BAB 6 - IDE CEMERLANG

218 20 10
                                    

Alarm ponsel berdering nyaring, mengalunkan sebuah lagu romantis yang membuai hingga membuat Karenina makin terlelap. Sudah berkali-kali ibu memperingatkan untuk mengganti nada alarm dengan lagu yang lebih nge-rock, tapi Karen tak mengindahkan omongan ibunya. Ia berdalih bahwa musik rock akan membuat penghuni di sebelah kamarnya terganggu.

"Ren!!! Bangun!!!"

Karen menarik malas selimut yang membalut tubuhnya dan menyembunyikan wajah di bawah bantal. "Sepuluh menit lagi, Bu." Suaranya teredam.

"Dari setengah jam lalu kamu bilang begitu," keluh ibu Karen. "Ayo, Ren, ibu kerepotan kalau masak sendirian." Ia menggoyang-goyang tubuh Karen. "Masa kamu nggak kasian ..." Karen yang berencana kembali tidur membatalkan niatnya dan menggumam tak jelas. Telinganya siap mendengar ceramah. "Setiap hari kamu susah dibangunkan. Setiap hari juga ibu selalu ngomel panjang lebar, tapi kenapa kamu nggak berubah sama sekali. Jadi ibu harus bagaimana membangunkanmu? Makanya jangan pulang terlalu larut dan tidur lebih awal. Kita 'kan jual ..."

"Hentikan, Bu, Karen udah bangun." Gadis itu bersusah payah duduk dan menyeret langkahnya menuju kamar mandi.

Kalimat-kalimat itulah jurus yang paling ampuh untuk membangunkan Karen. "Ingat Ren, rajin pangkal kaya," ujar ibunya bersemangat. "Kamu akan menyadarinya kelak."

Mata Karen setengah terpejam sementara ia menggosok gigi. "Hmmm ..." Ia sudah terbiasa mendengar ibu mengubah peribahasa tersebut. Suasana mendadak hening ketika Karen memulai ritualnya mencuci muka. "Karen nggak akan membiarkan ibu menderita seperti ini terus-terusan. Kita akan menjadi orang kaya dan ibu harus hidup berkecukupan!" Gadis itu muncul dan bergabung dengan ibunya di dapur.

"Ibu akan memegang janjimu," ujar wanita itu datar. "Omong-omong rambutmu berantakan."

Karen menoleh dan mengikat rambutnya dengan karet bekas pembungkus. "Nggak ada yang melihatnya."

Ibu menggelengkan kepala. "Kemungkinan tetangga sebelah mendengar percakapan kita." Wanita itu mengaduk nasi uduk yang menguarkan aroma harum.

"Masih terlalu pagi untuk bangun, mereka hanya akan menganggapnya mimpi."

Ibu terkekeh. "Gimana kabar nak Daniel?"

***

"Seperti biasanya, namamu selalu menjadi pembicaraan."

Rafael berhenti mengunyah dan menelan makanan. Kekakuan yang seharusnya tidak terjadi tiba-tiba menyelimuti ruangan ini. Obrolan yang biasanya hangat tampaknya akan berakhir panas. Ia sudah menduga hal ini sejak kemarin, hanya saja Rafael berhasil mengulur waktu dan menyelamatkan diri karena semalam pulang cukup larut.

"Apa yang terjadi?" Mama Rafael menatap suami dan putranya bergantian.

Rafael mengabaikan pertanyaan wanita itu dan menanggapi pernyataan papanya. "Mereka hanya terlalu berlebihan menanggapi hal sepele."

Rahang papa Rafael mengeras. "Hal sepele nggak akan membuat seisi perusahaan sibuk membicarakan seseorang. Di mana kamu saat itu?"

Rafael memandang datar.

"Jangan bilang kamu sedang bermain-main dan membuang waktumu!"

Rafael membuang napas kesal. Tidak ada gunanya menjelaskan keberadaannya saat menghilang. Itu hanya akan membuat masalah makin melebar. "Nggak semua proses bisa berjalan baik, Pa. Mungkin ini salah satunya. Lagipula hasil akhirnya tetap seperti yang kita harapkan." Ia menatap papanya nanar. "Ini hanya sebuah ketidaksengajaan, jangan menganggapnya terlalu serius." Rafael meraih gelas berisi air putih dan menenggak habis isinya. Tenggorokannya kering hingga ia merasa sedang dicekik.

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang