8

93 11 0
                                    

Hari ke delapan sejak Niluh harus mondar-mandir ke rumah sakit.

Nggak lagi pulang ke apartemen atau rumahnya, Niluh malah harus menjadikan bangunan bau disinfektan itu sebagai tempat persinggahan. Ia juga sudah jarang sekali mampir ke kafe milik Melvin.

Pikiran dan rasa penasarannya soal Park Young-Gi tersisihkan begitu saja.

"Operasi yang kami lakukan sudah berhasil. Namun, kami menemukan ada cairan berlebih di antara tempurung kepalanya."

Pikiran Niluh benar-benar nggak bisa fokus sekarang. Baru saja kliennya meminta dia mengirimkan progress kerjaannya. Paling lambat malam ini. Dan kini dia harus mendengarkan kabar soal operasi mamanya.

"Jadi, kami harus mengalirkan cairan berlebih itu melalui selang," jelas dokter muda di depan Niluh. Niluh termenung diam. "Kami butuh persetujuan keluarga untuk melakukan itu."

Mamanya belum juga sadarkan diri sejak dibawa masuk ke rumah sakit. Niluh bahkan nggak berbicara dengannya. Di Unit Gawat Darurat pun, mamanya sudah kehilangan kesadaran.

"Mbak," gumam dokter itu lagi.

Mata Niluh mendarat di tag nama dokter itu, Dokter Kafindias A. Niluh mendongakkan kepalanya, "Harus menunggu papa atau bisa saya saja yang menandatangani?"

"Lebih cepat lebih baik. Mbak bisa mewakilkan keluarga kalau dirasa memang seluruh keluarga sudah setuju."

"Tapi itu akan membantu atau malah memperburuk kondisi Mama, Dok?" tukas Niluh dengan suara serak.

Dokter itu menarik napas sejenak dan membenahi posisi duduknya. "Serebrospinal, cairan ini jika nggak dialirkan akan menghimpit dan menekan tempurung. Sangat berbahaya bagi pasien. Jadi—"

"Oke, mana kertasnya? Saya tanda tangani sekarang," Niluh merogoh tasnya dan mengeluarkan pena yang selalu dibawa-bawanya.

Sekilas dokter itu tampak tertegun dan terenyuh melihat reaksi Niluh.

Niluh memang menyarankan papanya untuk istirahat sejenak di rumah. Beliau sudah berjaga hampir setiap malam. Kini waktunya Niluh dan ketiga kakak laki-lakinya yang sedang mengurus asuransi. Biaya perawatan, obat, visit dokter, sampai operasi yang berturut-turut sungguh menguras kocek keluarga Niluh.

"Maaf, Melv. Aku lagi sama dokter barusan. Ada apa telepon?" tanya Niluh sambil menepi dan memijat pelipisnya.

"Cuman ingin memastikan kondisi kamu. Gimana mama?" tanya Melvin. Terdengar suara musik akustik sebagai latarnya.

"Mama harus operasi lagi, Melv. Aku baru saja menandatangani surat persetujuannya," ia menghela napas dan menyandarkan tubuh sambil merapatkan kardigan rajut yang dikenakannya.

"Kamu sendirian di sana?"

Niluh menggelengkan kepalanya, nggak sadar ia sedang bicara via telepon. "Kakak-kakakku lagi di jalan. Dua di antaranya bentar lagi sampai. Aku hanya harus—memutuskan."

"Kamu... apa kamu... ngg, apa perlu aku bawakan sesuatu?"

"Nggak, Melv. Terimakasih," jawab Niluh singkat. Sosok Niluh yang penuh cerita seolah menghilang sesaat.

"Kali aja ini bisa membuatmu membaik," gumam Melvin tiba-tiba, "Cowok Korea itu baru saja nanyain kamu."

"MmPark Young-Gi? Nanyain aku?" suara Niluh jelas penuh ketidakpercayaan.

"Ya," jawab Melvin.

Terdengar suara pintu didebamkan pelan. Sepertinya dia menepi ke ruang kerjanya.

"Kayaknya, dia... suaranya kayak... cemas."

Niluh tertawa pelan, "Nggak mungkin, lah. Kalau mau menghibur, nggak usah bawa-bawa Young-Gi kali, Melv," debatnya cepat.

"Aku serius," pungkas Melvin membuat Niluh terhenyak. "Dia tanya ke mana kamu karena dia nggak melihat kamu lagi di sini."

"Ini bukan cara kamu memaksa mampir ke kafemu, kan?"

"Nggak, lah. Lagian, kalau aku udah sekangen itu, aku bisa aja langsung ke rumah sakit," seru Melvin spontan.

"Kangen? Kamu kangen sama aku?" ejek Niluh.

"Eh, ngg—ya intinya, aku udah menyampaikan ini ya, kalau-kalau bisa bikin moodmu lebih baik."

Niluh hanya tersenyum simpul sambil memainkan ujung kardigannya. Kakinya yang menggantung di atas lantai, mengayun pelan.

"Kalau gitu, salamin aja ke dia. Bilang kalau aku baik-baik saja."

"Oke. Kayaknya, dia juga masih di depan sana," pungkas Melvin.

"Lah, beneran mau disampaikan? Aku kan becanda. Jangan sampaikan apa-apa, loh. Kami nggak akrab itu juga," jelas Niluh lagi nyaris gelagapan.

Kini giliran Melvin yang tertawa. "Baiklah. Semoga segera ada perkembangan membaik dari mamamu. Kamu jangan lupa minum vitamin dan istirahat yang cukup. Aku nggak mau mendengar kamu sakit, oke?"

Sungguh, Niluh juga nggak ingin sakit. Tapi, mau tidur ataupun makan, rasanya sama-sama nggak bisa. Niluh hanya ingin menemani mama di dalam sana. Bukan hanya saat jam besuk yang hanya dua jam saja.

🧊

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang