9

91 16 0
                                    

"Kamu nggak lagi nunggu seseorang?"

Niluh mendongakkan kepalanya. Tubuh jangkung menjulang tepat di depannya. Niluh melepaskan kacamatanya dan tersenyum.

"Kamu nggak berniat menghipnotis aku, kan?" canda Niluh agak ragu.

Dan untuk pertama kalinya, sudut bibir seorang Park Young-Gi terangkat. Diletakannya mok itu ke meja dan dilepasnya topi baseball yang biasa ia kenakan.

"Tempat dudukku lagi nggak kosong. Jadi—"

"Nggak bisa ya kamu biarin aku fokus mengerjakan pekerjaanku?" sergah Niluh dengan wajah serius.

Park Young-Gi langsung terdiam. Mulutnya terkatup rapat.

Sesaat kemudian Niluh tertawa. "Aku becanda kok, barusan. Aku kan nggak sejahat kamu. Nggak pa-pa, duduk aja," ucapnya kembali mengenakan kacamata.

"Jadi, kamu baik-baik aja rupanya," gumam Young-Gi sambil menatapi wajah Niluh diam-diam.

"Nan gwaenchana. Mamaku yang nggak baik-baik saja," jelas Niluh ringan sambil tetap mengetikkan kalimat demi kalimat di laptopnya.

"Maaf," gumam pria itu lagi nyaris nggak terdengar.

"Gwaenchanha," jawab Niluh santai.

Sudah hampir dua minggu dan mamanya belum juga sadarkan diri. Kondisinya naik turun. Kocek keluarganya pun semakin berkurang. Kini Niluh sudah tiba pada tahap berserah. Nggak lagi menyangkal ataupun mencoba bernegosiasi dengan takdir.

Menit demi menit berlalu tanpa percakapan. Hanya terdengar suara musik ballad mengudara mengisi ruang kafe. Juga hentakan jemari Niluh di atas tuts keyboard. Hingga matanya mendadak lelah dan telinganya menangkap lagu yang begitu dikenalinya.

"Roy Kim," gumam Niluh memecah keheningan di antara mereka berdua.

Park Young-Gi yang sedang mengunyah kentang goreng hanya menaikkan alisnya sebelah.

"Ini lagu kesukaan aku. Kamu tahu dia, kan? Roy Kim."

"Aku nggak begitu suka dengar musik," komentar Young-Gi.

Niluh kembali melepaskan kacamatanya dan melipat laptopnya sedikit. Kedua tangannya mengunci satu sama lain.

"Kamu tahu, rasanya kalimat yang berbunyi music on, world off itu ngena banget," jelas Niluh dengan tatapan menerawang. Sesekali terpejam.

"Tiap aku dengar musik, apalagi lagu-lagu yang aku banget, aku kayak terhisap ke dimensi lain tanpa harus punya mesin canggih."

Park Young-Gi memandanginya heran.

"Aku selalu kagum, bisa banget ya musik menarik kita ke dalam kenangan-kenangan," ujar Niluh hikmat.

"Nggak untukku," sela Young-Gi.

Mata Niluh yang tengah terpejam, membuka perlahan. Ia mendapati wajah mendung Young-Gi tepat di depannya.

"Kamu nggak pernah nostalgia saat mendengarkan lagu?"

"Bahkan dibantu oleh musik sekali pun. Nggak satu pun bisa kuingat."

Niluh mengerutkan dahinya.

"Kalau gitu," ia menegakkan posisi duduknya, "Suatu saat nanti, pas kamu dengar lagu Roy Kim ini, dan kamu nggak lagi bersamaku, semoga kamu akan mengingat momen ini."

Park Young-Gi tertawa pelan, "Kamu nggak lagi menulis kalimatmu barusan, kan?"

Pun Niluh yang akhirnya bisa ikut tertawa juga. Setelah empat belas hari penuh dengan tangisan dan kecemasan.

"Mamamu sakit apa?" tanya Park Young-Gi.

Perkembangan pesat. Pria ini bahkan berinisiatif bertanya pada Niluh.

"Tumor," jawab Niluh getir.

"Maaf," bisik Young-Gi lagi, kali ini sambil menundukkan kepalanya sedikit, sebelum kemudian menggeser bucket kentang gorengnya.

"Young-Gi si," bisik Niluh sambil menoleh ke jendela. Langit malam berhiaskan bulir tempias air hujan di jendela. "Rasanya aku tahu kenapa kamu begitu suka memandangi jendela ini."

Park Young-Gi ikut menoleh dan menatapi jendela ini. Menyimaknya seolah nggak ada yang lebih menarik lagi.

"Di saat aku merasa pikiranku kusut, otakku seperti nggak jelas, perasaanku campur aduk, semua bercampur jadi satu, menatap ke luar jendela ini, melihat lalu-lalang orang dan kendaraan, juga terkadang hujan—" Niluh memalingkan wajahnya dan menatap Young-Gi, "Rasanya seperti berenang lepas setelah berhari-hari menempuh perjalanan di gurun pasir."

"Kamu bakal sakit."

Niluh terheran-heran mendengar respon Young-Gi. Padahal, kalimatnya barusan sudah sangat melodramatis.

"Setelah berpanas-panas di bawah terik matahari, lalu berenang. Tubuh kamu hanya akan sakit karena perbedaan suhu yang mendadak," jelasnya logis.

Niluh tertawa, "Ngomong-ngomong, kamu di Indonesia bekerja atau memang akan pindah ke sini?"

Saat menanyakan itu, entah kenapa Young-Gi mengepalkan tangannya, seperti berusaha menahan pedih yang entah datang dari mana.

"Eh, maaf. Aku salah lagi, ya?" tandas Niluh.

Young-Gi menghela napas dan menggeleng, "Nggak. Nggak apa-apa. Aku ke sini untuk membantu Samchon-ku menjalankan bisnisnya."

"Berarti, kamu pasti akan kembali ke Korea, kan?"

Tangan Young-Gi kembali mengepal. Sungguh membuat Niluh cemas dan ingin menarik pertanyaannya. Namun, belum sempat Ia berkata, Young-Gi sudah membuka mulutnya lagi.

"Kamu pernah tanya," ucapnya perlahan, "Kenapa aku sering menatap ke luar jendela ini? Mungkin kamu tahu, selama bertahun-tahun?"

Niluh menelan ludah. Benar dugaannya, ada sesuatu di balik sosok Young-Gi yang rajin datang ke kafe ini.

"Kamu mau tahu jawaban sesungguhnya?"

Niluh mengangguk hati-hati.

Park Young-Gi bukan hanya pelanggan setia Brew Here, sesuatu membuatnya sering datang ke sini.

Sesuatu mengharuskannya datang ke sini.

🖤

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang