Tut... tut... tut...
Telepon pun terputus.
"What the fuck is that? A prank call? Shit!" Kata Arthit sambil melemparkan ponselnya ke kasur.
Arthit lalu memandang ke sekitarnya. Benar-benar berantakan. Ini adalah salah satu kekurangannya yang paling parah. Jika dia sedang emosi, dia akan mengobrak-abrik semuanya yang ada di depannya. Yah, Arthit memang tidak terlalu pintar menahan emosi. Walaupun dari luar dia kelihatan sangat manis dan baik hati, tapi jangan coba dekati dia ketika dia sedang marah, atau dia akan benar-benar membunuhmu saat itu juga.
"Sial. Sial sial sial." Arthit masih mengumpat.
Dia lalu memandang ke depan. Memandang cermin retak yang sudah terkotori oleh darah dari tangannya. Arthit menghela nafasnya pelan, lalu bergegas mengambil kotak obat di laci lemarinya. Namun ketika dia membuka laci lemarinya untuk mengambil kotak obat itu...
Lagi lagi.
Lagi lagi... dia menemukan beberapa fotonya dan Praepailin yang masih tersimpan rapi.
Untuk kesekian kalinya. Arthit hanya bisa terdiam sambil menghela nafas. Dia tidak menyentuh sedikit pun foto-foto itu, melainkan hanya memandanginya dengan tatapan sendu.
"Prae... aku sangat merindukanmu. Tolong katakan padaku, bagaimana caranya aku bisa bertahan hidup tanpamu. Kau lihat kan, aku benar-benar berantakan disini." Ucapnya lirih.
Arthit kemudian mengambil kotak obat itu dan segera menutup lagi laci lemarinya.
Belum sempat Arthit mengobati lukanya, tiba-tiba Bright masuk ke kamarnya tanpa mengatakan apapun. Matanya berputar memandangi kamar Arthit yang sudah seperti medan perang itu.
Arthit menatap Bright tajam.
"Sepertinya aku harus cepat-cepat membetulkan kunci pintunya supaya kau tidak bisa seenaknya keluar masuk ke kamarku." Kata Arthit lagi sambil duduk di kasurnya dengan malas.
"Dan sepertinya aku harus cepat-cepat memasukkanmu ke rumah sakit jiwa sebelum kau bertambah parah. Lihatlah apa yang kau perbuat disini? Astaga... kau bahkan bukan anak kecil lagi. Apa kau harus selalu merusak barang ketika kau sedang mengamuk, bocah? Hah?" Kata Bright. Arthit hanya diam tak menggubris ocehan kakaknya. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya-mengobati tangannya yang terluka itu.
Bright mengerutkan keningnya melihat adiknya yang sangat keras kepala itu. Perlahan Bright mendekatinya dan duduk di sebelahnya. Tanpa berkata-kata, Bright meraih tangan kanan Arthit untuk mencoba membantunya mengobati lukanya.
"Aku bisa melakukannya sendiri!" Kata Arthit sambil menarik tangannya kasar. Namun Bright tidak peduli. Dia kembali menarik paksa tangan Arthit.
"Jangan bergerak! Biarkan aku membantumu." Ucapnya.
"Aku bilang aku bisa melakukannya sendiri!"Arthit kembali menarik tangannya kasar.
"Heh, aku ini dokter! Percayalah padaku, jika kau mengobati lukamu dengan cara yang seperti itu, kau akan benar-benar berakhir dengan mengamputasi tanganmu sendiri!" Kata Bright. Dia kemudian menarik kasar tangan Arthit lagi dan kali ini mengunci tangan Arthit itu di ketiaknya, sehingga Arthit tidak bisa bergerak lagi.
Arthit pun akhirnya pasrah. Tidak menolaknya lagi dan membiarkan sang kakak mengobati luka di tangannya itu.
"Kau tau kan, aku tidak bisa selamanya mengurusmu. Kalau kau begini terus, kau benar-benar akan mati konyol, Ai'Oon. Kau mengerti maksudku kan?" Ucap Bright lagi sambil menyelesaikan pekerjaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA MATAHARI DATANG
Fiksi Penggemar"Arthit?" Arthit menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan, "Darimana kau tau namaku?" Tanya Arthit heran. Kongpob berjalan mendekatinya. Arthit yang sedikit risih akan tatapan pria aneh itu padanya, perlahan melangkah beberapa langkah ke belak...