18

101 13 0
                                    

"Annyeonghasimnika, mau coba menu terbaru kami?"

"Kamu bisa bicara bahasa Korea?" tanya pria itu antuasias. Niluh mengangguk sambil tersenyum. "Menu apa saja yang kamu punya?"

"Fresh Raspberry Latte adalah salah satu yang terbaru. Rasaya segar, manis, dan cocok untuk suasana hati yang penuh cinta," ungkap Niluh sambil melirik perempuan yang datang bersama cowok Korea di depannya ini.

"Ah, ya. Kami hanya berteman, kok," jawab pria itu malu-malu. "Tapi nggak apa-apa, kami ingin mencobanya. Kalau begitu pesan menu itu satu dan satu lagi Coffee Americano saja," pintanya.

"Joayo," Niluh mengacungkan jempolnya, "Totalnya 72 ribu rupiah."

Pria itu menyerahkan uang dan berlalu setelah mendapatkan minumannya. Masih malu-malu dengan perempuan yang datang bersamanya. Mereka kemudian duduk di spot yang sempat menjadi spot favorit Niluh.

"Apa perlu kukursuskan bahasa asing lain? Rasanya pelanggan lebih suka dilayani dalam bahasa induknya," komentar Melvin dari samping. Pria itu baru saja menyerahkan satu cup kopi untuk diantarkan.

"Boleh," jawab Niluh singkat sambil menyortir lembaran uang dan memasukannya ke dalam mesin kasir.

Akhir pekan ini lagi-lagi ia diminta Melvin membantu pria itu. Namun, karena kecanggihan Niluh dalam melayani dan membantunya, ia kini mendapat upah selayaknya pekerja lain. Awalnya canggung tapi lumayan untuk menambah penghasilan.

"Melv, aku angkat telepon dulu, ya. Dari papa," Niluh mengacungkan ponselnya dan beranjak ke pantri belakang.

Papanya menghubungi Niluh dan memintanya untuk pulang lebih cepat. Kebetulan keempat kakak laki-lakinya sedang kumpul. Dan mereka berencana untuk mengunjungi makam mamanya besok.

"Niluh," ketukan pintu Melvin membuat Niluh menyudahi panggilan papanya lebih cepat. Pria itu menyumbulkan kepalanya, "Bisa tolong bantu? Ada pelanggan yang harus kamu layani dan aku harus meracik kopi."

Niluh mengangguk kemudian berjalan ke luar sambil menunduk, memasukkan ponselnya ke saku celana. "Permisi," seru Niluh pada laki-laki yang berdiri membelakangi meja pesanan.

Laki-laki itu berbalik, mengangkat kepalanya, seraya melepaskan topi yang dikenakannnya. "Annyeonghasimnika?"

Seketika, Niluh terperanjat.

Apa ini hanya delusinya yang semakin parah? Atau halusinasinya? Tidak mungkin. Ah, tapi mungkin saja. Mungkin pria ini datang karena memang sedang merindukan racikan kopi Brew.

"Jal jinaeyo? Orenmanayo," gumam pria itu lagi sambil memulas senyuman. Lengkung senyum yang sudah lama tak Niluh lihat itu.

Melvin menatapi Niluh yang sejak tadi malah bengong saja. Ia lalu menyenggol lengan gadis itu agar kembali mendarat ke bumi.

"Ahm... mm... maaf. Mau pesan... apa? Mau mencoba... ngg... menu baru... kami? Atau... tetap Caramel Macchiato?" tanya Niluh kikuk.

Park Young-Gi tersenyum lagi, "Aku ingin mencoba Tiramisu Latte dan churros, kesukaan seseorang yang kukenal," jawabnya.

Hati Niluh terasa hangat seketika. Tanpa sadar, ia menarik napas dan sempat terlepas dari bumi lagi. Buru-buru ia mengangguk dan membuyarkan perasaannya yang terlalu berbunga-bunga.

"Baiklah. Ada lagi?"

Sejenak Young-Gi menatap papan menu sementara Niluh menelusuri wajah pria ini lekat-lekat. Meski baru beberapa bulan, rasanya senang sekali bisa melihat pria ini. Setelah sekian lama. Setelah beribu kekalutan.

"Kamu mau apa?" tukas Young-Gi tiba-tiba.

"Eh? Aku? Nan waeyo?" jawab Niluh bingung.

"Aku rindu bicara denganmu. Kamu bisa memesan sesuatu sementara kita bicara nanti," ucap Young-Gi lirih.

Seketika Niluh salah tingkah. Kenapa terang-terangan sekali bilang rindu?

"Aku... nggak bisa. Ngg, aku sedang bekerja. Kamu... maaf—"

"Sudah, sana. Kamu rindu padanya juga, bukan?" bisik Melvin sambil menggeser tubuh Niluh dari kasir.

Pria itu menatapi Niluh dengan perasaan berat, namun itu tahu gadis ini begitu ingin bicara dengan pria di balik meja kasir itu.

"Kutambah satu Caramel macchiato-nya lagi dan kentang goreng, ya? Nanti kuantar."

"Melv..."

"Sudah, sana," dorong Melvin.

Terlalu lama mereka nggak bertemu, terlalu canggung ia memulai percakapan, terlalu besar rindu di hatinya. Jadi, Niluh janya terdiam saja. Mereka bukan duduk di spot biasa, karena sudah diambil pasangan lain. Tapi, mereka masih bisa menapaki momen-momen lampau.

"Kamu... sudah... bertemu dengan gadis itu, ya?" tanya Niluh tak tertahankan. Ia tahu ia mungkin sakit hati dengan jawabannya. Tapi ia penasaran.

Young-Gi meletakkan topinya di meja, menyapukan jemarinya ke rambut. "Sudah. Kamu masih menguntitku, ya? Kok, bisa tahu?" jawabnya.

Benar. Young-Gi menghilang karena ia sudah menemukan memorinya lagi.

"Dan kamu ke sini, ingin bilang kalau... kamu... akan kembali... ke Korea?" tandas Niluh sambil mengepalkan tangannya di atas pangkuan.

Kepala pria itu menoleh ke jendela. Ia nggak langsung menjawab. Niluh menatapi pria ini penuh kerinduan yang sulit disampaikan. Momennya tidak pas. Tidak akan pernah pas.

"Wah... sudah lama sekali aku nggak melihat jendela ini. Rasanya..." ia melirik Niluh, "Bernostalgia, ya?" tatapnya.

Niluh hanya mencecap getir sambil menatapi pesanan mereka yang baru diantarkan.

"Kamu merindukanku nggak?" tanya Young-Gi tiba-tiba.

"Mm—maksudmu? Aku... Untuk apa aku merindukanmu?"

"Karena saat aku mendengarkan lagu Roy Kim beberapa pekan lalu, aku langsung ingat kamu pernah memintaku mengingatmu. Dan detik itu aku sadar, aku merindukanmu."

Park Young-Gi merindukan Niluh Priyahita, gumamnya dalam hati.

"Kenapa kamu diam saja?"

Tanpa sadar, bulir air mata baru saja menetes ke pipi Niluh. Buru-buru ia menghapusnya sebelum Young-Gi menyadari. "Kamu... hanya akan... pamit saja, kan?" tanyanya hati-hati.

Young-Gi tertawa. "Kenapa, sih? Kamu mau mengusirku dari Indonesia? Ingin sekali aku pulang ke negaraku?" sergahnya. "Aku belum banyak mengenalmu. Bagaimana bisa aku pulang?"

"Untuk... apa?"

Pria itu mendesah kemudian tertawa hampa. "Hei, kamu mau cari udara segar, nggak? Mungkin jalan-jalan ke depan? Samchon-ku akan tiba sebentar lagi. Sebelum dia sampai, kita bisa cari udara segar."

Sebelum sempat Niluh mencari alasan, Young-Gi sudah meraih topinya di meja, mengenakannya ke kepala Niluh, dan menarik tangan gadis itu bersamanya.

🧢

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang