6

95 15 0
                                    

Setelah percakapan kecil yang mereka lakukan Sabtu malam lalu, nyali Niluh jadi lebih muncul ke permukaan. Meski jantungnya berdegup nggak keruan ketika melihat Young-Gi datang dan duduk di tempat biasa, ia mencoba memberanikan dirinya. Lagi.

Kali ini ia hanya membawa laptop dan tas di pelukannya. Nggak ada kentang goreng ataupun mok kopi. Sore itu hujan masih setia membasahi tanah kotanya. Sesetia pria ini yang sudah bertahun-tahun mampir ke sini.

"Joesonghamnida," buka Niluh ragu, "Boleh aku ikut duduk di sini?"

Sejenak Young-Gi yang selalu mengenakan topi baseball, menoleh ke sekelilingnya.

"Memang masih banyak bangku lain. Tapi, aku cuman cari teman ngobrol... untuk mengasah kemampuan bahasaku juga."

Mulut Young-Gi mengerucut. "Gwaenchana," jawabnya masih tanpa seulas senyuman pun. "Kamu bisa duduk di sini."

"Aku nggak akan menipu, kok," kata Niluh melemparkan candaan super krispi.

Candaan yang jelas tak membuat seorang Park Young-Gi tersenyum sedikit pun.

"Jadi, kamu udah berapa lama jadi pelanggan di sini?"

"Kamu cuman bakal mengetik dan nggak memesan apapun?" Alih-alih menjawab, Young-Gi malah menanyakan hal itu. "Emangnya boleh?"

"Oh, kebetulan pemiliknya adalah temanku. Dan... aku sudah pesan, kok," bersambut kalimat itu, pelayan datang seolah menjadi penyelamat Niluh.

Dan Niluh baru sadar, itu pelayan yang sama ketika Niluh dicampakkan oleh Park Young-Gi di sini. Ya Tuhan... semoga dia nggak melihat hal yang sama untuk kedua kalinya.

"Caramel macchiato. Semua pesanan sudah keluar, ya?" tanya pelayan itu sambil melirik Niluh penuh makna.

"Ngg, ya. Sudah. Eh, belum. Satu lagi. Pancake," jawab Niluh kikuk dan salah tingkah.

"Mungkin setahun atau dua tahun belakangan," buka Young-Gi lagi tiba-tiba. Untung saja Niluh masih ingat percakapan terakhirnya apa.

"Teman aku senang karena dia punya pelanggan seperti kamu," Niluh menggeser cangkirnya untuk memberikan ruang bagi laptopnya. "Memangnya, apa yang kamu suka dari kafe ini? Sampai sering datang ke sini?"

"Kamu sendiri?" lemparnya begitu saja. Cepat, tanpa berpikir.

Mulut Niluh terbuka namun ia ragu, "Aku? Yah, aku—" matanya menatap laptop di hadapannya, "Numpang kerja di sini. Akses wifinya bagus. Dan pemiliknya kenal denganku. Atmosfernya juga enak."

Young-Gi hanya mengangguk saja. Sejenak Niluh menunggu jawaban pria itu. Namun, pria itu hanya menatap ke jendela.

Niluh berusaha untuk mengabaikan rasa penasarannya yang meluap-luap. Semua butuh proses. Perlahan-lahan, berulang kali ia gumamkan nasihat itu pada dirinya sendiri. Namun, percuma. Ia tidak tahan.

"Young-Gi si," panggilnya perlahan. Pria itu hanya melirik sekilas saja. "Boleh nggak aku bertanya sesuatu?" ucapnya.

"Bukannya kamu sudah bertanya sejak tadi?" timpalnya dingin. Sedingin mok di genggaman tangannya itu, mungkin.

Niluh mengatupkan bibirnya sebentar, sebelum kemudian mulai angkat suara, "Apa sih yang menarik dari pemandangan di balik jendela ini?"

Young-Gi meletakan moknya dan terhenyak.

"Kayaknya beberapa kali aku lihat, kamu sering terpaku menatap jendela ini. Apa yang—begitu menarik dari—jendela besar ini?" tanya Niluh hati-hati.

Bibir merah Young-Gi mengatup dan matanya memicing. Sejenak ia membenahi letak topi baseball yang dikenakannya.

"Apa iya?" tanyanya setelah cukup lama. "Apa aku terlihat terkesima dengan jendela besar ini?" ucap pria itu ditutup dengan desisan tawa terpaksa.

"Sepertinya," jawab Niluh ragu-ragu. Semakin gentar karena melihat Young-Gi rupanya tidak seterbuka pikirannya. "Oh ya, aku senang deh kamu mau ngobrol denganku. Udah lama tinggal di Indonesia?"

"Sekitar—tiga tahun? Entah. Aku nggak pernah menghitung waktu," jawab Young-Gi membuat suasana perlahan mencair.

Niluh mengangguk lalu mengetikkan sesuatu di laptopnya.

"Kamu... nggak lagi menulis sesuatu tentang aku, kan?" tandas Young-Gi pada Niluh, "Aku bukan orang terkenal."

Niluh nggak bisa menahan tawanya. Ia mengangkat kaca matanya ke kepala dan menyandarakan tubuhnya ke belakang.

"Tenang, aku bukan jurnalis, Young-Gi si. Aku penulis. Jurnalis dan penulis berbeda, loh."

Young-Gi hanya mengangguk seolah nggak tertarik dengan penjelasan Niluh barusan. Lagi, pria itu menoleh ke jendela.

"Aku juga suka memperhatikan keramaian jalanan dan lalu-lalang di depan sini. Apalagi saat hujan. Rasanya kayak menyaksikan kesibukan orang-orang di layar kaca," jelas Niluh.

Kepala Young-Gi bergerak miring, matanya menyipit, namun tak ada sepatah kata pun keluar.

"Kamu tinggal di Korea daerah mana? Korea Selatan, kan?" Niluh memutar otak mencari topik lain.

"Incheon."

"Wah," mulut Niluh menganga, "Kamu dekat dengan bandara, dong? Ah, aku pernah melihat bandara itu di salah satu tayangan. Saat itu aku sedang riset dan belajar bahasa. Jadi, yah... harus menonton banyak drama," ungkap Niluh tanpa diminta.

"2 jam dari rumahku. Bandara yang kamu maksud. Dan aku nggak tahu drama apa yang kamu tonton," jelasnya.

"Judulnya... ngg... apa ya, aku lupa? Eh, memangnya orang Korea sendiri nggak suka nonton drama, ya? Padahal terkenal ke negara lain, ya," ujar Niluh antusias.

Namun antusiasme di mata Niluh meredup ketika melihat Young-Gi kembali menghela napas.

"Nggak bisa ya kamu fokus mengerjakan pekerjaanmu aja?" sergah Young-Gi, kembali dengan tatapan mata risi seperti di kasir saat itu.

Tenang Niluh, semua butuh proses. Dia mau bicara dan mempersilakanmu duduk saja sudah merupakan perkembangan luar biasa.

🪟

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang