19

173 16 2
                                    

Angin berhembus dan Niluh merapatkan kardigan yang dikenakannya. Ia masih belum bisa percaya bahwa dirinya sedang berjalan di sisi Park Young-Gi setelah sekian lama.

"Sebenarnya... apa yang akan kamu sampaikan padaku?" buka Niluh melihat Young-Gi yang sejak tadi asik menikmati jalan santai mereka. "Dingin sekali, bukan udara segar yang kita dapat," komentar Niluh.

"Kamu mau aku melepaskan jaket dan menyampirkannya padamu? Atau menggenggam tanganmu dan memasukannya ke saku jaketku?" ucap Young-Gi sambil mengerling.

"Eh, apa sih. Aku serius. Kamu mau bilang apa? Katanya tadi kamu mau mengatakan sesuatu?"

Mereka berhenti di depan tukang gorengan. Niluh terheran, mau apa dia? Dia mengajaknya jalan ke luar hanya untuk membeli ubi dan tahu isi goreng?

"Aku nggak hanya suka almond, aku juga suka ubi dan tahu ini. Kamu belum tahu, kan?" ucapnya melanjutkan langkah mereka yang entah dibawa ke mana ini.

Niluh masih diam dan mencoba menebak mau pria ini apa. Hingga akhirnya Young-Gi memilih duduk sebentar di bangku kosong depan swalayan 24 jam.

"Gadis itu bilang aku pernah berjanji akan melamarnya."

Hati Niluh seolah diseduh air panas. Nyeri dan perih.

"Bagaimana menurutmu?" tanya pria itu dengan wajah serius.

Niluh melepaskan topi Young-Gi yang dikenakannya dan meletakannya di meja. "Janji ya harus ditepati. Bukankah dia adalah jawaban dari dua tahun usahamu?"

Yang pasti milikmu akan kembali. Dan kau bukan milikku tapi miliknya, pikir Niluh getir.

"Masalahnya," Young-Gi mencondongkan tubuhnya seraya menghabiskan sisa potongan tahu di tangannya. Sejenak ia sibuk mengunyah, "Selama ini rupanya dia masih berhubungan dengan Samchon dan dia nggak mencoba menghampiriku. Bagaimana menurutmu sebagai wanita?"

Niluh diam. Gadis yang Young-Gi maksud pasti punya alasan melakukan itu. Ia pun bertanya apa alasannya dan Young-Gi menjelaskan. Cukup tak masuk akal.

"Tapi bagaimana pun, kamu sudah berjanji."

"Katakan yang sesungguhnya, Niluh," pinta Young-Gi dengan tatap mata tajam dan lekat, "Aku yakin itu bukan jawabanmu."

"Bagaimana bisa kamu seyakin itu?"

"Karena kalau kamu memang mau aku begitu, kamu nggak akan banyak berkicau galau di Twitter-mu."

Mata Niluh terbelalak, "Kamu... Eh, kamu tahu dari mana? Maksudku, kamu... salah satu pengikutku di—"

"Sudah, jadi, bagaimana menurutmu? Jawaban yang benar-benar dari dalam hati."

Sejenak kepala Niluh tertunduk.

Pikirannya masih bertanya-tanya juga, bagaimana bisa Young-Gi menjadi pengikutnya tanpa ada notifikasi sama sekali? Aneh.

Tapi bukan itu masalahnya sekarang. Niluh menarik napas dalam kemudian mengangkat kepalanya.

"Kamu mau tahu? Jawaban jujurku?" tantangnya, "Jika itu yang kamu mau... Aku akan menyuruhmu untuk nggak melamarnya karena aku nggak mau kamu mendadak hilang dari hidupku. Puas?" tegasnya.

Hening.

Niluh nggak percaya ia mengatakan isi hatinya pada pria ini. Bagaimana bisa? Apa yang Niluh harapkan sebenarnya?

"Geurae yo," jawab Young-Gi singkat sambil mengangguk. Niluh menatapinya dengan kerut di kening. Hanya itu jawabannya?

"Benar, kan. Bertanya padaku nggak akan memberimu solusi. Karena pada akhirnya kamu hanya akan melakukan apa yang kamu mau."

"Baiklah," sahut pria itu lagi, "aku nggak akan melamarnya."

"Eh?" tandas Niluh.

"Kamu bilang, kamu nggak mau aku hilang dari hidupmu, kan? Melamarnya berarti besar kemungkinan kita nggak bisa bertemu seperti ini lagi."

Meski kebingungan masih menaungi kepala Niluh, tapi kini hatinya hangat. Bahkan saat diterpa angin seperti ini.

"Jadi, bagaimana? Tapi kamu harus bertanggung jawab," ungkap Young-Gi lagi. "Kamu bilang, kamu akan membuatku jatuh cinta pada musik."

Niluh kembali terheran-heran.

"Tapi rupanya aku nggak hanya jatuh cinta pada musik, melainkan juga padamu," ungkapnya santai, sama sekali jauh dari gaya bicara lirih dan melodramatis seperti di drama.

"Kenapa?" bisik Niluh, "Kenapa kamu bisa jatuh cinta padaku?"

"Karena kamu menyebalkan. Kamu memperhatikanku selama ini dan hanya kaue yang berani nekat mendekatiku untuk mencari tahu sebab aku menatapi jendela bertahun-tahun. Juga karena kamu yang memaksaku mengingatmu saat mendengar sebuah lagu."

"Eh? Bagaimana bisa kau jatuh cinta pada orang yang menurutmu menyebalkan?" gumam Niluh.

Pria itu memainkan topi di meja dan memandanginya, "Karena saat kamu tidak ada, aku malah rindu kelakuan menyebalkanmu."

Kembali, hatinya seperti disentuh pelan-pelan. Ada listrik tak jelas ketika Niluh mendengar kalimat itu.

"Jadi, bisakah kamu jatuh cinta padaku meski aku nggak sedang mengenakan pakaian chaebol itu?"

Niluh tertawa, namun ia sontak memandangi Young-Gi yang detik ini mengenakan jaket bomber hitam, ripped jeans, lengkap dengan sneaker.

"Karena kamu lebih asik dengan setelan ini, kuakui mudah bagiku jatuh cinta padamu," ucap Niluh ditutup senyuman.

Park Young-Gi tertawa kemudian bangkit menghampiri gadis di depannya.

"Satu lagi," bisiknya sambil memakaikan topi itu lagi pada Niluh, "Karena hanya kamu yang berani mengomentari keputusanku untuk selalu pakai topi," tambahnya.

Menyadari angin semakin kencang dan sepertinya hujan akan turun sebentar lagi, juga tatapan pejalan kaki yang membuatnya risi, Niluh pun ikut bangkit dan menyambut genggaman tangan Park Young-Gi.

"Nah, sekarang sudah persis oppa di drama, kan?" ucapnya seraya memasukkan tangan Niluh ke saku jaket yang dikenakannya.

Hati ini terasa begitu hangat, pikir Niluh tak bisa menghilangkan senyuman di wajahnya.

Ketakutan terbesar Niluh adalah ia takut dirinya hanyalah dianggap debu di mata Park Young-Gi. Namun rupanya ketakutannya itu tak beralasan.

Ia mungkin memang debu. Tapi angin telah membawanya hinggap dan menetap di hati seorang Park Young-Gi, bukan malah menyerpih lalu lenyap.

🌬️

A Dust In Your Eyes (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang