15

80 12 0
                                    

"Jadi begitu, ya? Hmm, baiklah. Setelah ini aku akan ke sana. Ya. Aku akan berhati-hati, kok. Dah," pungkas Niluh dengan nada murung.

Ia letakkan ponselnya di atas meja, kemudian melepaskan kacamatanya. Ia memegangi kepalanya pening.

Apa yang sebenarnya kurasakan sekarang? Pikirnya heran.

Ia nggak mengerti apakah kabar semakin kritis mamanya itu membuatnya sedih atau malah lega. Lega? Jahat sekali kedengarannya.

"Hei, kamu baik-baik saja?"

"Oh, Melvin," kepala Niluh terangkat. Ia memajang senyuman palsu di wajahnya. "Aku nggak lihat kamu sampai di sini. Kapan datang?"

Pria yang mulanya berdiri itu kemudian beranjak duduk di bangku depan Niluh. Sambil melepaskan kancing teratas kerah kemejanya.

"Baru saja," jawabnya menghela napas, "Lalu aku lihat kamu tertunduk lemas begitu. Anemia lagi?" tanyanya cemas.

Niluh menggeleng. Tubuhnya yang baru kehilangan beberapa kilo bersandar ke belakang. "Nggak, kok. Aku hanya baru ditelepon kakakku."

Tubuh Melvin menegak, "Oh ya? Kabar mamamu, bukan?"

Kepala Niluh mengangguk kemudian ia menoleh menatap jendela. Rintik hujan mulai menderas di luar sana. Ia pandangi kosong jendela itu kemudian beralih menatapi laptopnya.

Hati ini berkata kalau mungkin saja ini kali terakhir ia akan melihat wajah mamanya. Sepertinya ia memang harus cepat-cepat pergi dari sini. Bukan nanti atau beberapa saat lagi.

Ia pun mulai memasukkan kacamatanya ke wadah, memadamkan laptopnya, mengemasinya, dan mengenakan jaket varsity kakaknya.

"Aku harus pergi sekarang, Melv," katanya sambil berdiri.

"Kamu mau ke rumah sakit? Mau kuantar?" tawar Melvin mengikuti langkah Niluh menuju pintu keluar.

"Nggak usah, terima kasih. Lagipula hujan."

"Aku bisa mengantarmu dengan mobil. Leo, mobil sedang menganggur, kan?" teriaknya pada salah satu barista yang sedang mengantarkan pesanan.

"Sungguh, nggak usah, Melv. Aku bisa pergi sendiri. Aku pamit dulu ya," ujar Niluh sambil mendorong pintu.

Bersamaan dengan Young-Gi yang baru saja tiba. Lelaki itu mengenakan hoodie tanpa topi yang biasa dikenakannya. Tangannya memegangi kenop pintu.

"Kamu mau ke mana? Buru-buru sekali," ucapnya.

"Aku harus pergi ke rumah sakit. Maaf nggak bisa menemanimu hari ini," ujar Niluh menarik pintu lebih lebar.

Melvin masih memandangi perempuan dan menanti. Apakah firasatnya benar. Tentang apa yang akan diucapkan perempuan dan pria ini.

"Ke rumah sakit?" tukas Young-Gi, "Kalau begitu, biar kuantar. Aku juga ada kepentingan ke sana," ucapnya cepat. Ia melipir dan memberi ruang jalan Niluh ke luar kafe.

"Gimana bisa kamu tiba-tiba punya kepentingan ke sana?" ucap Niluh sambil menatap pria jangkung itu dan tertawa kecil.

"Aku baru ingat setelah kamu bilang. Eh, maksudku bukan mengantar, tapi menemani. Soalnya kita akan sama-sama naik kendaraan umum," jelas pria Korea itu pada Niluh.

"Ya udah, bicaranya sambil jalan saja. Mari, Melv," ungkap Niluh dibarengi anggukkan ramah Young-Gi di sisinya. "Pasti kamu nggak bawa payung."

Melvin sempat mendengar pertanyaan itu diajukan Niluh sambil tertawa kecil. Hal yang kemudian berbalas tawa canggung Young-Gi padanya.

Aneh.

Padahal, ia yakin dirinya kenal Niluh lebih lama. Tapi kenapa belakangan ini seperti membatasi diri dengannya, sih?

"Sepertinya dokter tempo hari itu adalah dokter yang menanganiku saat kecelakaan. Di tempat. Sebelum kemudian aku ditangani tim lain di rumah sakit lain," jelas Young-Gi begitu mereka berhasil mencegat dan masuk ke dalam taksi.

Niluh hanya mengerucutkan bibirnya saja.

"Kurasa, aku bisa bertanya padanya. Siapa tahu dia yang ingin kuingat itu juga ada di sana saat kecelakaanku," ucap Young-Gi lagi.

Bukan momen yang tepat untuk membicarakannya, pikir Niluh. Tapi ia nggak ingin terlihat sedih di saat sebetulnya Young-Gi mulai menemukan jalan keluar.

"Menurutmu bagaimana? Bisakah kamu bantu aku bicara dengan doktermu?"

Aneh juga.

Bukannya Niluh yang ingin menolong Young-Gi menemukan memorinya lagi? Kok, sekarang hatinya malah terasa berat untuk bilang iya?

"Kamu ... apa kau sedang nggak ingin membicarakannya? Aku..."

"Jamkkanman yo," pinta Niluh, matanya mengerjap, "Tadi kepalaku seperti bingung memproses kalimatmu," sanggah Niluh. Alibi. Ia sendiri tak paham isi hatinya. "Kamu mau bicara dengan dokter itu?" ulangnya.

Young-Gi mengangguk sambil tersenyum. "Bisakah?" pintanya.

Niluh menghela napas. "Akan kucoba," jawabnya enggan kemudian menoleh ke samping. Membuang muka.

Saat tiba di koridor ICCU, langkah Niluh melambat. Ia sudah melihat keluarganya berkumpul. Beberapa saudara-saudaranya bahkan menangis dan berpelukan.

Apa ini... Apa ini...

"Niluh," gumam Young-Gi sambil memandangi gadis itu penuh kegundahan. Gadis itu kini hanya berdiri dan memperhatikan pemandangan di depannya. "Kamu..."

Niluh menoleh dan mendongak menatap Young-Gi. "Jawabannya sekarang, Young-Gi si."

Pria di dekatnya itu menatapnya bingung.

"Pertanyaan sampai kapan-ku yang waktu itu. Mama akhirnya pergi," lengkapnya kemudian berlalu meninggalkan Young-Gi yang terpaku diam.

Memandangi gadis yang tampak berusaha menutupi kekalutannya itu, kenapa hatinya ikut bersedih?

🌧️

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang