"Apa rasanya sakit sekali?" Tanya Tum. Kongpob hanya berdeham sebagai jawabannya.
"Bodoh! Dasar anak bodoh! Ini sebabnya aku memintamu untuk melakukan check up secara rutin, Kongpob! Kongpob, sekarang kau dengarkan aku baik-baik ya... kondisimu itu... semakin memburuk. Karena kau terus menerus terpapar sinar matahari setiap harinya, walaupun kau memakai baju pelindung sekali pun. Baju itu, tidak melindungimu, Kongpob. Dia hanya mengurangi resikonya. Tetapi kalau kau tidak melakukan pengobatan secara rutin, kondisimu akan semakin memburuk seperti ini. Saat ini kau tidak hanya sensitif pada cahaya matahari, tapi kau juga sensitif terhadap cahaya apapun. Kau sudah semakin parah, Kongpob. Ku sarankan kau kembali ke Bangkok dan temui aku."
"Aku tidak bisa, P'. Aku harus-,"
"KALAU TERUS DIBIARKAN KAU AKAN MATI! KAU TAU ITU??!!" Tum membentak.
Kongpob terdiam. Dia tidak tau harus berbicara apalagi. Dia tau hari ini akan datang. Tetapi dia tidak menyangka efeknya akan secepat ini. Dia masih belum siap. Dia masih belum siap meninggalkan Arthit. Mereka sedang berjuang dari orang tua Arthit, bagaimana bisa dia mati sekarang? Tidak. Kongpob tidak ingin kalah. Dia ingin hidup selama-lamanya bersama Arthit.
"Kongpob... kembalilah. Sudahilah permainan bodohmu ini, dan temuilah aku segera." Ujar Tum lagi.
"Berapa banyak P'?" Tanya Kongpob. "Berapa banyak waktuku yang tersisa?"
Tum terdiam sebentar. "Jangan mengatakan hal yang tidak-tidak! Berhenti bicara omong kosong dan temui saja aku. Aku akan-,"
"Tolong katakan saja, P'! Tidak bisakah kau hanya mengatakannya padaku??"
"Aku tidak bisa memastikan jika aku tidak memeriksanya sendiri, Kongpob. Apalagi, XP adalah penyakit yang tidak bisa kita prediksi. Kau bisa... kapan saja..."
"Satu bulan? Satu minggu? Atau... satu hari?"
"Kongpob... kau-,"
"Baiklah, aku mengerti. Terimakasih, P'."
Tut... tut... tut
--00--
Arthit sudah tertidur di pelukannya, ketika Kongpob masih terjaga. Kongpob tidak juga bisa memejamkan matanya. Semua pikiran buruk berkecamuk di otaknya. Kongpob juga merasa akhir-akhir ini tubuhnya sudah mulai melemah. Tubuhnya sering kali merasa sakit dan gampang sekali terluka. Sepertinya.. benar apa yang di katakan Tum. Kondisi tubuhnya semakin parah.
Kongpob memandang ke arah pria yang sangat di cintainya ini. Wajahnya benar-benar bak malaikat, jika dia sedang tertidur seperti ini. Dengan memandangnya seperti ini saja, membuat senyum Kongpob selalu merekah, dan pikiran buruknya teralihkan. Baginya, Arthit benar-benar seperti matahari pribadinya yang membuat dia bisa tetap hidup.
Betapa bahagianya dia, saat sedang menghabiskan waktu bersama Arthit seperti ini. Dia tidak ingin semua ini berakhir, tetapi nampaknya semua ini akan segera berakhir.
Apa benar Kongpob akan kalah?
Kalah karena penyakit kulit bodoh yang bersarang di tubuhnya?
Saat semuanya sudah berjalan lancar seperti ini, penyakit itu justru malah mengganggunya. Kongpob benar-benar merasa sangat frustasi. Dia merasa sangat tidak adil. Dia tidak ingin meninggalkan Arthit sendirian. Arthit sudah kehilangan Praepailin, bagaimana jadinya jika dia harus menghadapi kenyataan untuk kehilangan dirinya juga?
Kongpob mengeratkan dekapannya di tubuh Arthit dan mencium pucuk kepalanya dengan lama. Air matanya kembali menetes.
"Maafkan aku, Oon. Maafkan aku..." Ucapnya lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
KETIKA MATAHARI DATANG
Fanfiction"Arthit?" Arthit menghentikan langkahnya, lalu berbalik badan, "Darimana kau tau namaku?" Tanya Arthit heran. Kongpob berjalan mendekatinya. Arthit yang sedikit risih akan tatapan pria aneh itu padanya, perlahan melangkah beberapa langkah ke belak...