14

86 14 0
                                    

Hari-hari Niluh sebulan ini cukup mendung.

Sama seperti hujan yang nggak kunjung henti di langit. Dokter dan perawat sudah mulai hapal padanya. Sesekali dia memilih bekerja di kafetaria dan nggak pergi ke kafe. Meski harus ia akui, otaknya seperti mampat kalau bekerja di sana.

Tapi sesuatu yang nggak biasa hadir di dekatnya hari ini. Ibarat matahari yang muncul di penghujung hujan, kehadiran pria ini nggak hanya menarik perhatian Niluh. Tapi, lagi dan lagi, beberapa orang yang melintas.

"Kamu nggak risi saat orang-orang melirikmu, Young-Gi si?" tanya Niluh sambil berbisik.

Pria yang kepalanya sedang terkulai di meja itu pun mendongak. "Ya. Apalagi saat kamu sering menatapiku dulu. Risi dan kesal," jawabnya malas.

Niluh tertawa, "Aku memang begitu, Young-Gi si. Nggak ke kamu aja, tapi hampir semua orang yang menurutku menarik."

Mendengar itu, tubuh Young-Gi langsung menegap. Ia membenarkan posisi topinya. "Menarik? Apa yang membuatmu tertarik padaku?"

Sejenak perempuan itu berpikir. Ia menyangga dagunya dengan kedua tangan. "Sebentar, ya. Biar kupikirkan dulu. Pertanyaan sulit."

Young-Gi berdesis mencibir.

"Pertama, karena alasan mendasar. Kamu orang Korea. Kedua, kamu selalu memilih menu yang sama."

"Tahu dari mana?" tantang Young-Gi.

"Kamu lupa, pemilik kafe itu dekat denganku. Dan bagiku yang hampir setiap minggu, selama enam bulan berturut-turut ke sana, jelas sekali."

"Geurae?"

Niluh mengangguk. "Terakhir, karena... kamu... hmm... selalu duduk di spot sama, seorang diri, dan memandang jendela."

Detik itu, Park Young-Gi terhenyak. Rupanya, perasaan dia bahwa ada yang mengamatinya itu benar. Perempuan ini pengamat itu.

"Oh ya, kenapa sih kamu suka sekali pakai topi? Padahal," Niluh meraih gelas teh manis hangatnya dan menyesapnya sekali, "Seperti kubilang. Saat kamu membuka topimu, auramu lebih kentara."

"Aura apa?" sergahnya cuek.

Aura yang Niluh sendiri nggak tahu apa. Sulit mendefinisikannya. "Rambutmu juga nggak buruk. Apa yang salah?"

Bibir Young-Gi mengatup, "Sama seperti kamu yang mengenakan headset tanpa memutar musik apapun. Apa yang kamu rasakan?"

"Ih, udah kubilang, waktu kamu menariknya, playlist ku belum terputar, tahu?" protes Niluh nggak terima. "Hmm, apa kamu jadi sering mengenakannya pasca kecelakaan itu?" tanya Niluh nggak yakin.

"Sepertinya... Aneh sekali, kamu bisa tahu itu. Kamu menguntitku sejak lama, ya?" canda Young-Gi sambil menyipitkan mata.

"Heh, enak saja! Kan kamu bukan orang penting," sergah Niluh.

Karena mengenakan topi itu bisa jadi kompensasi atas perasaan terancam Young-Gi akan cedera otaknya.

"Omong-omong, terimakasih ya sudah mampir ke sini. Dan... menemaniku di kafetaria ini," gumam Niluh dengan ekspresi lebih serius.

"Nggak masalah. Aku kan memang berniat membesuk mamamu. Juga... hmm... jalan-jalan."

"Jalan-jalan ke rumah sakit?" todong Niluh sambil tertawa.

Baru saja seorang perawat muda dan kawanannya berbisik dan melirik Young-Gi lekat.

"Kalau kamu jadi pacarku, rasanya aku akan sering jengkel deh, Young-Gi si."

Kerut Young-Gi di dahi tampak, "Kenapa tiba-tiba bicara begitu?" ujarnya heran.

Niluh mengangkat bahu, "Karena mereka sering memandangimu. Apapun alasannya. Aku ini tipikal wanita posesif, kamu tahu?" Mata Niluh memicing saat mengatakan itu.

"Ya, aku percaya," sahut Young-Gi menahan tawanya. "Omong-omong, memangnya kamu nggak punya kekasih?"

Niluh yang sedang menyesap tehnya lagi langsung berdesis, tertawa hampa. "Wah, sudah cukup lama kita kenal. Kamu baru bertanya?" Ia berdecak.

"Awalnya kupikir pemilik kafe itu kekasihmu, tapi setelah melihatmu jarang dengannya lagi, aku jadi nggak yakin," jawab Young-Gi.

"Melvin bukan pacarku," bantah Niluh santai. "Dia temanku. Seperti kita, berteman," tambahnya.

"Ara," gumam Young-Gi.

Ketika mereka sedang asik berbicara, dokter Kafindias, dokter yang menangani mamanya melintas sambil membawa kantong plastik hitam di jinjingannya.

"Dok," sapa Niluh sopan sambil tersenyum. Dokter itu pun menghampirinya tanpa ia duga.

"Sedang bekerja, ya?" tanyanya mulai hapal. "Kali ini membawa teman?" tanyanya sambil menoleh ke arah Young-Gi.

Pandangannya mendadak berubah saat melihat pria Korea ini. Sejenak ia seperti mengamati.

Namun kemudian ia kembali menoleh pada Niluh, "Baiklah. Saya duluan, ya. Selamat bekerja," pamitnya kemudian berlalu.

"Dia dokter yang menangani mamaku," jelas Niluh saat dokter Kafindias berlalu.

"Tunggu sebentar," gumam Young-Gi dengan tatapan penasaran. "Sepertinya wajah itu akrab di ingatanku," katanya berusaha mengingat.

"Maksudmu?"

"Wajahnya seperti pernah kulihat. Tapi di mana, ya?" renungnya sambil berdecak.

"Wah, kenapa duniaku dan duniamu selalu beririsan, ya? Waktu itu Fabian, sekarang dokter ini, apalagi, ya?" gumam Niluh nggak habis pikir. "Sepertinya kita memang berjodoh."

Kali ini Young-Gi tak merespon kalimat Niluh sama sekali. Ia fokus mencoba membangkitkan ingatannya lagi. Siapa tahu dokter ini bisa mengembalikan serakan memorinya itu. Tapi, kepalanya mulai berdenyut sakit setiap ia berusaha mengenangnya.

"Young-Gi si, kamu baik-baik saja?" tanya Niluh cemas.

Pria itu mengerjapkan mata. Dokter itu... Dokter itu...

"Kamu benar," gumamnya pada Niluh, "Kepingan itu nggak ada di kafe. Tapi mungkin di luar seperti ini. Aku rasa... dokter itu tahu sesuatu soal hilangnya memoriku," ungkap Young-Gi.

Dan entah kenapa, kenyataan bahwa ada pintu bagi Young-Gi menemukan kembali memorinya bukanlah gagasan yang Niluh sukai.

😔

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang