3

125 16 0
                                    

Upaya Niluh mencari tahu Park Young-Gi di Google berbuah nihil.

Hasilnya malah menunjukkan aktor bernama sama, namun jelas dengan wajah dan usia berbeda. Niluh juga sudah mencoba mencari tahu di beberapa akun media sosial lainnya. Nggak ada satu pun yang Niluh rasa mirip dengan wajahnya. Bahkan meski banyak yang bilang, wajah cowok Korea sama semua. Tapi dia beda.

"Oh, meeting-nya nggak jadi? Hmm, ya udah, oke. Aku bisa pakai hari ini buat lanjut riset."

Kliennya baru saja mengabari bahwa pertemuan mereka diundur.

Kalau Niluh nggak punya rencana lain dan murni hanya keluar untuk meeting itu, mungkin tanduknya udah muncul. Tapi, mengingat misi barunya, dia nggak keberatan harus memutar langkahnya ke kafe miik Melvin Priyanggoro.

"Kamu lagi," sapa Melvin dengan khasnya.

Hari ini laki-laki itu tampil lebih rapi mengenakan vest abu gelap dan kemeja lengan panjang. Ia juga tampak bersiap mengenakan mantel hitam.

"Mau ke mana, Melv?"

"Ada urusan sebentar. Nggak apa-apa ya, ditinggal?" ucapnya sambil merapikan kerah kemejanya. "Kamu jangan macam-macam pas aku nggak ada," tambahnya lagi sambil melirik Niluh.

Niluh menyeringai. "Aku bakal duduk di tempat duduknya, Melv."

"Heh?" seru Melvin heran, "Ah, tapi udah lah. Dia juga nggak berhak nandain itu bangku miliknya. Kamu boleh duduk di mana saja selama nggak mengancam keselamatan siapa pun, oke?" tandasnya. "Aku pergi dulu," pamitnya usai melambaikan tangan pada barista-barista.

"Caramel macchiato ya, Mbak?" sambut barista begitu Melvin pergi, "Atau mau coba menu baru kami?"

"Menu baru?" tanya Niluh lirih.

"Iya, Gingerbread soy latte," jelas barista itu.

Hal yang langsung membuat kepala Niluh menggeleng mantap. Emang ada ya yang suka perpaduan jahe dan kacang kedelai di latte mereka?

"Oke. Caramel macchiato ukuran medium. Ada tambahan lagi?"

Biasanya Niluh hanya memesan minuman saja. Tapi berhubung Melvin nggak ada, plus misi dan pekerjaannya hari ini cukup banyak, jadi Niluh menambahkan dua menu lainnya.

"Tambah pancake yang original dengan saus maple. Dan french fries," ucapnya sambil melengkungkan senyuman.

Sebetulnya, Niluh bukan tipikal hedonis yang suka merogoh kocek dalam saat mencari tempat kerja yang enak. Tapi, karena kafe ini milik kawannya sendiri dan dia sudah terlanjur betah dengan suasana di sini, jadi dia berhenti mengembara dan mencari tempat lain.

Selain karena kawan bicara, racikan minuman, juga akses wifi yang cukup kencang, Niluh suka dengan atmosfer kafe ini. Nggak begitu ramai, nggak juga terlalu sepi. Benar-benar di frekuensi yang pas untuk bekerja. White noise-nya pas.

Sejak Niluh melayarkan karirnya secara solo, Niluh jadi paham sesuatu. 

Makanan dan minuman nggak selamanya menjadi incaran utama pengunjung suatu tempat, terutama kafe, melainkan atmosfer. Mereka rela mengeluarkan uang untuk membeli atmosfer dan suasana. Apalagi di era medsos gini. Ada banget tuh yang datang ke kafe cuman buat pamer kalau dia pernah ke sana.

"Annyeong," sapa Niluh ramah. Orang yang ditunggu akhirnya tiba juga.

Sejenak pria itu cuma berdiri dengan mata memicing menatap Niluh yang sudah duduk di spot kesukaannya. Meski nyaris nggak terdengar, Niluh tahu kalau pria itu baru saja menghela napas sebelum kemudian beranjak ke bangku belakang Niluh.

Nggak ada perlawanan, pikir Niluh.

Kini ia hanya menatapi Young-Gi dari posisinya saja. Hanya topi baseball biru dongkernya yang terlihat dari belakang. Menyadari pria itu nggak membuat pergerakan yang berarti, Niluh beralih setelah pelayan meletakkan minuman di meja Young-Gi.

"Annyeong. Kamu Park Young-Gi si, kan?" katanya dalam upaya nggak gentar. Di tangannya ia membawa bucket kentang goreng dan mok minumannya.

Lagi-lagi, Young Gi malah menghela napas. Bahunya yang baru Niluh sadari cukup bidang itu bersandar ke belakang.

"Lagi nunggu seseorang?" tanya Niluh lagi.

Pria itu menggeleng.

"Keberatan nggak, kalau aku duduk di sini dan bergabung?" tambahnya.

"Bukannya udah duduk juga, ya?" sahutnya sambil meraih mok kopinya.

"Oh ya, aku nggak sadar," Niluh tertawa. Disodorkannya bucket kentang goreng ke hadapan Young-Gi. "Mau?"

Seharusnya dia nggak akan menolak, pikir Niluh. Tapi rupanya meleset. Young-Gi menggeleng kemudian mengacungkan tangannya memanggil pelayan.

"Aku nggak jadi pesan kentang goreng. Aku nggak akan lama-lama di sini," ujarnya sambil membenahi topinya.

Pelayan itu menangguk meski bingung. Antara bingung dengan Young-Gi yang mendadak membatalkan pesanan atau bingung dengan bahasanya.

"Aku Niluh. Aku lihat kamu sering ke sini," gumam Niluh membuka obrolan.

Young-Gi sama sekali nggak kelihatan tertarik untuk bicara. Ia hanya meminum moknya seperti buru-buru. Nggak juga melirik Niluh sama sekali.

"Udah sering ke sini, ya? Sepertinya—"

"Maaf, tapi aku harus pergi. Terimakasih sudah memperkenalkan diri," Young-Gi bangkit dari duduknya dan meninggalkan Niluh begitu saja.

Minuman yang dipesannya bahkan belum habis sampai setengahnya. Sepertinya seorang Niluh Priyahita baru saja membuat kesalahan.

👣

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang