BAB 14 - SILUET RINDU

117 7 0
                                    

Semua hal yang sudah Rafael rencanakan berantakan. Pria itu yakin suatu hari Clarice akan menangkap basah perbuatannya, tapi Rafael tak pernah menduga jika kejadiannya secepat ini. Seharusnya Rafael bisa bekerja dengan tenang, setidaknya sampai beberapa hari ke depan. Tapi gelas yang pecah tidak akan pernah bisa disatukan kembali.

"Kenapa kamu membuang waktu berharga dengan melakukan hal tidak berguna?"

Clarice berdiri di ambang pintu pantry dengan mulut ternganga. Matanya mendelik seperti saat mantan pacarnya ketahuan melucuti pakaian gadis lain di kamar hotel. Clarice mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu kembali menatap sosok pria yang tak peduli dengan kemunculannya. Gadis itu mengepalkan tangan sambil menggertakkan gigi.

"Ini bukan sesuatu yang bisa kamu sukai, apalagi menjadikannya sebuah kebiasaan!!! Kenapa kamu lebih memilih seseorang yang hanya bisa membuat hidupmu sengsara?!? Apa sebenarnya yang dilakukan gadis itu terhadapmu!!! Apa kamu sadar jika belakangan ini sifatmu benar-benar berubah?!?!?"

Clarice terengah. Rahangnya mengeras. Banyak unek-unek di otaknya yang ingin keluar sampai rasanya kepala Clarice akan meledak. Matanya berkilat-kilat bagai singa lapar yang sedang berburu mangsa. Susah payah Clarice menahan diri agar tidak menampar Karen atau menjambak rambut gadis itu. Terlebih memanfaatkan pisau dapur yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Clarice beruntung para wartawan sedang lengah saat ia mengotori tangan pada makan malam keluarganya bersama Rafael tempo hari. Tapi keberuntungan tak selalu datang, 'kan? Jadi alih-alih melakukan hal buruk, ia lebih memilih clutch di tangannya sebagai pelampiasan.

Untuk beberapa detik, Rafael tertarik memerhatikan bagaimana menakutkannya Clarice saat marah. Ia sempat menghela napas sebelum berbalik dan melanjutkan pekerjaannya. Setiap kali ia berniat membela Karen, sikapnya itu justru semakin memperburuk keadaan. Jadi, kali ini ia memilih netral.

"Pelankan suaramu, banyak saksi mata di luar sana." Rafael berkata acuh dan datar, mengabaikan kegusaran Clarice. "Nadine pasti sudah memberitahumu," kali ini pria itu menoleh beberapa detik, "jadi jangan repot-repot memastikan kebenarannya."

Clarice mendengus. Ia memandang punggung Rafael yang bergerak-gerak dengan putus asa. Dulu punggung itu pernah menjadi tempat bersandar yang nyaman meski sekali pun Rafael tak pernah menyambutnya. "Aku tidak percaya perkataannya!!! Kamu ingin belajar menjadi suami yang baik demi aku?!?" Clarice terbahak. "HAH! MANA MUNGKIN!!! Kamu pikir aku bodoh sampai harus memercayai alasan yang tidak masuk akal itu?!? Kamu pikir aku tidak tahu motif apa yang membuatmu sampai rela melakukan hal konyol macam ini?!?" Setelah Rafael memperingatkannya, bukannya pelan, intonasi Clarice malah semakin meninggi.

Bunyi keran air tiba-tiba berhenti. Tak berapa lama, Rafael kembali berbalik. Ia melepas sarung tangan karet dan melempar benda itu ke sembarang arah. Rafael tersenyum seraya meraih kedua tangan Clarice dan membuat gadis itu terpaku. "Kamu memang sensitif, Cla. Dan aku sangat berterima kasih." Rafael meremas kedua tangan Clarice. "Setidaknya, gadis ambisius sepertimu masih punya perasaan. Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, kamu bukan orang yang kejam," hibur Rafael. "Karena ada yang jauh lebih kejam," sindirnya sinis.

Karen merasa jengah. Pantry yang ukurannya lebih luas dibanding rumah kontrakannya ini mendadak pengap hanya karena keberadaan tiga orang. Rasanya sangat sempit dan membuatnya sulit bernapas. Gadis itu tak percaya jika mereka bertiga harus berbagi udara di ruangan yang sama hanya untuk berseteru.

"Sebaiknya kalian cari tempat lain untuk melanjutkan adegan romantis ini." Karen bergantian menatap sisi wajah Rafael dan Clarice, namun mereka bergeming. "Kalau begitu, biar saya yang keluar."

"Silakan jika itu membuatmu senang. Itu 'kan memang hobimu. Kabur."

"Kok kamu jadi nyalahin aku?" Karen langsung naik pitam.

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang