Chapter 37 (b) : Mengikhlaskan Segalanya

4.4K 365 16
                                    

Chapter 37 (b)
Mengikhlaskan Segalanya

***

Aku mendengarkan alunan merdu suara Fatimah membaca Al Quran di samping brankaku. Memejamkan mata sejenak untuk mendapatkan kesejukan hati dari bacaan Al Quran.

"Sodaqallahul 'adzim." Fatimah menyudahi bacaannya dan menutup mushafnya.

"Fat..." aku masih tidak bisa bergerak terlalu banyak, apalagi leherku mengalami cidera yang cukup parah ditambah lagi, kemungkinan aku tidak akan bis berjalan lagi seperti dulu.

"Ya, mbak? Mbak butuh sesuatu?" cecar Fatimah sigap.

Aku menggeleng lemah padanya, "Tolong bacakan surah Al Mulk, Fat." pintaku. Fatimah mengangguk mengerti dan kembali membuka mushafnya, membacakanku surah yang sangat aku sukai, Al Mulk. Sesekali aku mengikuti bacaan Fatimah.

"

Wa-asirruu qaulakum awiijharuu bihi innahu 'aliimun bidzaatish-shuduur(i)." sembari mengikuti lantunan ayat-ayat Al Mulk dari Fatimah.

"Mbak... mbak enggak pa-pa?" mataku terbuka pelan dan melihat sorot mata Fatimah yang penuh kekhawatiran. "Mbak ada yang sakit?" tanyanya lagi sambil mengusap air mataku. Kapan aku menangis?

Aku mengangguk lemah, "Mbak enggak pa-pa, Fat." jawabku.

"Kalo sakit, bilang ke Fat mbak." ucap Fatimh yang kembali duduk dan mengenggam tanganku, sesekali dia mencium punggung tanganku.

"Fat..." aku melirik Fatimah dari sudut mataku, melihatnya yang menatapku diam. "Mbak bakal cacat kan? Mbak enggak akan bisa jalan lagi kan?"

"Mbak..."

"Mbak bakal hidup di atas kursi rodakan?" isakku yang tak bisa kusembunyikan keresahan hati ini.

"Mbak..." Fatimah beranjak dari duduknya dan mengusap lembut keningku lembut. "Kenapa nethink gitu? Allah ngasih mbak kayak gini ada alasannya. Enggak ada sesuatu pun yang terjadi pada kita tanpa alasan mbak." ujar Fatimah yang ikut menangis. "Mbak selalu bilang ke Fati kalo Allah enggak pernah tidur. Allah selalu bersama-sama orang yang beriman ke Dia." lanjutnya dan mencium keningku, dia menempelkan keningnya pada keningku lembut, "La tahzan, innallaha ma'ana," bisiknya dan aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya.

"Syah... Fat..." kami memperhatikan ibu yang baru datang dengan rantang tumpuk tiga. "Kenapa kalian nangis?" tanyanya setelah meletakkan rantangnya.

"Enggak kok, buk." kilah Fatimah sambil mengusap air matanya. "Tadi niup matanya, mbak." bohongnya.

"Kelilipan, Syah?" ibu duduk di samping brankaku dan mengusap lembut pipi kananku.

"Iya tadi, buk." aku ikut berbohong seperti Fatimah. "Ibu enggak kirim..."

"Udah ibu titipin ke Budhe Ros, tinggal kirim aja." sela Ibu. "Moso ono nduk wong tuwoh tenang ninggal anak'e seng loro? Ati iki rasane diiris-iris seng onok." ucap Ibu.

"Syah... Syah enggak akan bisa sembuh, buk. Syah cacat." isakku lagi dan aku menyesal telah menggatakan hal itu. Ibu juga menangis di depanku, dia diam tapi tangisannya membuat hatiku sakit. "Buk..."

"Sembuh, nduk." isak Ibu yang mencoba tegar. "Anaknya ibu pasti sembuh." imbuhnya.

"Kaki Syah, buk." ucapku serupa desisan.

"Kalo bukan dokter, Gusti Allah yang akan menyembuhin kamu, nduk." ucap Ibu yang meraih tanganku dan mengusap punggung tanganku lembut. "Kita ini menungso biasa, ikhtiar dan tawakal yang kita bisa." katanya.

"Maaf, buk."

"Minta maaf ke Gusti Allah. Apa yang terjadi pada kamu adalah cubitan dari-Nya. Dia ingin kamu menjadi manusia yang lebih baik, nduk." ujarnya. "Ayo kita perbaiki diri dan berlomba-lomba menjadi kekasih Allah!"

"Insha Allah, buk." ucapku dan memejamkan mataku erat-erat saat ibu mencium keningku cukup lama.

"Ibu selalu berdoa yang terbaik buat urip kalian berdua." ucapku yang terisak. Fatimah memeluk ibu dan mengenggam tanganku erat.

"Fatimah selalu berdoa kepala Allah, kita bisa jadi jembatan menuju surgaNya untuk bapak dan ibu kelak nanti." ujar Fatimah, kemudian mencium kening ibu dengan sayang. "Rasanya sakit liat ibu sedih kayak gini, sampe bercucuran air mata. Hati Fatimah sakit." lanjutnya.

"Kami sakit liat ibu sedih, cukup ibu nangia waktu kami kecil, sekarang ibu harus selalu tersenyum." ujarku.

"Insha Allah." kata Ibu yang bercucuran air mata bangga, "Ibu bersyukur punya anak-anak seperti kalian."

***

"Mau sesuatu, nduk?" Ibu meletakkan gelas air putih di atas meja kecil samping branka. Ibu membenahkan bantal untuk menyangah punggungku. "Kenapa?" dia menarik daguku untuk menghadapnya. "Ikhlasin, nduk. Ibu tahu itu sulit, insha allah kamu bisa."

Aku tak bisa membendung air mataku, menatap nanar kakiku yang tak bisa sedikitpun aku gerakan. Memang kakiku bisa merasakan tapi tidak untuk bergerak.

"Jangan!" isak ibu yang mengusap air mataku. "Jangan, nduk." aku menghambur ke dalam pelukannya. "Allah mencintaimu."

"Syah ndak sanggup, buk." tangisku.

Ibu mengurai pelukannya padaku, mengusap lembut pipiku. "Kamu tahu, kenapa bapakmu ngasih nama Aisyah buat kamu?" aku hanya menggeleng pelan, ibu tersenyum. "Kamu pasti sudah tahu kisah tentang Aisyah r.a?"

"Ya." jawabku lirih.

"Bapakmu ingin kamu memiliki sifat-sifat seperti Siti Aisyah. Perempuan tangguh dan cerdas tetapi memiliki kelembutan hati yang luar biasa." ujar Ibu yang mengusap lembut kepalaku. "Jadilah perempuan tangguh, nduk."

"Insha Allah." ucapku yang tak yakin.

"Ibu berdoa untuk kalian berdua agar selalu dimuliakan suami kalian kelak nanti." doa Ibu yang kemudian mencium keningku cukup lama. "Kalo memang jodoh kamu, dia tidak akan sekalipun memandang fisikmu, nduk." aku tertuduk dengan isakan.

"Gusti Allah itu lebih berkuasa, nduk. Sekarang kamu tidak bisa berjalan, mungkin saja besok kamu bisa berlari. Tidak ada yang bisa menantang kekuasaan-Nya siapapun itu." ujar Ibu yang mengusap pipiku dan mencium pipiku dengan sayang. "Jika Gusti Allah menggatakan 'kun fayakun' maka akan terjadi." sambungnya.

"Iya, bu."

"Ikhlas. Lapangkan hatimu sebesar-besarnya." kata ibu yang menunjuk dadaku. "Itulah awal yang baru sekarang, nduk." sambungnya.

Sungguh. Demi apapun di dunia ini. Mengikhlaskan bukanlah hal yang mudah. Ini tentang hati yang menerima semuanya tanpa mengeluh. Dan aku bukanlah orang mudah ikhlas, mungkin seeing berkata ikhlas tetapi tidak dengan hati. Sulit sekali ikhlas dalam hati.

"Allah mencintai orang-orang yang sabar." ucap Ibu di telingaku. "Ibu berdoa, kamu salah salah satu orang yang dicintai Gusti Allah karena kesabaranmu."

"Insha Allah, buk." jawabku lirih san memejamkan mata agar tak tumpah lagi air mataku.


ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﺎﺋِﻜَﺔُ ﻳَﺪْﺧُﻠُﻮﻥَ ﻋَﻠَﻴْﻬِﻢ ﻣِّﻦ ﻛُﻞِّ ﺑَﺎﺏٍ ﺳَﻠَﺎﻡٌ ﻋَﻠَﻴْﻜُﻢ ﺑِﻤَﺎ ﺻَﺒَﺮْﺗُﻢْ ۚ ﻓَﻨِﻌْﻢَ ﻋُﻘْﺒَﻰ ﺍﻟﺪَّﺍﺭِ

“Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu, (sambil mengucapkan) :’Salamun ‘alaikum bima shabartum’. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu” [Ar-Ra’d : 23-24]

***


#ps
Aaahhh... rasanya tuh pengen teriak. Buntu banget buat lanjutin Aisyah. 😭😭😭

Annyeong, Aisyah [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang