Bab 1 : Hubungan dalam Kebohongan ✔

20.5K 1K 38
                                    

"SYAH," kutatap ibu yang sedang duduk di sampingku, menarik tanganku dan mengenggamnya lembut, sesekali ibu mengusap punggung tanganku dengan lembut. "Kenapa jadi pendiam gini?" kupaksakan senyumanku kepadanya, aku ingin terlihat baik-baik saja di depan ibu, aku tak ingin dia khawatir dengan masalahku.

"Enggak kok, Buk." aku mencoba melebarkan senyumku, menumpuhkan tangan kiriku pada tangannya yang mengenggam tanganku yang lain.

"Nduk, kamu itu jangan sembunyiin apapun sama ibumu ini. Ibu ini tahu gimana kamu itu," katanya, dan kembali lagi aku memaksakan seulas senyuman.

"Buk, Aisyah enggak pa-pa," dustaku, mencoba bersikap baik-baik saja di depannya.

"Masih mikirin soal Pandu?" tebak ibu dan benarlah apa yang ditebak ibu, hati ini terasa nyeri sekali mendengar nama pria itu. "Nduk,"

"Aisyah beneran enggak pa-pa," sekali lagi aku berdusta padanya.

"Jangan berpura-pura baik-baik saja." ibu mengusap lembut kepalaku. Aku tak bisa membendung rasa sakit hatiku dan kekecewaanku pada Pandu –kekasihku.

"Buk, gimana bisa Aisyah menjalin hubungan dalam kebohongan selama dua tahun ini?" isakku, kusandarkan kepalaku pada pundak ibu. Memeluk pinggangnya dengan erat, "Hatiku kecewa, Buk."

"Nduk, yang sabar. Minta petunjuk sama Gusti Allah," ucap ibu menenangkanku, tangannya terus mengusap lembut kepalaku. Sesekali ibu mengecup keningku dengan sayang. "Gusti Allah sayang sama kamu."

"Buk, Syah udah enggak bisa nanggu rasa sakit dan malu ini," rintihku, kucengkram baju bagian depanku untuk menahan rasa sakit di hatiku ini, begitu menyesakkan hingga rasanya udarapun tak bisa aku hirup.

"Sudah, nduk," ucap ibu yang terus mengusap kepalaku. "Gusti Allah sudah menunjukkan siapa Pandu sebelum kalian menikah, dia mungkin bukan jodohmu." aku hanya menganggukkan kepala mengerti, aku harus menelan pil kepahitan ini. Kenyataan jika Mas Pandu menikah dengan temanku sendiri.

🌼🌼🌼


"Ada apa, Mas? Bukannya kita ini sudah tidak ada urusan lagi?" cercahku saat Mas Pandu sudah duduk di kursi seberangku.

"Aku baru dateng ini, Syah, biar aku pesen minum dulu. Setelah itu, kamu boleh nanya aku, maki aku atau apapun itu sampai kamu puas," ucapnya tenang. "Mbak, teh anget satu," pesannya saat mbak-mbak pelayan datang menanyakan pesenannya.

"Mbak?" tanyanya menatapku.

"Teh anget, enggak manis," jawabku.

"Makan?"

"Enggak, Mbak," jawab Mas Pandu dan kemudian, mbak pelayan itu pergi meninggalkan kami, dia beralih menatapku, "Ngomong aja, Syah."

"Kenapa minta ketemu?" aku menatapnya sengit, aku sudah berjanji pada diriku sendiri, aku tidak akan tergoda pada nirwana semunya.

"Aku pengen jelasin semuanya, Syah," jedanya, mbak pelayan itu datang lagi dengan nampan kayunya, meletakkan dua gelas teh hangat pesan kami berdua. "Terimakasih," ucap Mas pandu sebelum mbak pelayan itu berlalu.

"Apa lagi yang pengen kamu jelasin? Semuanya udah jelas. Kamu udah boongin aku dari awal hubungan kita," sergahku kesal, aku tak bisa menahan semua kekesalanku dan kekcewaanku kepadanya.

"Syah," Mas Pandu mencoba meraih tanganku, tapi selalu kutepis, aku tak ingin bersentuhan dengannya lagi. Apalagi sekedar untuk digenggamnya. "Syah," panggilnya lagi setelah pendapat penolakanku.

"Jangan ganggu aku lagi. Kita udah selese. Sekarang, kamu urus rumah tangga kamu itu dengan Anita. Aku enggak mau jadi duri di antara kalian berdua. Sudah cukup sekarang," kataku penuh penekanan agar dia bisa memahami setiap kata yang aku ucapkan padanya, agar dia sadar statusnya sekarang.

Annyeong, Aisyah [FINISHED] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang