hidup bukan atas dasar kita suka atau nggak, melainkan karena memang harus saja."

"Maksudnya?"

"Klien baru di kantor aku minta aku tambahin unsur Korea di kerjaanku. Jadi, mau nggak mau, aku harus mulai menyimak," jawab Niluh. Ia baru saja mengeluarkan power bank dan menancapkan ponselnya.

"Untung kamu pernah belajar bahasa Korea, ya?" ejek Alka.

"Duh, jangan ungkit masa lalu, deh. Jadi kepikiran, apa kabar ya si Fab? Dia sudah bisa melepas kepergian aku, dong?"

Fab adalah panggilan yang mereka buat untuk mantan atasan Niluh dan masih merupakan atasan Alka. Nama lengkapnya adalah Fabian. Niluh memang berteman akrab dengan Alka sejak mereka bekerja satu kantor dulu. Hanya saja, Niluh akhirnya memutuskan untuk keluar dan melayarkan karir solonya.

"Ya begitulah. Fab masih sering menyeret nama kamu. Apalagi kalau udah urusan unit bisnis satu itu. Katanya—"

"Ssshh, aku nggak perlu dengar. Yang lalu biar berlalu. Semoga Fab tenang di sisi-Nya," cetus Niluh sambil menutup kedua telinganya. "Eh, kembali ke topik Young-Gi."

"Wah, kamu kayak udah akrab saja memanggilnya Young-Gi. Asal kamu tahu ya," mobil Alka yang baru lepas dari lampu merah kini terhadang lampu merah di perempatan berikutnya. "Kalau kamu berniat kenalan sama dia, jangan lupa tambahin -ssi di belakang namanya. Masih ingat, dong?"

"Ya ya ya, supaya sopan. Tapi aku nggak yakin dia mau ngomong sama aku, deh," sahut Niluh.

"Eh, kamu nggak beneran berniat ajak dia kenalan, dong?" Giliran Alka yang terkejut. "Tadi itu cuma becanda, loh."

"Mungkin, ada baiknya sesekali aku sapa dia kali, ya. Aku nggak pernah punya teman orang asing, nih. Siapa tahu dia bisa jadi temanku."

Alka berdecak heran dan menatapi Niluh yang kini mulai sibuk dengan ponselnya.

Setelah loading cukup lama, Niluh langsung membuka browser dan mengetikkan kata kunci di sana:

Setelah loading cukup lama, Niluh langsung membuka browser dan mengetikkan kata kunci di sana:

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sambil berharap hasil temuan Google memuaskan.

🔍

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang