Rafael melajukan mobilnya pelan, keluar dari Kawasan Industri Pulo Gadung dan menyusuri jalan Pemuda, mengambil arah kanan ketika lampu hijau mempersilakannya untuk terus berjalan. Dia pulang terlambat karena ada meeting laporan bulanan yang melibatkan beberapa manager selevel dengannya, general manager, serta direktur yang membawahi bagiannya—Production Planning and Inventory Control.
Tapi ...
Sepanjang meeting belangsung pikirannya terlalu kacau untuk tetap berada bersama raganya di ruangan itu. Dia tak bisa berhenti memikirkan kerusakan mobil kesayangannya. Bagaimana bisa? Sementara saat berangkat kerja tadi pagi kendaraannya masih baik-baik saja, bahkan masih terlihat baru dan mengkilap karena Rafael merawatnya dengan amat telaten. Padahal mobil tersebut sudah hampir setahun menjadi salah satu penghuni di garasi rumahnya.
Benar ... gadis itu pasti pelakunya, gumam Rafael yakin walaupun tak ada bukti yang menguatkan pendapatnya.
Mau bagaimana lagi, tak ada orang lain yang dilihatnya selain dia di tempat itu. Jadi, dialah tersangka utamanya. Rafael sangat yakin. Dia orang yang pandai membaca situasi dan menganalisa masalah, orang yang juga bisa diandalkan dalam banyak hal di tempat kerja sehingga karirnya melesat begitu cepat di usianya yang ke tiga puluh tahun. Tepat tujuh tahun setelah ia mengenakan toga untuk memamerkan ijazahnya pada dunia sebagai mahasiswa peraih Summa Cum Laude dan membuat kedua orangtuanya tak berhenti membanggakannya di depan kolega dan juga keluarga besar mereka.
Tok! Tok!
Suara kaca mobil mengaburkan lamunan Rafael. Ia segera menurunkan kaca jendela dan menghela napas.
Apa lagi kali ini, gumamnya dalam hati melihat seorang gadis yang sejak beberapa tahun lalu tak pernah absen menghubunginya setiap tiga kali dalam sehari. Resep dari dokter saja tak semuanya serutin itu.
"Jangan bilang kalau kamu berencana bermalam di mobil." Gadis itu meletakkan kedua tangannya di jendela.
Rafael memejamkan mata. "Sudah berapa lama?" tanyanya tak minat.
Gadis itu melirik jam tangan Rolex dan memasang wajah bosan. "Cukup untuk paket dinner lengkap dengan appetizer dan dessert, juga sebuah topik mengenai kapan rencanamu untuk memulai hubungan serius denganku."
"Wait! Wait!" Rafael membuka pintu dan turun dari mobil, membuat gadis itu melangkah mundur memberi jarak. "Apa maksud ucapanmu?" Rafael membanting pintu mobil.
Gadis itu mengangguk. "Kita sudah sedekat ini, keluarga kita juga sudah saling mengenal." Gadis itu meraih satu tangan Rafael. "Kita adalah pasangan serasi, Raf, apa kamu tidak bisa melihatnya?"
Kening Rafael berkerut—kebingungan. Dia menggunakan satu tangannya yang bebas untuk melepaskan pegangan si gadis. "Tapi ..."
Gadis itu terganggu dengan sikap Rafael namun ia tidak menyerah begitu saja. Ia meletakkan jari telunjuknya di bibir Rafael, dan memandangi bagian itu cukup lama. "Tidak perlu menjelaskan apapun karena aku tidak membutuhkannya."
Ia berjalan selangkah dan mempersempit jarak antara keduanya. Berjinjit sedikit dan merangkulkan lengannya di leher Rafael, lalu menempelkan bibirnya ke bibir pria itu. Sudah terlalu lama ia menahan diri untuk bersikap sopan menghadapi pria ini, tapi Rafael tak juga peka akan perasaannya.
Tiba-tiba Rafael mendorong tubuh gadis di hadapannya. "Apa yang kamu lakukan?" Nadanya meninggi.
"Mencoba peruntungan, tentu saja." Gadis itu mengangkat bahu dan pandangannya mulai tak fokus.
Tubuhnya agak limbung sehingga Rafael berusaha memberikan pertolongan dengan menahan kedua lengan si gadis. Tapi gadis itu langsung menepisnya.
"Ini tidak benar." Rafael mengingatkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
OJEK CINTA
RomanceRafael tidak pernah ingin berurusan dengan orang miskin, apalagi membuat kesepakatan dengan salah seorang gadis dari kalangan itu. Tapi sebuah kondisi membuat hal mustahil tersebut menjadi masuk akal. Dan ketika sesuatu yang tak diharapkan itu tumbu...