BAB 15 - KARTU TANDA PENYELAMAT

50 7 0
                                    

Konsentrasi Rafael terpecah. Tubuhnya yang telah kehilangan banyak berat badan mulai kehabisan tenaga. Pria itu berusaha tetap fokus, tapi penerangan yang terbatas membuatnya tak bisa melihat jelas. Dengan kondisi tersebut Rafael tak menyadari jika lawannya mengeluarkan sebilah pisau lipat dan berhasil menikam Rafael. Perkelahian berakhir satu kosong ...


Dalam sekejap, konsentrasi Rafael teralihkan. Ia kini berjuang untuk bertahan hidup. Bau amis pun menguar bersamaan dengan munculnya cairan kental dari sela-sela jemari Rafael. Tubuhnya mematung. Ia mengerang seraya memandangi si penyerang yang menghilang di kegelapan. Rafael ambruk. Peluh bercucuran di kening Rafael dan ia mulai kehabisan darah.

"Pak! Bapak baik-baik saja?" Dengan napas tersengal security tiba di hadapan Rafael. Ia menyerah. Mustahil mengejar penjahat yang bertubuh atletis itu. "Bapak bisa mendengar suara saya?" Walaupun kesulitan berjongkok, ia berusaha meraih kepala Rafael dan menggoncang tubuh pria itu. "Pak! Bangun, Pak!" Security kebingungan. Ia menyesal karena hanya belajar ilmu beladiri, dan tak sekali pun membaca buku panduan P3K. "Tolongggg!!!

***

Cinta selalu benar, yang salah hanyalah situasinya. Mengapa harus seperti ini dan itu, kenapa harus dengannya dan bukan yang lain. Walaupun di depan tampak tegar, namun diam-diam Jack memikul beban berat. Pria itu pura-pura baik-baik saja, padahal dadanya sesak setiap kali melihat Rafael. Jack memang jatuh cinta pada Clarice, tapi yang bisa ia lakukan hanyalah melupakannya. Pria itu yakin cepat atau lambat getaran di hatinya akan lenyap.

Selama ini, Jack berusaha keras memadamkan api asmaranya. Ia pun mundur teratur sebelum perasaaannya semakin menggebu. Bukan tak ingin, tapi ia benar-benar tak berani menanggung resiko. Jack tidak percaya diri mendekati Clarice yang mencintai Rafael. Ia enggan menjalin hubungan dengan wanita yang pernah patah hati dengan sahabatnya. Akibatnya, alih-alih memperjuangkan ketertarikannya pada Clarice, Jack justru berusaha melemahkan niat Rafael dalam misinya mendapatkan hati Karen. Jack tahu itu salah, tapi ia yakin suatu saat mereka akan mendapatkan pasangan yang lebih baik. Ia tidak ingin persahabatannya dengan Rafael hancur gara-gara perempuan.

Derit pintu mengaburkan lamunan Jack. Ia menoleh ke sumber suara dan dengan cepat dapat mengenali siluet yang muncul dari balik pintu. Walaupun mengendap dalam kegelapan, tapi gerakan dari sosok itu tak bisa mengecohnya. Jack mengenalnya dengan sangat baik.

"Dari mana?" Jack berkacak pinggang setelah menyalakan lampu ruang tamu.

Si pemuda terkejut. Ia berhenti melangkah dan menoleh ke pria setengah bule yang ada di sampingnya. Pria yang postur dan warna kulitnya hampir sama dengan orang yang dibencinya. "Tumben lo di rumah, Bang! Nggak 'ngamar'?"

Jack tak menjawab. Ia memelototi adiknya yang cengengesan.

Si pemuda menghela napas panjang. Ia tahu kalau Jack butuh penjelaskan. Padahal tubuhnya yang lelah dan beraroma darah harus segera dibersihkan. "Gue bukan anak kecil lagi. Jagain anak orang aja udah sanggup, apalagi kalau cuma jaga diri sendiri," ia menjaga intonasi suaranya agar tetap alami. "Udah ya, gue masuk kamar dulu."

Jack memerhatikan punggung adiknya yang menjauh. "Apa yang lo sembunyikan?"

Terdengar helaan napas panjang yang dipaksakan. "Sumpah! Gue capek banget, Bang. Ceramahnya dirapel besok aja deh!" Si pemuda menjawab gusar. "Negative thingking mulu lo sama gue."

Jack memang hanya berspekulasi. Tapi, ia sudah berbagi udara yang sama dengan adiknya sepanjang hidup. Pria itu tahu betul gelagat adiknya saat berbohong. "Insting?"

"Ingat nggak, kalau lo pernah nyia-nyiain duit cuma buat ngikutin insting nggak masuk akal dan nyari si berengsek yang sampai sekarang nggak nongol batang hidungnya! Gue tanya, di mana dia sekarang? Apa pernah lo papasan sama dia sekali aja? Jangan-jangan dia udah mati."

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang