BAB 8 - STATUS PALSU

167 12 8
                                    


Siang ini terik, panasnya hampir menyaingi bocah terserang typus. Karen sampai membeli minuman berkali-kali karena tak tahan berkendara dengan cuaca yang sedemikian rupa. Ia lebih suka hujan walaupun selalu bersembunyi setiap kali petir menggelegar.

Karen memasang headset hanya tak mau terlihat kesepian. Ia sedang memanfaatkan fasilitas WiFi gratis ketika sebuah tangan menyentuh bahunya dan membuat Karen terkesiap. Sigap, Karen mempraktikkan jurus yang baru saja dilihatnya di Youtube dan cekatan memelintir tangan pelaku. Rasakan!!!

"Arrrrrgggghhhhhhh!!! Ampun!!!"

Karen berbalik dan menemukan pria yang dikenalnya meringis kesakitan. "Kamu?" Ia melotot.

"Emangnya siapa lagi yang mau janjian sama cewek preman macam kamu?" hardik Rafael. "Lepasin tangan saya!"

Karen terdiam kemudian menelengkan kepala. Apa baru saja Rafael mengatakan kalimat non formal? Ia memandang tangan yang melingkari lengan Rafael. "Siapa suruh bikin kaget," keluhnya seraya melepas pegangan. "Jangan coba-coba menjadikan insiden ini alasan untuk menambah hutang saya. Saya beneran bisa matahin tangan kamu!" Karen menuding Rafael.

Rafael melongo. Memang benar, dia jago beladiri, tapi kalau harus melawan seorang perempuan, lebih baik Rafael menyerah. Perempuan hanyalah manusia rapuh yang selalu mencoba terlihat kuat. Mereka meninggikan suara untuk menutupi rasa takut. "Bukannya minta maaf malah menuduh saya yang nggak-nggak. Dasar cewek tomboi!"

"Kamu yang salah!"

"Dengan siapa sebenarnya kamu bergaul selama ini?"

"Itu bukan urusanmu," gerutu Karen.

Rafael menghela napas. Menurut pengalaman, berdebat dengan Karen tak akan berakhir jika bukan dia yang mengakhiri. Sampai kapan pun, gadis itu tidak akan pernah kehabisan tema untuk diributkan. "Udah pesan makanan?" tanyanya seraya menyeret kursi rotan di seberang Karen.

"Saya udah pesan minum." Karen mengangkat botol air mineral sambil memperhatikan penampilan Rafael. Pria itu tidak pernah terlihat mengenakan dasi, tapi ia selalu mengenakan kemeja lengan panjang yang sesekali dilapisi seragam perusahaan.

Rafael memutar bola mata. "Nggak makan?" Ia bertanya heran. "Kenapa? Nggak laper atau diet? Badan cungkring begitu apa yang mau dikurangi," ejek Rafael.

Karen menggertakkan gigi. "Kontraknya akan semakin lama kalau saya berani memesan makanan. Kamu jelas nggak akan membiarkan saya makan cuma-cuma di tempat ini. Jadi, saya makan di warung aja, lebih murah dan mengenyangkan!"

Rafael terkekeh. Ia bukan orang yang perhitungan, apalagi hanya untuk masalah sepele seperti makan. Meminta ganti rugi mobil pun ia lakukan hanya untuk mengajarkan pelakunya arti tanggung jawab. Rafael memanggil pelayan dan memesan dua porsi tenderloin ukuran large. Rafael juga memesan beberapa menu lain dan membiarkan Karen memelototi tindakannya. "Saya nggak mau kamu pingsan." Ia menyodorkan steak yang telah dipotong.

Karen kebingungan dengan perhatian Rafael. "Kamu yakin ini gratis?" Ia memajukan tubuh. "Seriusan?"

"Lebih baik saya mengeluarkan uang lebih dibanding menggendongmu."

"???"

"Hanya sampai kontrakmu selesai." Rafael berbisik.

Karen mendorong piring. "Kontrak kita bahkan belum dimulai. Kamu belum menyetujui persyaratan yang saya ajukan, jadi saya nggak akan memakannya." Ia membuang wajah.

"Kalau begitu, abaikan." Rafael meraih pisau dan memotong steak.

Mata Karen melebar, ia melirik piring yang ditolaknya sambil menelan ludah. Selain lapar, ia juga belum pernah mencicipi menu tersebut. Aroma harumnya membuat perut Karen seolah dihimpit bebatuan. Akhirnya, dengan wajah memerah Karen menarik kembali piring ke hadapannya dan mulai makan. Sesekali ia mencuri pandang ke arah Rafael, penasaran dengan apa yang pria itu pikirkan tentangnya.

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang