BAB 7 - KESEPAKATAN BISNIS

247 17 14
                                    

Senja telah bergulir dan lampu-lampu mulai dinyalakan. Karenina duduk di bangku panjang kantin kampus seorang diri. Ia sangat kesal atas tawaran yang diberikan Rafael, hingga terpaksa berkali-kali mengeluarkan nada tinggi pada pria sombong itu. Mungkin itulah yang membuatnya kehabisan tenaga dan kelaparan.

Sore ini kantin tak begitu ramai, namun ada sekumpulan gadis yang duduk bergerombol dan tertawa lepas membicarakan hal sepele macam warna lipgloss, gosip artis, sampai membahas gebetan yang tak kunjung memberi kejelasan.

"Ehm ..."

Karen mendongak. Mulut Karen penuh potongan bakso ketika mendapati seorang pria tiba-tiba duduk di seberang meja tanpa permisi. Ia buru-buru mengunyah dan menenggak teh botol. "Gue belum ngomong apa pun tapi lo udah duduk," gerutunya. "Gue lagi nggak mood banget, jangan sampai perdebatan kelas ringan kita berubah jadi kelas berat hari ini. Gue mohon dengan sangat!" Raut wajahnya memperlihatkan protes.

Pria itu tak memedulikan omongan Karen dan mulai menyantap mie ayam. Ia selalu ingin berdekatan dengan Karen walaupun berdebat adalah satu-satunya cara mereka berkomunikasi.

Karen menghela napas. "Kenapa lo diem, sariawan?" tanyanya.

Si pria meletakkan sumpit. "Gue lagi berusaha untuk nggak merusak mood lo."

Pikiran Karen benar-benar sedang buntu, hanya diam dan makanlah obat paling mujarab untuk kegundahannya. Rafael memang ahli membuatnya tertekan, bahkan ketika mereka sedang tidak bersama. "Gue mau sendiri," ujarnya memohon.

Pria itu menopang dagu. "Lo denger percakapan mereka, nggak?" tanyanya seraya menatap Karen. "Mereka menjalani masa muda dengan benar. Hang out, nonton, jalan sama gebetan. Sedangkan lo?"

Karen tersinggung. "Kenapa dengan gue?" Ia langsung merespon dengan nada tinggi. Gadis itu tidak terima ada orang yang berusaha mengomentari kehidupannya.

Pria itu menahan diri untuk tak terbawa emosi. "Kita udah temenan sejak SMA dan lo juga tahu persis gimana perasaan gue." Ia bersedekap. "Apa yang kurang dari gue?"

Pengunjung kantin mulai tertarik dengan perdebatan mereka. "Bram, berapa kali gue bilang kalau lo bukan tipe gue dan gue juga nggak punya perasaan apa-apa sama lo. Please deh ... lagian, gue masih kuliah, gue belum siap, yang gue butuhin saat ini adalah duit, bukan cowok!"

Bram melongo mendengar pernyataan Karen yang bertubi-tubi. "Astaga!!! Bisa pelan sedikit nggak ngomongnya?" Ia melirik sekeliling.

"Kenapa? Bukannya selama ini lo cuek? Apa sekarang lo punya malu?"

Rahang Bram mengeras. Ia menelan ludah. "Rennn!!!" tegur Bram.

Karen mengangkat sebelah tangan. "Sorry, jadi lo mau pergi atau nggak?"

Bram menahan sabar seraya mengepalkan tangan. "Kalau lo mau, gue bakal nunggu. Tapi, jangan pernah minta gue pergi, Ren. Gue sayang banget sama lo ..." ujarnya putus asa.

Karen memejamkan mata. "Cukup! Kita udah bahas ini berulang kali." Ia bersiap pergi.

"Apa karena cowok itu?"

Tiba-tiba Karen tertarik dengan topik pembicaraan Bram. Ia mengurungkan niatnya dan menunggu pria itu berbicara, tapi Bram sudah mengunci mulut. "Cowok?" Karen menautkan alis. "Siapa yang sedang lo bahas?"

Bram mendengus. "Nggak usah pura-pura bodoh, dia bahkan pegang Kartu Mahasiswa lo, norak banget!"

Karen gelagapan. Rafael? Jadi, Bram dan pria itu pernah bertemu? "Kalaupun dia cowok gue, itu juga nggak ada hubungannya sama lo!" ujarnya gugup. "Jangan campuri kehidupan gue." Karen tidak mengerti apa yang dilakukannya, tapi saat ini ia sedang berusaha melindungi pria yang sedang dibencinya. Karen tahu Rafael sudah membuatnya seperti hidup di dalam neraka, tapi ia tidak ingin melihat pria itu terluka di tangan Bram. Ia hanya ingin Rafael baik-baik saja.

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang