Seminggu telah berlalu. Karen rindu udara bebas. Ia sudah terlalu lama mengurung diri di rumah. Karen ingin melihat sinar matahari, tapi keberadaan pintu dan jendela malah membuat kekhawatirannya semakin menjadi. Karen merasa hidupnya selalu dalam pengawasan. Padahal, dalam situasi seperti ini seharusnya ia menjadi lebih kuat. Jika tidak ingin mengklarifikasi apa pun, maka Karen harus berusaha menikmati situasinya. Berdamai dengan masa terkelam dalam hidup, toh itu tidak berlangsung selamanya.
"Jelas-jelas itu nggak bener! Lo mesti koreksi semua yang mereka tulis dan siarkan di media. Enak aja mereka panen duit sementara korbannya sekarat. Pada nggak punya otak!"
Ini pertama kalinya Bram menginjakkan kaki di kediaman Karen. Ia juga baru kali ini bertatap muka dengan ibu gadis itu. Meskipun sebenarnya Bram sudah berkali-kali membuntuti Karen pulang, tapi ia tidak ingin jujur dan membuat gadis itu kembali melarikan diri. Sudah seminggu Karen tidak datang ke kampus, membuat Bram sangat khawatir. Apalagi ketika mendapati gadis itu kurus dengan wajah sepucat mayat, rasanya dia ingin meninju rahang Rafael dan membuat wajah yang tak terlalu tampan itu babak belur.
"Pantes aja, korbannya cuma diem pasrah gini. Gimana mereka nggak merdeka!"
Bram mulai kehabisan kata-kata. Ia mengambil gelas air mineral dari kardus di belakang pintu. Ibu Karen bilang, itu minuman sisa pengajian mingguan. Tapi Bram tidak peduli, asal tenggorokannya yang sekering gurun itu kembali lembab. Sejak dipersilakan masuk, hanya dia yang mengoceh seperti burung sementara lawan bicaranya membisu.
"Gue minum ya."
Setelah menyadari sikap kekanakannya, Karen memutuskan menerima kedatangan makhluk bernama Bram. Berkali-kali pria itu menghubunginya, namun Karen tak pernah mengangkat telepon. Whatsapp-nya memang aktif, tapi gadis itu sama sekali tak berniat membaca pesan-pesannya. Karen terlalu berharap orang lain yang melakukan itu, walaupun kenyataannya, dalam mimpi pun itu sebuah kemustahilan. Karen jelas-jelas telah melarangnya menghubungi Karen.
Karen menghela napas panjang. "Itu sebabnya gue bukain lo pintu." Wajah pucatnya mengarah ke luar, memandang langit cerah berwarna laut. "Gue nggak mau jadi pengecut yang terus-terusan lari dari kenyataan. Meskipun nggak berniat mengoreksi, seenggaknya gue akan pura-pura kalau tulisan kotor mereka sama sekali nggak mempengaruhi hidup gue. Hari-hari gue masih sama seperti dulu. Itulah yang harus terus gue tanamkan dalam diri gue sekarang."
Mimik wajah Bram berubah gusar. Seumur hidup, ia baru tahu kalau ada manusia sesabar Karen. Padahal, selama ini ia menganggap gadis itu paling tidak sabaran menghadapinya. Kenyataan ini membuat Bram iri. Sebegitu cintanya Karen pada Rafael sampai gadis itu rela menerima kondisi menyedihkan seperti sekarang.
"Nggak bisa! Gue nggak setuju!" Bram tiba-tiba berdiri. "Berita itu harus diklarifikasi. Ayo! Gue akan anterin ke mana pun asalkan itu buat membersihkan nama lo yang rusak gara-gara cowok berengsek itu!" Ia merapikan kemeja dan menepuk-nepuk celana bagian belakang.
Karen ikut berdiri. "Tenang, Bram. Nggak perlu berlebihan, gue baik-baik aja kok."
Mata Bram melebar. Ia mendengus. "Gue tahu kita cuma temenan. Tapi, tetep aja ... gimana bisa tidur nyenyak kalau cewek yang paling gue suka jadi bahan omongan di seluruh dunia??? Seenggaknya gue harus ngelakuin sesuatu, nggak cuma diem kayak patung lilin di Madame Tussauds! Jadi pajangan doang alias nggak berguna. No! No! No! Itu bukan gue banget! So, let's go!" Bram berjalan melewati pintu. Namun baru beberapa langkah ia menoleh dan mendapati Karen masih terdiam di tempatnya. "Perlu gue gendong?" Ia menelengkan kepala.
Mata Karen mengerjap. Ia benar-benar takjub. Mungkin, selama ini Karen memang telah salah menilai segala sesuatu tentang Bram. Bahwa pria ini kasar, bossy, dan segala tetek bengeknya. Tapi, sekarang ia harus mulai mengoreksi satu per satu. Mencontreng yang benar dan menyilang yang salah, sesuai dengan fakta. Juga berjanji, jika ia tak akan pernah jatuh cinta dengan pria sebaik ini!

KAMU SEDANG MEMBACA
OJEK CINTA
RomanceRafael tidak pernah ingin berurusan dengan orang miskin, apalagi membuat kesepakatan dengan salah seorang gadis dari kalangan itu. Tapi sebuah kondisi membuat hal mustahil tersebut menjadi masuk akal. Dan ketika sesuatu yang tak diharapkan itu tumbu...