Suasana di mobil terasa canggung. Kedua penumpangnya kompak mengunci mulut. Karen menatap ke luar jendela sedangkan Bram tak mengalihkan pandangan dari jalan. Ingatan Karen dipenuhi sikap dan tindakan Rafael yang nyaris meruntuhkan benteng pertahanannya. Untung saja Bram datang tepat waktu.
Terkadang, musuh memang bisa menjadi sekutu yang hebat!
Karen membiarkan tangannya diseret Bram. Jauh di dasar hati, ia sangat bersyukur atas inisiatif pria itu. Entah apa jadinya Karen jika Bram tak membawanya pergi. Mungkin, ia tak akan mampu melangkahkan kaki dan meninggalkan tempat pengap itu. Karen baru tahu jika melihat orang yang dicintai bertunangan dengan gadis lain bisa membuatnya sekarat, seolah kiamat sudah di depan mata. Terkadang, ia menyesal menolak Rafael walaupun tak jarang Karen membenarkan keputusannya. Karen benar-benar bingung. Ia ragu dan takut salah mengambil keputusan.
Mobil Bram tiba-tiba berhenti. Pria itu bergegas turun dan membuka pintu penumpang. "Turun!" suaranya lantang tak ingin dibantah. "Gue bilang turun!" ulangnya setelah tak melihat respon Karen. "Nggak perlu gue seret, 'kan?" Bram bertolak pinggang.
"Kenapa kita ke sini?"
Karen mengedarkan pandangan. Di kejauhan terlihat beberapa buruh berkutat dengan pekerjaan mereka. Samar, terdengar bunyi alat berat saling membentur, bergesekan dengan bahan konstruksi bangunan. Percikan las laksana kembang api yang meledak di udara. Ia sama sekali tak memerhatikan arah laju mobil sampai tiba di tempat ini.
Lokasi proyek pembangunan Semanggi Interchange atau lebih dikenal dengan Simpang Susun Semanggi. Pembangunan proyek ini bertujuan mengurai kemacetan hingga tiga puluh persen dan cukup fenomenal karena pembiayaannya tak menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
"Gue mau pulang."
Walaupun bisa melihat keindahan lampu warna-warni gedung pencakar langit, namun Karen tak bisa menikmati suasananya. Hatinya dipenuhi nyeri yang luar biasa. Dadanya sesak tak tertahankan.
Rahang Bram mengeras. Ia melepas seatbelt yang melingkari tubuh Karen dan menarik tangan gadis itu. Bram tak peduli biarpun Karen memekik. Debar jantungnya pun tak dihiraukan lagi. Bram terlalu marah untuk bisa mengingat bagaimana perasaannya saat bersentuhan dengan Karen.
"Lo sendiri yang mau diperlakukan kasar!"
"Apaan sih! Sebenarnya lo mau ngapain?" Karen menyentak tangan Bram. "Lo nggak akan macam-macam sama gue, 'kan?" selidiknya.
Pandangan Bram berkilat-kilat, tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Gue nggak ngerti, kenapa lo bisa muncul di sana demi mengejar pria brengsek yang udah mengkhianati lo! Apa sih hebatnya Rafael?"
Bola mata Karen membulat. "Maksud lo?"
"Jangan pura-pura! Gue lagi ngingetin hal bodoh yang udah lo lakuin. Banyak wartawan di sana dan lo ... arrghhhhhh!" Bram mengerang lalu menggebrak kap mobil. Ia menunduk beberapa saat seraya mengatur napasnya yang naik turun.
"Karen ... lo ...," Bram berbalik dan menuding Karen, "lo bener-bener nggak bisa ditebak! Di mana pikiran lo saat itu?" Ia mengetuk pelipis. "Lo bisa jadi mangsa empuk buat headline news. Sadar nggak, kalau ketidakberdayaan lo itu bisa menghasilkan pundi-pundi uang buat mereka! Itu yang lo mau? Stupid!"
"Jadi lo pikir gue sengaja?" Karen tersinggung.
"???"
"Gue emang miskin, tapi nggak pernah seputus asa itu sampai-sampai harus ngelakuin hal rendah dan kotor seperti yang lo pikirkan! Gue ... punya HARGA DIRI!" desis Karen seraya menunjuk dadanya. "Jadi, jaga omongan lo!"

KAMU SEDANG MEMBACA
OJEK CINTA
RomanceRafael tidak pernah ingin berurusan dengan orang miskin, apalagi membuat kesepakatan dengan salah seorang gadis dari kalangan itu. Tapi sebuah kondisi membuat hal mustahil tersebut menjadi masuk akal. Dan ketika sesuatu yang tak diharapkan itu tumbu...