BAB 3 - ALAMAT PALSU

238 29 19
                                    

"Selamat malam." Seorang pria berseragam menghentikan laju sepeda motor Karenina ketika ia sedang memutar arah di bawah fly over daerah Rawamangun. "Bisa tolong perlihatkan SIM?"

Karen ingin melarikan diri tapi ia terlalu lelah untuk kembali ber-acting sebagai buronan. "Maaf Mas, eh ... Pak, itu ...," ujar Karen terbata, tak melepaskan pandangan dari petugas tersebut. Kedua tangannya menggigil kedinginan setelah melepas sarung tangan. Apalagi bagian lutut celana jeans-nya yang sobek.

Polisi merasa pernah mendengar dan melihat gadis ini di suatu tempat. Kening pria itu berkerut ketika sedang mencoba menggali ingatannya. "Ternyata kamu lagi!" ujarnya sambil menggeleng heran.

"Apa kita pernah bertemu sebelum ini?" Mata Karen melotot, jari telunjuknya mengarah bergantian ke polisi dan dirinya. Memang wajah polisi tersebut terasa familiar, tapi cahaya lampu yang terbatas membuat gadis itu kesulitan mengingat.

"Jadi, mana ijin berkendaramu?"

Karen spontan memegang ke dua bagian saku celananya. "Dompet ... hilang, Pak," jawabnya sedih.

Si Polisi terbahak keras. "Ada alasan yang lebih kekinian, Mbak?" tantang polisi yang mungkin usianya tak berbeda jauh dari Karen, "saya sering mendengar jawaban semacam itu."

"Saya benar-benar kehilangan dompet! KTP, SIM, ATM." Karen memasang wajah iba. "Sumpah, Pak! Saya mohon ijinkan saya pergi," lanjutnya setelah melihat respon datar aparat. Dia tidak ingin berdebat malam-malam, apalagi jika lawannya memenuhi kualifikasi sebagai 'separuh aku'.

Polisi itu menatap ragu. "Mbak tahu kenapa perjalanannya saya hentikan?" Karen menggeleng. "Karena Mbak tidak menggunakan helm."

Karen spontan memegang kepala dan baru tersadar bahwa ia telah melanggar tata tertib. Berjam-jam gadis itu mencari dompet mengelilingi rute di mana ia mengantar penumpang juga makanan, dan bertanya pada banyak orang sehingga merasa repot jika harus 'bongkar pasang' helm. 

"Tapi ini 'kan sudah malam," dalih Karen sambil menggaruk kepala. "Saya pikir ... tidak ada aparat lagi yang bertugas," ujarnya sambil menundukkan wajah kecewa karena tebakannya meleset.

"Kamu kira aspal kalau malam berubah lembek???" Petugas itu mulai kesal dengan jawaban korbannya yang berbelit-belit. "Apa kamu hanya taat aturan saat ada kami?"

"Eh, kalau begitu saya minta maaf, Pak." Gadis itu memasang senyum manis. Walaupun hanya seorang tukang ojek, tapi secara fisik Karen bukan gadis yang bisa diabaikan. "Saya mohon ijinkan saya pergi."

Polisi mengambil sesuatu dari kap mobil patrolinya. "Mbak harus saya kenalkan pada pengadilan," ujar petugas tersebut sambil melepas tutup pulpen dengan giginya.

"Yah, jangan dong, Pak. Saya 'kan masih muda." Karen mencari pembelaan. Tak jauh dari tempatnya berdiri aroma harum menguar dari gerobak tukang nasi goreng, menyiksa perutnya yang keroncongan.

"Nama lengkap?" tanya aparat tegas siap mencatat.

"Yaelah, Pak. Tukang ojek kere macam saya ini mana punya duit buat bayar pengacara. Udah deh, Pak, kita damai aja tanpa suap-suapan. Saya bisa cepat sampai rumah dan Bapak nggak jadi makan uang haram."

"Apa kamu bilang?" tanya pak Polisi dengan tatapan tajam. Dia meletakkan benda-benda di tangannya lalu berkacak pinggang.

"Eh, itu ... maksud saya ..." Karen menampar mulutnya sendiri. Terkadang kebiasaannya ceplas-ceplos menjadi boomerang dan membuat dirinya kesusahan. Tapi tiba-tiba ponsel gadis itu berdering. 

"Boleh saya angkat, Pak?" pinta Karen yang tidak di iya-kan atau pun ditolak petugas tersebut. Pria itu hanya diam dan mengamati apa yang gadis itu sedang coba lakukan. 

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang