BAB 2 - KARTU TANDA PELAKU

301 41 19
                                    

Rabu, 12 Oktober 2016

Rafael menyeret sebuah kursi berbahan kayu jati dan duduk dengan gusar. Di sekelilingnya, pengunjung terlihat ramai dan lahap menyantap sajian di meja, menikmati makan siang mereka yang sangat terlambat. Sementara di seberang tempat duduk Rafael ada seorang gadis yang walaupun menahan kesal tapi tak punya keberanian bahkan hanya untuk menegur keterlambatan pria itu.

Padahal seharusnya kejadian kemarin dapat menjadi alasan Clarice untuk marah terhadap Rafael. Karena setelah cukup lama menunggu kedatangannya, pria itu tiba-tiba membatalkan janji temu mereka. Sebegitu tidak pentingnya Clarice di mata Rafael.

"Mas," Rafael memanggil salah seorang pelayan yang langsung menghampirinya dan tersenyum ramah, "coffee latte."

Pemuda berkulit sawo matang itu mencatat pesanan dengan patuh. "Ada lagi, Pak?"

Rafael melirik meja dan melihat bahwa makanan Clarice masih tak tersentuh sementara cangkirnya sudah hampir kosong. "Air mineral."

Pelayan kembali mencatat kemudian pergi meninggalkan kebisuan di antara Clarice dan Rafael setelah membaca ulang pesanannya. Kebisuan yang berlangsung cukup lama, akhirnya dipecahkan oleh Rafael. Dia sama sekali tak paham dengan Clarice, mengapa gadis itu memanggilnya untuk datang jika hanya menjadikannya pajangan.

"So? Apa yang ingin kamu bahas denganku?" tanya Rafael mulai tak sabar. 

Ia mengetuk meja berkali-kali dan menanti lawan bicaranya membuka mulut. Gestur tubuhnya tak nyaman sementara matanya tak berhenti mengamati ponsel.

Gadis itu mencuri pandang dari balik bulu mata palsunya yang tebal dan cantik. 

"Apa ... tidak ada cara lain untuk ... maksudku," Clarice menelan ludah, "kamu yakin tidak ada perasaan apa pun terhadapku?"

Rafael meletakkan ponsel, menumpukan kedua tangan di meja, dan memandang Clarice tajam. Sejujurnya ia sudah menebak topik pembicaraan mereka sejak gadis itu menghubunginya kemarin dan memaksa mereka bertemu. Sebenarnya Rafael enggan menemui Clarice dan ia merasa terselamatkan dengan kemunculan si Tukang Ojek Tomboi yang gemar melarikan diri itu. Tapi ternyata hari ini Clarice kembali menghubunginya dan meminta mereka bertemu. 

"Apa kamu berniat memintaku pergi dengan segera dari tempat ini?" Rafael meraih ponsel sambil mengangkat tubuhnya dan berdiri.

"No! Don't do that, please ..." Clarice ikut berdiri dan meraih satu tangan Rafael, memohon agar pria itu kembali duduk. "Aku minta maaf jika itu membuatmu tak nyaman."

Rafael memandang datar. "Benar, kamu jelas-jelas bukan gadis yang bodoh," tukasnya dingin, "jadi, jangan membuat keluargaku berpikir macam-macam tentang hubungan kita."

Tubuh gadis itu menegang sementara sinar di matanya kian meredup. Kedua tangannya saling terjalin mengharap kekuatan. 

"Sama halnya denganku, mereka ingin sebuah kemajuan dalam hubungan ini. Kamu bisa melihat bagaimana om dan tante memperlakukanku?" dalih Clarice.

"Hanya karena mereka menginginkan seorang anak perempuan." 

Kalimat Rafael seolah tamparan keras yang sukses membuat wajah gadis itu memerah.

Clarice menunduk, berusaha menyembunyikan raut kecewanya. Sedangkan Rafael memilih membuang wajah, tak menyesali ucapannya. Senyap kembali hadir di antara keduanya. Saat ini mereka sedang berada di lantai dua sebuah restoran di pusat perbelanjaan kawasan MH. Thamrin, Menteng, di mana boutique Clarice menempati salah satu area di lantai empat gedung tersebut. 

"Apa kamu akan terus bersikap seperti ini?"

"Tergantung." Rafael memundurkan tubuh ketika pelayan datang dan membawakan pesanannya. 

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang