1

282 22 0
                                    

"Apaan ini, Melv?"

"Pumpkin spice latte. Gimana menurut kamu?"

Lidah Niluh beberapa kali mencecap getir. Buru-buru ia sisihkan cangkir kecil itu dan beralih meneguk sisa Caramel Macchiato miliknya.

"Kamu masukkin apa aja sih, ke dalamnya?" sergahnya masih berusaha menghilangkan aftertaste minuman itu.

Dahi Melvin mengerut, tubuhnya condong dan bersandar ke depan meja bar itu, "Ya... selayaknya latte aja. Susu, espresso."

"Nggak. Maksudnya, well, bukan cuman sirup, susu, sama espresso aja, dong? Pasti ada bahan lainnya selain itu dan labu. Pumpkin tuh artinya labu, kan?" tandas Niluh curiga.

"Yah..." Melvin menegakkan tubuhnya seraya meraih cangkir kecil yang Niluh tepikan. Racikan hasil eksperimennya. "Benar, sih. Aku emang masukin pumpkin pie spices juga," jawabnya ragu, "Sejenis rempah-rempah yang bisa menghangatkan tubuh."

"Contohnya?" todong Niluh sesekali melirik cangkir itu enggan. Ini sih lebih mirip racikan herbal ketimbang kopi.

"Yah... jahe, pala, dan... kayu manis," sahut Melvin, suaranya terdengar kurang yakin. Ditambah dengan suasana kafe yang semakin sore semakin ramai. "Bukannya itu cocok banget untuk musim hujan gini, ya?"

Niluh menarik napas seraya menggelengkan kepala. Benar kan, racikan herbal.

"Masa, sih? Kirain, bakal jadi salah satu racikan yang laku di musim kayak gini. Emangnya, apanya yang bikin kamu nggak suka? Apa karena terlalu banyak pala, ya? Eh, atau jahenya?"

"Semuanya, Melv. Se-mu-a-nya," jawab Niluh kemudian tertawa. "Tapi nggak tau deh, coba nanti kasih ke Alka. Mungkin emang cuma aku yang nggak suka," tambah Niluh nggak ingin mematahkan semangat kawannya.

"Gimana sih, bukannya kamu udah janji bakal ngomong jujur, ya? Terus, apa yang musti aku betulin dari racikannya?"

"Gimana kalau... coba ilangin jahenya," usul Niluh, alisnya terangkat dan bibirnya tersenyum, "Terus juga palanya, kayu manisnya boleh, sama labunya. Terus, kamu ganti sama karamel dan kasih milk foam di atasnya?"

"Ah, itu sih, jadinya kopi kesukaan kamu, dong?" Melvin menggeleng-geleng seraya mencicip racikannya sekali lagi.

"Ah ya, annyeonghasimnika," dengan cepat ekspresi wajah Melvin berubah.

Ia singkirkan cangkir kecil itu dan beralih menyapa seseorang. Tepat di samping Niluh dan ia bisa merasakan kehadirannya karena seketika cahaya dari samping terhalang tinggi tubuh sosok itu.

"Seperti biasa? Large caramel macchiato, bukan?" ujar Melvin dalam bahasa Korea.

"Ya. Sama french fries," tambah pria itu lagi sambil mengeluarkan dompet dari saku ripped-jeans hitamnya.

Sulit rasanya bagi Niluh untuk nggak melirik ke samping. Pasalnya, laki-laki bertubuh jangkung itu berdiri menjulang tepat di sisinya. Dan sulit pula bagi seorang Niluh untuk nggak menatap seseorang terlalu lekat seperti ini.

Sementara Melvin bergerak gesit ke belakang seraya menginstruksikan pada satu barista andalannya, Niluh mulai memperhatikan pria ini. Ada kecanggungan yang nggak terhindarkan, terutama saat pria itu menoleh dan balik menatap Niluh.

Bukan dengan tatapan hangat, tapi risi.

"French fries dan hot caramel macchiato, semuanya total 87 ribu rupiah," ucap Melvin nggak lama kemudian.

Pria itu pun menyerahkan selembar uang seratus ribu dan bergegas pergi sebelum Melvin memberikan kembalian.

"Gamsahamnida," teriak Melvin ditutup dengan senyum. Senyuman yang memudar ketika tatapannya mendarat pada Niluh kembali. "Heh, bisa nggak sih, nggak menelanjangi pelanggan aku seenak hati kamu?" tegur Melvin.

"Hah? Menelanjangi gimana?" Niluh menyesap kopinya sambil menegakkan posisi duduknya. Sekilas ia melirik jam di tangannya.

"Tadi. Kamu ngeliat orang tadi seolah-olah mau melahapnya. Kebiasaan, deh. Mengobservasi orang udah kayak sipir penjara ke tahanannya! Tolong ya, jangan terlalu sering begitu ke pelanggan di sini."

Niluh mendekatkan tubuhnya ke Melvin, "Kayaknya, aku sering lihat dia ke sini, deh. Dia pelanggan setia kamu, Melv?" bisiknya.

"Iya. Dia sudah sering ke sini sebelum kamu mendadak jadi pelanggan setia di sini. Aku lupa sih kapan pastinya, beberapa minggu setelah soft opening kafe ini sepertinya?" jelas Melvin.

Melvin masih bisa berbincang dengan Niluh karena belum ada pengunjung yang memesan lagi.

Niluh kembali memutar tubuhnya. Tepat di sisi kafe ini, di dekat jendela, di bangku yang selalu saja sama, pria berdarah Korea itu kini duduk dan memandang ke luar jendela.

"Dia nggak pernah pesan minuman selain caramel macchiato, sih. Kayaknya karena minuman itu salah satu yang enak dinikmati kalau udah dingin. Dan kentang goreng. Nggak pernah pesan makanan lain."

Pantas saja. 

Niluh memang sempat bertanya-tanya, di musim hujan seperti ini kenapa pria barusan nggak coba mengganti pilihan kopinya. Karena kan selalu ada menu special season. Terlihat hoodie hitam yang dikenakannya agak basah terkena hujan.

"Dia bisa diam di sana berjam-jam, loh. Tiga sampai empat jam, mungkin. Waktu nongkrong yang lama buat seseorang yang datang sendirian, sih. Dan nggak laptop-an," tambah Melvin.

"Sendirian? Gak laptop-an?" tanya Niluh tanpa meninggalkan tatapannya pada pria itu sedetik saja. "Dan cuman duduk diam gitu?" tambahnya lagi.

"Iya, benar-benar nggak melakukan apapun."

"Terus, kamu nggak tergerak untuk bertanya apa yang sebenarnya dia lakukan, gitu?"

Pria itu terlihat baru saja menghela napas karena bahunya bergerak, ia lalu menjangkau mok minumannya setelah sekian lama. Meminumnya, masih dengan tatapan kosong ke depan.

"Nggak etis deh rasanya kalau aku tanya begitu. Lagipula, aku buka kafe ini juga supaya pengunjung bisa menghabiskan waktunya di sini sih, ditemani seduhan minuman. Bahkan meski sendirian."

"Tapi, bukannya tugas barista itu menyamankan pelanggan, ya? Gimana kalau ternyata dia punya masalah besar?" Niluh akhirnya memutar tubuhnya lagi menghadap Melvin. "Coba deh pikir, hampir dua tahun dia kayak gitu. Kalau aku jadi kamu, aku sih ngerasa janggal."

"Ah, udah lah. Aku malah senang dia bisa bertahun-tahun betah di sini. Artinya, kafe ini udah seperti rumahnya, kan?"

Aneh. Tetap nggak masuk akal.

Niluh yang baru beberapa bulan berlabuh di sini saja terkadang merasa jenuh. Ingin ganti suasana. Padahal, dia ke sini nggak seorang diri, melainkan selalu ngobrol sama Melvin, Alka, atau barista di sini.

Dan pria itu, bertahun-tahun, seorang diri, nggak melakukan apa-apa, hingga berjam-jam.

"Siapa namanya?" gumam Niluh nyaris tak terdengar karena ada seorang pelanggan yang datang memesan. Sejenak pertanyaannya terabaikan hingga Melvin selesai melayani pelanggan itu. "Siapa nama cowok itu?" ulang Niluh.

"Park Young-Gi," jawab Melvin cepat kemudian berlalu ke belakang sambil membawa cangkir racikannya.

Di balik kebiasaannya itu, pasti ada sesuatu, pikir Niluh.

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang