BAB 9 - PERTUNANGAN

129 14 4
                                        

Wajah Karen kuyu dan matanya berkantung. Ia tidak bisa tidur semalaman memikirkan perkembangan hubungannya dengan Rafael yang terbilang cepat. Karen heran, mengapa begitu mudahnya ia tergoda rayuan Rafael padahal pria itu sudah mau bertunangan dengan gadis lain. Karen juga tak habis pikir, kenapa ia repot-repot memikirkan ciuman pertama yang mungkin tak berarti bagi pria sekelas Rafael.

"Di sini ternyata."

Karen berhenti mengusap bibir dan pura-pura menguap. "Biar gue ingetin kalau kita nggak dalam hubungan yang harus peduli keberadaan satu sama lain." Ia berujar malas.

Bram tak menggubris omongan Karen dan duduk membelakangi gadis itu. "Gue juga bingung, kenapa mesti khawatir sama orang yang mungkin tetap nggak akan muncul di hari pemakaman gue. Menyedihkan! Tapi, mungkin karena gue kelewat senang, karena ternyata dia bukan cowok lo." Bram memandang sisi wajah Karen.

Karen menutup buku di pangkuannya. "Siapa yang lagi lo bahas?" tanyanya sambil berdiri.

"Siapa lagi?" Bram mengedikkan bahu.

"Selamat ini gue udah berusaha sabar, tapi lo ..." Karen menarik napas panjang. "Jadi, lo mau apa sekarang? Apa pun yang terjadi, gue nggak akan sudi jadi cewek lo! Menyingkir dari hadapan gue!" Ia memasang wajah ketus.

"Setiap kali gue datang, lo pasti ngomong gitu. Lagi pengen sendirilah, nggak mau diganggulah, inilah, itulah. Gue udah hafal di luar kepala! Kalau nggak mau jadi pacar, setidaknya biarin gue jadi temen lo. Apa itu juga berlebihan?" Bram hilang kesabaran.

Karen melepas topi dan mengacak rambutnya. Sejak awal ia tak pernah menyukai perilaku Bram, apalagi setelah pria itu memperlakukan orang dengan sesuka hati dan terang-terangan menunjukkan kesombongannya. "Oke, sekarang kita temenan. Puas? Dan sebagai teman, gue minta tolong sama lo. Tolong pergi, gue benar-benar butuh ruang buat mikir."

"Jangan bilang lo suka sama dia?"

"Bukannya tadi kita udah setuju buat temenan?" Karen berkacak pinggang.

"Gue kurang apa sih, Ren? Kita sama-sama single."

"Lo nggak bisa memaksakan perasaan seseorang hanya karena menganggap bahwa dia ada di status yang sama." Seorang pria tiba-tiba muncul di antara mereka. "Lagipula, siapa bilang Karen single, jelas-jelas dia milik gue!" katanya sambil meraih tangan Karen. "Jadi, lo nggak berhak berdiri sedekat itu apalagi sampai berani menyentuhnya."

Bahu Bram berguncang, ia terbahak. "Nggak nyangka, ternyata lo punya nyali macarin dua cewek dalam waktu bersamaan. Salut gue, Bro! Mesti banyak belajar dari lo," ujarnya sinis.

Rafael menelan ludah. Tubuhnya membeku hingga tak menyadari ketika Karen berusaha menyentakkan tangan.

"Gimana caranya? Boleh dong bagi rahasianya."

"Elooooo!!!" Rafael mengepalkan tangan hingga buku-buku jarinya memutih. "Semua itu bohong, Ren. Kamu harus percaya sama saya." Rafael berusaha meyakinkan Karen.

Karen memandang datar. "Bohong atau nggak itu urusan kamu. Jadi tolong, jangan temui saya lagi." Ia tak berani menatap Rafael. Semakin sering bertemu Rafael, akan semakin sulit baginya untuk melupakan pria itu. Ia akan terus mengingat kelembutan bibir dan aroma napas Rafael yang memabukkan. "Saya akan segera melunasi kekurangannya. Setelah itu, anggap saja kita nggak saling mengenal."

"Saya nggak bisa memenuhinya." Rafael terdengar sangat menyedihkan.

"Karen bilang pergi! Lo nggak denger? Dasar brengsekkk!" Bram tiba-tiba melayangkan tinju pada Rafael. Tapi, Rafael jeli dan langsung menangkap kepalan tangan pria itu dengan genggaman tangannya. Bram menggertakkan gigi, ia tak mau kalah sekali lagi dengan lawan yang sama. Bram menendang dan mengerahkan segenap kekuatan tapi usahanya selalu sia-sia, Rafael bukan lawan yang sepadan untuknya. Kemampuan Rafael terlalu jauh di atas Bram sehingga ketika ia kelelahan mengeluarkan berbagai gerakan, Rafael mampu membuat tubuh Bram terpelanting hanya dengan satu jurus saja. Bram mengerang dan membuat orang-orang di sekeliling berkerumun.

OJEK CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang