16

82 13 0
                                    

Dua bulan berlalu setelah kepergian mamanya.

Kehidupan Niluh kembali berjalan. Awalnya ia pikir takkan banyak mengubah keadaan. Nyatanya, meski ia jarang pulang ke rumah, kepergian mamanya tetap menyisakan ruang kosong di hidupnya sekarang. Niluh jadi semakin sering datang ke kafe milik Melvin. Hanya sekedar duduk di bar dan memperhatikan kawannya itu melayani pelanggan.

Sesekali Melvin juga menurunkan ilmu racik kopi yang didapatnya di Singapura pada Niluh. Niluh jadi tahu dasar-dasar meracik kopi, termasuk secara manual. Beberapa kali Niluh menulis tentang produk kopi, beberapa kali pula ia dapat klien dari ranah kopi untuk ditangani.

"Ada gunanya juga aku berteman denganmu, Melv," jawab Niluh beranjak naik ke stool dan melepaskan apronnya. "Beberapa klien datang dari bisnis kafe dan kopi. Haruskah kuberi kamu royalti?" tandasnya sambil tersenyum.

Melvin mengelap tangannya dengan serbet kemudian berjalan mendekat ke Niluh. Mereka terhalangi meja bar ini. "Niluh, aku tahu nggak seharusnya kutanyakan ini. Tapi, apa kamu benar-benar baik-baik saja?" ucapnya ragu.

Gadis itu tertawa, "Aku baik-baik saja, Melvin. Maksudmu, terlalu baik-baik saja setelah pemakaman mamaku, ya?" katanya dengan ekspresi wajah biasa saja. "Habis, aku harus bagaimana, dong?"

Giliran Melvin yang dibuat bingung dengan pertanyaan Niluh barusan. Lelaki itu terdiam, kedua tangannya terulur menyentuh meja bar.

"Begini, Melv. Kupikir, nggak ada gunanya aku berlarut-larut menangisi sesuatu yang sudah pergi. Terlebih, yang sudah pergi itu nggak akan pernah bisa kembali. Selamanya."

Kilat mata getir muncul di wajah Niluh saat mengucapkan itu. Melvin sadar, Niluh tak hanya sedang bicara soal mamanya.

"Aku senang kita bisa bicara lagi seperti ini. Beberapa waktu lalu, aku seperti kehilangan sosok Niluh Priyahita yang biasa," ungkapnya lirih.

"Yang sudah pergi nggak akan bisa kembali," gumamnya lagi. Matanya menatapi meja bar kosong. "Hei, kamu nggak punya menu baru untuk diuji coba padaku?" Niluh memotong percakapan itu dan mengalihkannya.

"Ini, aku baru berencana meraciknya. Mau membantuku?" tawar Melvin.

Meski pria itu tahu, topik ini Niluh angkat hanya dalam upaya mengalihkan kesedihannya saja. Karena kehilangan mamanya dan pria itu.

"Ayo. Aku juga sedang nggak ada kerjaan," Niluh melompat turun dari stool dan berjalan menghampiri Melvin di balik bar. "Bisakah kita campurkan hazelnut, lemon, dan sirup maple jadi satu?" katanya berusaha riang.

"Mungkin bisa kita coba," ujar Melvin. Mereka berjalan menuju meja racik dan mulai mengatur peralatannya. "Muridku tambah pintar saja. Tadi kamu? bilang hazelnut, sirup maple, dan almond, ya?" tanyanya sambil menggosok-gosok telapak tangannya.

Detik itu Niluh terdiam.

Almond. Dia suka almond.

Gadis yang sedang memegangi shaker itu menundukkan kepala. Sesaat matanya terpejam dan kepalanya menggeleng. Melvin tak ingin menginterupsinya.

"Aku nggak bisa," ujar Niluh meletakkan shaker itu dan berjalan ke luar area peracikan lagi.

"Kamu bahkan belum mencobanya," Melvin memegang pundak Niluh yang berjalan keluar tiba-tiba. "Kita bisa mencobanya bersama-sama dan—"

"Aku nggak bisa, Melvin! Dua bulan ini aku sudah mencoba namun aku masih sering melihat ke spot yang sama!" sergahnya dengan suara bergetar. Hingga Leo, barista di meja bar menoleh menatapi Melvin dan Niluh.

Melvin terdiam. Benar, gadis itu nggak hanya memikirkan kepergian mamanya tapi juga hal lain.

"Yang pergi nggak akan pernah kembali. Ara. Tapi kenangan singkat itu bukan debu yang bisa ditepis bersih begitu saja," lanjut Niluh masih dengan suara bergetar, kemudian perlahan menghilang.

"Kita bicara di ruangku saja, ya?"

Niluh nggak pernah benar-benar masuk ke ruang kerja Melvin. Baru kali ini. Ruangannya sangat rapi dan aroma papermint langsung menyambutnya begitu pintu dibuka. Melvin memang pria yang sangat apik. Nggak ada barang terserak di mana pun.

"Young-Gi memang nggak pernah terlihat lagi beberapa bulan ini. Kamu benar-benar nggak bicara lagi dengannya?" tanya Melvin setelah mempersilakan Niluh duduk di sofa kecil dekat meja kerjanya.

"Setelah aku membantunya bicara dengan dokter, aku nggak pernah bertemu dengannya lagi. Nggak juga dia datang ke sini. Jadi—" Niluh menundukkan kepala dan menangis. "Aku dan dia hanya teman. Aku paham."

Melvin menghela napas. Dengan ragu, ia mendekat kemudian menepuk pundak Niluh. Ia menatapi gadis itu menangis.

"Mungkin dia sudah menemukan ingatannya lagi. Mungkin dia sudah bertemu dengan gadis yang ingin ia ingat lagi. Dan aku—" Niluh belum juga mendongakkan kepala, "Dan aku kini bahkan nggak jadi apa-apa lagi untuknya. Hanya—debu yang terbang dan berganti."

Pria yang awalnya berdiri memperhatikan gadis ini, kemudian duduk di lengan sofa dan merengkuh bahu Niluh. "Kamu nggak bisa bicara begitu."

"Itu terjadi, Melvin. Dan bahkan... saat aku tahu... suatu saat nanti... seperti sekarang... akan terjadi, aku masih saja bodoh meyakininya."

Melvin menepuki pundak Niluh. "Kamu hanya sedih karena baru kehilangan mamamu. Dan dia, dia juga hilang nggak lama kemudian. Itu hanya perasaan sesaat saja, Niluh."

"Nggak bolehkah aku merindukan orang yang terlalu asing bagiku, Melv?" Mata Niluh yang berkaca-kaca menatapi Melvin getir.

Tidak bisa. Karena pria ini nggak ingin ia merindukan orang lain selain dirinya. Tapi, ia bisa apa?

🫂

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang