4

114 15 0
                                    


"Jadi, intinya, kamu baru aja dicampakkan cowok asing di depan orang banyak?" Alka berusaha menahan tawanya setelah mendengar cerita pahit Niluh.

"Nggak tahu. Tapi, aku rasa nggak banyak yang sadar juga sih pas kami ngobrol. Kecuali pelayan—ah, nggak!" keluh Niluh tiba-tiba.

"Ada apa lagi, sih?" seru Alka sambil membenahi letak kalung yang dikenakannya. Sesekali ia menatap refleksi wajahnya di cermin kamar apartemen Niluh.

"Bisa-bisa, dia lapor ke Melvin dan Melvin nggak bakal bolehin aku ke sana lagi, deh," kepala Niluh tertunduk lemah.

"Lagipula, kenapa sih nekat banget mendekati cowok Korea itu? Bukannya kamu bilang sejak awal dia nggak pernah melakukan apapun di sana?" sela Alka yang kini sudah tampil super glamor dengan gaun selutut yang dikenakannya.

Sementara Niluh malah asik di bean bag kesayangannya sambil menikmati camilan makaroni kesukaannya.

"Nggak tahuuu, kayaknya aku emang udah kehilangan akal sehat, deh! Ah, aku nggak tahu juga harus ngomong apa ke Melvin," gerutu Niluh kesal.

"Plus, kamu juga nggak tahu apa kamu masih berani ke sana lagi setelah pencampakkan yang memalukan itu?" Alka tertawa.

Di tangannya ia membawa sebuah clutch silver yang pas dengan tampilan gaun hitamnya malam ini.

"Itu juga, sih. Ah, aku harus cari tempat lain lagi sih, kalau sudah begini! Aku—ah, bego," cetus Niluh sambil mengacak-acak rambutnya sendiri.

"Eh gimana nih, kamu serius nggak mau ikut datang ke acara kantor kita?"

"Kantor kamu, Alka. Bukan kantor aku," ralat Niluh cepat, "Nggak. Aku malas kalau harus ketemu Fab. Juga berbasa-basi sama yang lain," sahut Niluh yakin.

Datang ke acara Gala Premier eks kantornya sih sama saja menyeburkan diri ke air keruh. Buat apa pula ingat-ingat masa lalu?

"Ya udah, nanti aku pulang ke sini, ya? Kamu bakal di sini, kan? Nggak akan balik ke rumah kamu dulu?"

Niluh mengangguk dan tak lama Alka sudah menghilang di balik pintu apartemen.

Sebenarnya rumah Niluh berjarak nggak jauh dari apartemen sewaannya. Sebetulnya bukan sewaan, tapi fasilitas kantor. Niluh termasuk beruntung karena meski ia nggak punya kantor yang ada wujudnya, ia justru mendapatkan keuntungan dan inventaris yang lebih dibanding teman-temannya. Kantornya memberikan apartemen ini supaya akses Niluh lebih dekat ke pusat kota.

Masih terpikir soal ketololannya di kafe hari itu, nama Melvin muncul di ponsel. Habislah Niluh. Pria ini pasti akan protes soal kelakuannya hari itu.

"Ya... Melv...?" tanyanya ragu.

"Kamu kenapa, sih? Suaranya kayak anak sekolah yang ke-gep bolos," sergah Melvin. "Lagi di mana?"

Kedengarannya Melvin biasa saja, tidak marah seperti bayangan Niluh. "Di... apartemen. Ada apa, ya?"

Melvin tertawa, "Daripada bengong di sana, mending kamu ke sini, ya. Kebetulan barista aku absen gara-gara sakit lambung parah. Kafe ini lagi ramai-ramainya. Tangan aku cuman ada dua."

"Sejak kapan nih, aku bisa meracik kopi?" tandas Niluh.

"Bantu aku di bagian kasir. Oke? Kutunggu," dan begitulah Melvin kerap memutuskan panggilan sepihak. Membuat Niluh seolah nggak punya pilihan selain mengikuti maunya.

Meski masih terbayang-bayang masa lalu kelamnya di kafe ini, tepat di sudut dekat jendela, dekat gantungan mantel dan tempat menaruh payung itu, nyatanya Niluh tetap menjejakkan kakinya ke sana. Matanya langsung menelusuri seisi kafe. Ia berusaha memastikan kalau pelayan ataupun pria Korea itu tak ada di sana.

"Hai, cewek siaga," Melvin menyambut Niluh dengan layangan tinjunya, "Mau minum apa? Mau coba menu baru?" tawarnya.

"Kamu—nggak marah, Melv?" tanya Niluh seraya melepaskan parka yang dikenakannya dan meletakkannya di dekat helm Melvin, di meja pantri.

"Marah karena?" tanyanya benar-benar polos. "Aku malah berterimakasih kamu mau ke sini. Bukannya lagi hujan di luar?" tanyanya.

Rupanya pelayan itu nggak menyampaikan apapun pada Melvin. Baguslah. Niluh menghela napas lega.

"Tiramisu latte, deh. Dingin banget deh, udah di luar hujan, di sini AC," cetus Niluh sambil menggosok-gosok tangan dan bergerak menerima apron yang diserahkan Melvin.

"Maaf ya, udah merepotkan," bisik Melvin ketika mereka berjalan ke luar pantri dan memasuki area tarung malam ini.

Niluh hanya mengangguk-angguk dan bergumam nggak jelas ketika sibuk mengikat rambutnya ke belakang.

"Wah, datang juga dia. Kirain dia nggak akan ke sini lagi. Beberapa hari ini dia nggak pernah muncul."

Jantung Niluh terasa seperti akan lepas dari serambinya. Perlahan-lahan ia menarik napas dan mendongakkan kepala.

"Kamu bisa minum pesananmu, tapi bantu aku layani orang yang satu ini dulu, ya? Pelanggan setia di sini," ucapnya seraya menyunggingkan senyuman.

Dengan perasaan berkecamuk, Niluh tak bisa menghindar. Ia menarik napas dalam, berjalan, kemudian memaksakan diri untuk tersenyum. "Annyeong," sapanya.

"Annyeong," jawab pria itu.

Melvin tampak terkejut. Entah kenapa.

Satu-satunya hal yang ingin Niluh lakukan adalah segera menyudahi layanan untuk pria ini. Dia bisa mati karena malu. "Large Caramel macchiato—"

"Dan kentang goreng," sambut Niluh.

Pria itu mengangguk.

"Totalnya 87 ribu," ucap Niluh cepat. Kepalanya terus tertunduk menghindari tatapan mata dengan pria yang sudah membuatnya malu itu.

"Kentangnya nanti diantar," sahut Melvin sambil menyerahkan mok kopi. "Baru kali ini dia jawab sapaan," bisik Melvin.

"Oke. Gomawo, Niluh-ssi," ucap pria itu seraya menunduk pelan dan membalikkan tubuhnya.

"Heh, kok dia tahu namamu? Kamu kan nggak pakai tag nama?" ujar Melvin.

Niluh hanya menggelengkan kepala kemudian meninggalkan meja kasir sejenak.

Dia benar-benar bisa mati karena malu malam ini.

😶

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang