13

89 13 0
                                    

Minggu yang cukup melelahkan.

Bukan hanya karena urusan di rumah sakit yang nggak kunjung selesai, tapi juga karena tuntutan klien kantornya yang mulai menjadi-jadi. Alhasil, Niluh menaikkan dosis kafein dari cangkir kopinya. Padahal, ia tahu itu nggak baik, bagi kesehatannya dan bagi kesehatan koceknya.

Telinga Niluh tersumbat oleh musik yang sudah ia susun dalam playlist bertitel 'Working Anthem'. Meski semuanya adalah lagu-lagu yang ia suka, tapi detik ini ia fokus pada jajaran kalimat dan catatan-catatan kecil hasil pertemuan dengan kliennya beberapa jam lalu.

Konsentrasinya penuh tertuang pada pekerjaannya hingga ia nggak menyadari seseorang duduk di depannya, bertopang dagu, nggak mengatakan apa-apa, nggak melakukan apa-apa, dan hanya memperhatikannya.

"Melv," menyadari itu, Niluh pun melepaskan headset di telinganya dan menekuk layar laptopnya sedikit. "Ada apa, Melv?" sapanya ramah.

"Tumben banget kamu tanya begitu," ucapnya heran. Ia menyandarkan tubuhnya dan melipat tangannya di depan dada, "Bukannya sudah biasa aku duduk di saat kamu kerja?"

"Oh, itu," ungkap Niluh bingung, "Aku cuman lagi fokus. Jadi, aku malah menanyakan kalimat tadi spontan."

"Gimana perkembangan mama?" tanya Melvin. "Kamu udah minum dua cangkir hari ini, by the way. Ada yang ingin—kamu ceritakan?"

"Cerita apa, ya? Aku rasa nggak ada. Mamaku masih koma. Nggak tahu sampai kapan," jawab Niluh sambil tertawa getir.

Namun Melvin hanya terdiam memandanginya kelu.

"Katanya kamu akan pergi ke Singapura, ya?" tanya Niluh.

Melvin mengangguk. "Ada pelatihan kopi dan ada beberapa hal yang harus kutangani di sana. Awalnya... aku mau ajak kamu. Tapi nggak mungkin," jawab Melvin ragu.

Niluh tertawa, "Supaya aku bisa terampil meracik kopi dan membantumu lebih dari sekedar jaga kasir, begitu?" ucapnya. "Terimakasih."

Tubuh Melvin bergerak ke depan, "Eh, bukan. Bukan. Maksudku, untuk suasana baru saja. Hanya supaya—"

"Oh, Young-Gi si," panggil Niluh dengan nada suara yang langsung berubah.

Tangannya mengacung ke udara. Nggak lama, pemuda itu menghampiri meja mereka.

"Tumben sekali kamu nggak pakai topi?" komentar Niluh spontan sambil menatapi setelan pakaian Young-Gi hari ini. "Dan rapi sekali," tambahnya.

Young-Gi memegangi rambutnya beberapa kali sambil tertawa kecil. "Rambutku," komentarnya nggak jelas, "Aneh, ya?"

Niluh menggeleng. "Nggak. Kamu ganteng seperti ini. Dengan jas dan kemeja rapi. Kayaknya aku bisa jatuh cinta kalau begini," canda Niluh.

Humor yang nggak disangka justru membuat dua wajah pria di depannya terkejut. Kecanggungan seketika menyeruak.

"Ngg, aku... aku pesan dulu," potong Young-Gi sambil meletakkan ponselnya ke sisi Niluh.

"Dan aku harus melayaninya," seru Melvin nggak lama setelah Young-Gi beranjak.

Sejenak pria itu menatap wajah gadis itu yang berubah cepat begitu Young-Gi tiba. Sesuatu mengganjal perasaannya.

Hanya selang beberapa menit, pria Korea dengan setelan pakaian rapi itu sudah kembali. Dengan membawa mok dan—menu yang belum pernah ia pesan sebelumnya di sini?

"Sepertinya kamu cuman minum," ucap Young-Gi saat duduk. Ia lalu menggeser bucket ke hadapan Niluh.

Niluh sontak meninggalkan fokusnya dari laptop. "Churros!" ungkapnya gembira. "Wah, baik sekali. Nanti kuganti, ya? Baru saja aku mau pesan lagi."

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang