"Apa ini kejutan?" Karen menatap pria yang berdiri di ambang pintu pagar sambil mengerutkan kening.
Rafael hanya mengangkat bahu. "Saya senang kalau kamu menganggapnya demikian."
Ia memasuki halaman dan berdiri memperhatikan sekeliling, menelusuri bentuk bangunan dua lantai yang tak terlalu besar namun mempunyai banyak pintu. Kondisinya tampak usang dengan cat berwarna cream yang memudar dan bagian atap teras yang menghitam karena bocor. Di setiap teras ada jemuran tali yang dikaitkan pada paku. Sementara pagar besi berubah fungsi menjadi tempat jemur kasur dan bantal dengan berbagai bentuk dan ukuran.
"Cepat katakan apa maumu dan angkat kaki dari tempat ini!" Karen berjalan mendekati pria yang terus memburunya. Ia sudah memutuskan Rafael terlalu muda untuk dipanggil bapak.
Rafael mengikuti gerakan Karen hingga kini mereka berdiri berhadapan. "Kamu yakin akan membahas masalah kita di sini? Aibmu bisa tersebar dengan cepat jika saya mengeraskan suara," desis Rafael seraya melirik sekelilingnya.
"Coba saja," tantang Karen. Ia berusaha setenang air danau walaupun jantungnya laksana ombak di lautan.
"Jadi kamu masih mau mengelak dari kejaha ..."
Karen melangkah dan membekap mulut Rafael dengan sebelah tangannya. "Apa orang sepertimu yang disebut The Huntsman? Banci!" desis Karen.
"Ehmmmphhh!" Rafael melepas kasar tangan Karen dan memelototinya. "Apa maksudmu? Berhenti menuduh saya yang tidak-tidak!"
"Apa ada julukan yang lebih bagus untuk pria yang hanya berani melawan seorang gadis?"
"Kamu yang mencari masalah! Kenapa jadi menyalahkan saya?" Rafael menggertakkan gigi sambil mengepalkan tangan. Ia berharap yang berdiri di hadapannya adalah seorang pria, bukannya gadis ingusan dengan kasta rendah yang tak memiliki sopan santun. "Tadinya saya ingin kita membahas masalah ini baik-baik, tapi sepertinya kamu tidak menginginkannya."
Karen mendengus. "Membahas masalah baik-baik dengan seorang pemburu sepertimu? Hah! Yang benar saja! Dasar Penguntit!" makinya sinis.
"Apa kamu bilang???"
Saat emosi keduanya mulai memanas tiba-tiba ponsel Rafael berdering. Berkali-kali ia mengabaikan panggilan itu namun benda di saku celananya terus bergetar dan membuatnya gusar.
"Hentikan suara berisik itu!"
Rafael membuang napas kesal. "Jangan coba-coba melarikan diri!" ancamnya sambil mengacungkan jari.
"Kamu tahu di mana harus mencari saya." Karen membalik tubuh dan berjalan menjauh.
Rafael mengangkat wajah. "Tapi ..."
Brakkk!
Bunyi bantingan pintu tersebut hampir membuat Rafael terserang penyakit jantung. "Ya, Cla?" sahutnya sambil menempelkan ponsel ke telinga dan menjawab ogah-ogahan.
***
Interview berlangsung selama satu jam dan Clarice berkali-kali mengucapkan, "Tolong di-edit bagian itu," dengan tak enak hati. Memang, interview dalam kondisi psikis buruk terkadang membuat seseorang bicara ngawur. Tapi, reschedule tanpa alasan yang jelas juga akan membuat citra Clarice buruk.
"Pertanyaan terakhir ini di luar topik dan semoga mbak Clarice tidak keberatan menjawabnya." Clarice terus menjaga sikap karena kamera tak berhenti merekam gestur tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
OJEK CINTA
RomanceRafael tidak pernah ingin berurusan dengan orang miskin, apalagi membuat kesepakatan dengan salah seorang gadis dari kalangan itu. Tapi sebuah kondisi membuat hal mustahil tersebut menjadi masuk akal. Dan ketika sesuatu yang tak diharapkan itu tumbu...