Clarice kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Dia sudah berusaha keras membujuk Karen dan memberikan iming-iming kompensasi yang setimpal atas pengorbanan gadis itu. Tapi usahanya sia-sia saja. Karen tak berubah pikiran walaupun ia sudah menceritakan kondisi Rafael yang menyedihkan. Gadis itu pun sama sekali tak meneteskan air mata mendengar cerita Clarice.
Suasana rumah sakit mulai kembali hidup. Pasien mulai berdatangan dan aktivitas di setiap pos kembali normal. Bahkan lalu lintas pun mulai padat saat Clarice di perjalanan tadi. Itulah kenapa dia kembali sangat terlambat.
“Dokter sudah datang. Kami akan segera memulai operasinya,” ujar seorang perawat yang baru saja berganti shift. “Jadi, kami akan memindahkan pasien sekarang.” Ia tersenyum ramah.
Clarice berubah panik. Ia seolah sedang berlomba untuk mencapai garis finish. “Tapi, darahnya … maksud saya, kami belum dapat pendonornya.”
“Apa mungkin bisa dilakukan operasi tanpa transfusi darah, Sus? Bagaimana jika terjadi sesuatu saat operasi. Maksud kami …” Mama Rafael menyela. Ia sangat khawatir dengan kondisi puteranya. “Di mana saya bisa bertemu dokter bedahnya, Sus?”
Suster dengan sabar menyimak rentetan kalimat yang meluncur dari keluarga pasien tampan di hadapannya. Ia sudah biasa mengalami hal semacam ini. Mendengar keluhan, menerima rengekan, bahkan mendapat cacian. “Golongan darah AB sangat susah ditemukan. Sungguh beruntung karena ada pendonor yang datang dengan sukarela.”
“Siapa???”***
Udara dingin menggigit kulit. Gelap menghadirkan pengap. Debu beterbangan tertiup angin. Gemuruh petir di kejauhan menghantam gendang telinga. Keadaan seolah menghakimi Karen. Ia memeluk tubuh, meringkuk di sudut basement parkir yang sedang dalam tahap renovasi. Seorang diri. Matanya sembab. Gadis itu menyesal sempat mengambil hati omongan Clarice yang menawarkan begitu banyak kompensasi padanya. Gara-gara gengsinya yang terlalu tinggi, Karen hampir membuat orang yang dikasihinya kehilangan nyawa.
Karen terisak mengingat kondisi Rafael yang bergeming di ruang ICU. Dunianya hancur. Jantung Karen serasa berhenti berdetak. Darahnya memanas dan seolah naik ke ubun-ubun, membakar dan menyiksanya. Walaupun tidak ingin menerima Rafael dalam hidupnya, tapi Karen juga tidak ingin pria itu meninggalkan dunia ini. Dia ingin memastikan jika mereka berdua berbagi udara di bumi yang sama.
“Orang-orang akan berpikir kalau lo lagi berduka.” Seseorang mengangsurkan sapu tangan pada Karen. “Apa perlu gue bantu hapusin?” tanyanya setelah tak mendapat respon. “Tangan gue pegel.” Ia memijit lengan, tak mengalihkan pandangan.
Karen mendongak ke sumber suara. Ia buru-buru menghapus air matanya dengan punggung tangan dan berdiri. Tak ingin berhutang budi apalagi pada orang yang belum pernah dikenalnya. Lagipula wajahnya tak terlalu jelas dalam kegelapan.
Si pria memerhatikan gestur tak nyaman gadis yang dihampirinya, lalu mengantongi kembali benda yang dipegang. “Tadinya gue sanksi gimana lo sebenarnya, tapi sekarang gue tahu kalau Rafael jatuh cinta sama cewek yang baik. Sayang sekali pertemuan pertama kita meninggalkan kesan buruk. Gue minta maaf.” Ia mengulurkan tangan.
Karen mengangkat wajah. Ia mengamati sosok asing yang terasa familiar itu. “Lo Siapa?” Tanya gadis itu seraya mengabaikan uluran tangan lawan bicaranya.
“Pertanyaan ini membuat gue makin sadar kalau lo cewek baik dan bukan seorang pendendam. Gue Jackob! Reminder aja, kita pernah ketemu di pinggir jalan pas elo sama Clarice …” Pria itu tercekat. “Lo pasti udah inget sekarang, ‘kan? Karena gue nggak mau jelasin lagi gimana malunya hari itu. Sekali lagi gue minta maaf udah ngebiarin Clarice berbuat seenaknya. Oh iya, gue juga pernah ngelihat lo di engagement …,” si pria kembali mengatupkan mulut. “Ehm, nothing … just forget it!” Ia tak sampai hati melanjutkan kalimat.
Karen ingat. Ia adalah pria kebulean yang semobil dengan Clarice tapi diam seperti patung melihat pertengkaran mereka. “Seenggaknya lo pernah menyesal!” Ujarnya ketus.
Pria itu memaksakan senyum. “Gini-gini gue tahu caranya minta maaf. Dan sekarang, gue anggap lo menerima permintaan maaf gue.”
Karen mengabaikan tanggapan lawan bicaranya. Ia benar-benar tidak ingin terlibat lebih jauh dengan siapa pun yang berhubungan dengan Clarice Adam. “Ada perlu apa ke sini?”
“Cuma mau kasih tahu, kalau operasinya sukses. Dan semua berkat lo. Thank’s! Kalaupun mati, dia pasti seneng karena ada darah lo mengalir di seluruh tubuhnya. Jadi, sampai di liang lahar pun, dia masih bisa sama-sama elo.” Jack melihat tangan Karen terkepal dan siap meninju rahangnya. “Gue lebih milih jujur dibanding ngasih harapan palsu.”
“…”
“Kita cari tempat yang lebih manusiawi?”
Walaupun lega, tapi Karen juga kesal. Jack membicarakan nyawa manusia dengan remeh. Tapi mau bagaimana lagi, mungkin inilah sifat asli pria itu. Karen pun jenis perempuan ceplas-ceplos yang lebih suka lawan bicaranya jujur dibanding baik di depan, namun menusuk dari belakang. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sejak tadi, ia tak menyadari telah berada di antara puing-puing bangunan yang mungkin bisa runtuh setiap saat.
“Gue dalam pelarian.”
Jack mengerutkan kening. “Di saat semua orang ingin jadi pahlawan.” Ia menggelengkan kepala. “Gimanapun, lo butuh reward atas keberanian yang udah lo tunjukin hari ini. Ikut gue!” Pria itu menyeret Karen dengan paksa.
“Ke mana?”***
Rafael membuka matanya setelah tak sadarkan diri selama beberapa jam. Saat ini ia sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Rafael mengedarkan pandangan dan menemukan Clarice berada di sampingnya dengan mata terpejam. Sisi wajah wanita itu menempel pada tempat tidur dan sebelah tangannya menggenggam tangan Rafael. Melihat raut wajahnya yang yang lelah dan polos, ada sedikit rasa iba melingkupi hati pria itu. Saat ini, Clarice terlihat lebih manusiawi. Sisi jahatnya lenyap. Ia seperti wanita lain yang punya kelemahan. Rafael menarik tangannya yang tak nyaman dan memaksa diri menegakkan tubuh.
Saat itu juga Clarice terbangun. Wanita itu sangat lega, seolah beban berat yang baru saja menindihnya terangkat. “Raf, kamu sudah sadar? Tunggu, Raf! Dokter belum mengizinkanmu bangun?” Ia buru-buru berdiri dan menahan tubuh Rafael agar tetap pada posisinya. Wanita itu tak ingin Rafael menyia-nyiakan kesembuhannya dan bersikap semaunya.
Dengan raut wajah kecewa Rafael kembali ke posisi awal. Sedikit menggerakkan tubuh untuk menghalau pegal. “Kenapa …,” ia berdehem, “kamu di sini?” Rafael berujar lirih. Hampir seperti bisikan. Pria menyentuh permukaan perban dengan sebelah tangan dan mengeryit.
Clarice memalingkan wajah. Bukan itu kalimat yang ia harapkan. “Aku akan memanggil suster.” Ia memencet tombol yang tergantung di kepala tempat tidur dan meminta petugas medis datang. “Masih nyeri, nggak?” Wanita itu menuang air pada gelas kosong. “Dokter mengatakan kalau kamu boleh makan apa saja setelah siuman.”
“Cla …” Rafael mengikuti gerak tubuh Clarice dengan tatapannya. “Aku …”
Clarice mengangkat sebelah tangan, menghentikan niat Rafael untuk berbicara. “Raf, kamu belum pulih dan sekarang bukan saat yang tepat untuk berdebat.” Wanita itu mengangsurkan minuman. “Hampir dua hari kamu tidak sadar.” Ia membantu pria itu minum. “Dan semua orang mengkhawatirkanmu. Termasuk aku. Jika saja tidak ada … ah, sudahlah …”
Rafael menghela napas setelah menghapus setetes air dari sudut bibirnya. Ia membuang wajah dan terbias sinar matahari yang menyusup melalui sela-sela jendela. Susah payah pria itu berusaha mendorong Clarice pergi. Tapi saat semua berakhir damai, tanpa sadar Rafael telah berhutang budi. Membuat pria itu seolah kembali menjadi sandera. “Jangan memedulikanku lagi dan membuatku tidak nyaman,” ujarnya tak berani menatap mata Clarice.
“Aku bukan orang lain, Raf.” Clarice berdiri di hadapan Rafael dan tidak menginzinkan pria itu memalingkan wajah lagi. “
Isi kepala Rafael penuh tanda tanya. “Kita sudah berpisah secara baik-baik.” Tenggorokannya benar-benar tidak nyaman, tapi pria itu ingin semuanya jelas.
Clarice terdiam. Ia mengingat bagaimana reaksi Karen saat mendengar Rafael sekarat. Gadis itu sama sekali tak tergerak hatinya bahkan setelah ia menyebutkan nominal yang tidak bisa dibilang sedikit. “Aku hampir kehilanganmu dan rasanya sangat menakutkan. Aku tidak akan melepaskanmu.”
“Maksudmu?”****
Terima kasih, ditunggu komentar, kritik, dan mohon dikoreksi jika ada typo. Jangan lupa bintangnya ditinggal :p
It's me,
Arungi Samudera

KAMU SEDANG MEMBACA
OJEK CINTA
RomanceRafael tidak pernah ingin berurusan dengan orang miskin, apalagi membuat kesepakatan dengan salah seorang gadis dari kalangan itu. Tapi sebuah kondisi membuat hal mustahil tersebut menjadi masuk akal. Dan ketika sesuatu yang tak diharapkan itu tumbu...