12

85 13 0
                                    

Pertunjukkan musik dan acara pelepasan lampion berakhir tengah malam.

Niluh nggak pulang bersama Alka, ia harus kembali ke rumah sakit. Ketika acara sudah selesai, ia baru ingat bahwa ada realita pahit yang masih harus ia hadapi. Karena kemacetan kendaraan sepanjang venue ke gerbang depan, akhirnya Niluh memutuskan untuk mencari taksi di depan saja.

"Kamu kenapa?" tanya Young-Gi.

Kedua tangannya merogoh ke dalam saku jaket yang dikenakannya. Topi masih bertengger di kepalanya.

"Kamu yang bilang mencari udara segar, sekarang malah kamu yang kelihatan murung?"

"Eh, nggak apa-apa," jawab Niluh sambil memandangi ujung sepatu combat boots yang dikenakannya saat berjalan. "Aku nggak tahu kamu bisa bicara bahasa Indonesia. Mulai sekarang, kita bicara bahasa Indonesia saja, ya?"

Terdengar tawa pelan dan ringan di samping Niluh. "Kan kamu sendiri yang bilang, kamu akan mengasah kemampuan bahasamu. Aku sih, nggak keberatan, ya."

"Atau jangan-jangan kamu juga bisa bicara bahasa lainnya?" Niluh melambatkan langkahnya dan memicingkan mata.

"Jogeum. Jerman, Perancis, Spanyol," jawab Young-Gi sambil tersenyum.

Seketika Niluh memandangnya kagum.

"Oh ya, tadi Fabian bilang kamu pernah menangani unit bisnis yang diinvestasikan pamanku?"

Hanya anggukan pelan yang Niluh berikan. Baginya, bertemu dengan Fabian di tempat barusan saja sudah cukup mengesalkan.

"Apa mungkin kita pernah berpapasan atau ketemu?"

Niluh menggeleng. "Aku nggak sampai ikut dalam rapat-rapat kalian."

"Bukan, aku mewakili perusahaan pamanku di sini, sempat diajak berkunjung ke kantormu. Fabian mengajak kami tur kantor dan memperkenalkan tim-timnya," jelas Young-Gi.

Langkah kaki Niluh mendadak terhenti, tangannya memegang lengan Young-Gi.

"Kamu salah satu dari banyak tamu-tamu penting itu?" tandasnya, "Seingatku memang ada beberapa orang Korea saat itu. Tapi-" Niluh menghentikan kalimatnya dan matanya menyipit. "Masa sih itu kamu?" gumamnya retoris.

Kedua bahu Young-Gi terangkat, "Mungkin. Pantas saja, rasanya aku pernah melihatmu selain di kafe," balasnya nggak yakin.

"Pernah lihat tapi masih sangkain aku penipu?" tukas Niluh bersambut tawa geli Young-Gi.

Mereka kembali melanjutkan langkah. Baru saja mobil melintas nyaris meninggalkan cipratan ke celana yang Niluh kenakan. Ia sempat menggerutu kesal dengan bahasa Indonesia. Young-Gi ikut tertawa.

"Terus, kenapa kamu keluar dari tempat Fabian?"

Niluh menarik napas dalam kemudian menghelanya, "Aku nggak ingin membicarakannya," jawabnya cepat.

Hening sesaat sebelum kemudian Niluh berkata lagi, "Aku hanya nggak merasa harus bekerja di sana lagi karena satu dan lain hal. Hubunganku dengan Fabian juga baik-baik saja setelahnya. Hanya saja-"

Kalimatnya kembali terputus karena Niluh menyadari Young-Gi menatapinya sambil tersenyum jahil.

"Kenapa?"

Pria itu menggeleng. "Lanjutkan," ucapnya.

"Ah ya juga. Aku yang bilang nggak mau membicarakan tapi malah berkata panjang lebar," Niluh menertawai dirinya sendiri. "Akhirnya sampai juga," ucapnya begitu mereka berjalan mendekati gerbang utama.

Perasaannya nggak enak ketika melihat nggak ada satu pun taksi yang mangkal di sana. Apa memang dilarang?

"Ada apa?" Young-Gi memperhatikan Niluh yang kelihatan gusar.

"Nggak," kepala perempuan itu menggeleng lagi. Kini, ia keluarkan ponselnya, "Kayaknya nggak ada taksi di sini. Kita pesan online saja," serunya.

Young-Gi mengangguk-angguk. Sesekali pengunjung yang berjalan melintasi gerbang menghentikan padangannya pada pria ini, namun Young-Gi nggak sadar. Pandangannya tertuju pada Niluh dan layar ponselnya.

"Damn," desis Niluh sambil mengatupkan bibirnya, "Kenapa nggak ada yang menyangkut satu pun, sih?" gerutunya lagi-lagi dalam bahasa Indonesia.

"Aplikasinya gangguan?" tanya Young-Gi.

Gadis itu menggeleng dan tetap fokus.

"Nggak ada yang mau mengangkut?" duganya lagi.

Kali ini kepala gadis itu mengangguk pelan.

"Udah, daripada kamu pulang larut, biar kuminta pamanku menjemput kita ke sini," ujar Young-Gi tenang, tangannya mengeluarkan ponsel dari saku jins hitam kesukaannya.

"Eh, Young-Gi si, nggak usah. Aku yang-"

"Yeoboseoyo, Samchon."

Kalimat Niluh langsung terpotong oleh Young-Gi yang kini bicara di ponselnya.

"Sepertinya aku akan merepotkanmu lagi, Samchon. Bisakah jemput aku di suatu tempat?" Young-Gi menaikkan lidah topinya dan melirik Niluh yang kelihatan murung di dekatnya. "Nggak, aku nggak mabuk atau berbuat ulah, kok. Tenang saja. Bagaimana? Ya, aku akan kirimkan lokasinya sekarang. Gomawoyo, Uri Samchon," ucapnya.

Sesaat setelahnya, Young-Gi mengirimkan lokasi lewat pesan. Ia kemudian memasukkan ponselnya dan beralih menoleh ke arah Niluh yang sejak tadi memandanginya.

"Aku udah merepotkanmu. Dan pamanmu. Padahal, aku yang mengajakmu ke sini. Sungguh nggak bertanggung jawab," gumam Niluh penuh penyesalan.

"Kamu harus berhadapan dengan Samchon-ku. Dia bukan orang yang mudah. Jadi-selamat berjuang nanti," ucap Young-Gi sambil menghela napas dan menepuk pundak Niluh.

Dan lagi-lagi, meski Niluh tahu dia akan berhadapan dengan masalah besar, malah segaris senyuman tergambar di wajahnya.

"Jadi, aku berhasil nggak?" ucapnya mengalihkan perhatian Young-Gi kembali padanya. Young-Gi mengerutkan dahi. "Membuatmu jatuh cinta? Dengan musik?"

Young-Gi terdiam sejenak kemudian hanya memberikan senyuman tipis.

🚙

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang